‘Sangat Resah’ dengan Situasi Jelang Pemilu 2024, Pimpinan Perguruan Tinggi Katolik Minta Presiden Junjung Tinggi Etika, Desak Aparat Bersikap Netral

Para pimpinan berasal dari 24 perguruan tinggi Katolik, dua di antaranya dari Nusa Tenggara Timur

Baca Juga

Floresa.co – Di tengah gelombang keprihatinan yang terus disuarakan berbagai elemen sipil, termasuk kampus-kampus di berbagai wilayah terkait situasi jelang Pemilu, pimpinan perguruan tinggi Katolik dari berbagai daerah di Indonesia ikut menyatakan sikap.

Dalam sebuah pernyataan pada 3 Februari, rektor dan ketua 24 perguruan tinggi yang tergabung dalam Asosisasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia [Aptik] menyebut mereka “sangat resah” dengan “rusaknya tatanan hukum dan demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2024.”

“Praktik penyalahgunaan kekuasaan, kolusi, korupsi dan nepotisme serta penegakan hukum yang semakin menyimpang dari semangat reformasi dan konstitusi negara telah mengoyak hati nurani dan rasa keadilan bangsa Indonesia,” kata mereka dalam pernyataan itu yang dibacakan dalam sebuah pertemuan di Surabaya, Jawa Timur.

Ke-24 pimpinan perguruan tinggi itu termasuk dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, seperti Pastor Philipus Tule, SVD, rektor Universitas Katolik Widya Mandiri Kupang dan Wilhelmus Yape Kii, rektor Universitas Katolik Weetebula di Pulau Sumba.

Rektor lainnya adalah dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Sanatha Darma Yogyakarta, Universitas Widya Mandala Surabaya, Univeritas Katolik Parahyangan Bandung dan Universitas St. Thomas Medan.

Dalam pernyataan itu, mereka menyampaikan seruan, baik kepada presiden, penyelenggara Pemilu maupun aparat keamanan.

Mereka menegaskan, “presiden dan segenap jajarannya harus menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan azas-azas pemerintahan yang baik serta memegang teguh sumpah jabatan sesuai tugas pokok dan fungsinya.”

Hal itu penting diperhatikan “untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan memerangi kolusi, korupsi dan nepotisme serta melakukan penegakan hukum, dengan tidak menggunakan sistem tebang pilih dan selalu menjunjung tinggi etika.”

Sementara untuk penyelenggara Pemilu, mereka mendesak menjunjung tinggi azas Pemilu yang Luber Jurdil – langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil – agar setiap orang “dapat menggunakan hak pilih secara bebas sesuai dengan hati nurani,  tanpa mendapat tekanan dalam bentuk apapun.”

Aparat negara baik Aparatur Sipil Negara, tentara maupun polisi, kata mereka “bersikap netral dan tidak memihak pada pihak-pihak tertentu.”

Mereka juga meminta negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak kebebasan berekspresi setiap warga negara sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Para pimpinan ini, yang mayoritas imam Katolik, juga meminta “mengutamakan pendekatan damai tanpa kekerasan dalam masa kampanye sampai dengan saat pelaksanaan Pemilu umum dan sesudahnya.”

Mereka ikut menyerukan kepada semua perguruan tinggi di Indonesia terlibat aktif melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap Pemilu.

Seruan ini muncul di tengah langkah serupa dari berbagai perguruan tinggi lainnya di sejumlah kota, seperti Universitas Gadja Madah Yogyakarta, Universitas Indonesia yang meminta presiden menjaga netralitas.

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo telah dinilai banyak orang melanggar aturan untuk melanggengkan dinasti politik dalam Pemilu pada 14 Februari, di mana putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden, mendamping calon presiden Prabowo Subianto.

Pada 24 Januari, Jokowi telah mendeklarasikan haknya untuk memihak dalam pemilihan presiden. Sejak saat itu, ia juga melakukan perjalanan ke banyak daerah mendistribusikan bantuan sosial, tanpa melibatkan Kementerian Sosial yang seharusnya menangani bantuan tersebut.

Penyataannya berbeda dengan yang ia sampaikan pada Desember tahun lalu, di mana meminta aparat pemerintah untuk tetap netral.

Netralitas Jokowi menjadi tanya tanya besar ketika Mahkamah Konstitusi pada Oktober mengizinkan kandidat berusia di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden jika pernah memegang jabatan di tingkat daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung.

Putusan itu menjadi karpet merah untuk Gibran, yang kini menjabat sebagai Wali Kota Solo di Jawa Tengah, untuk mencalonkan diri.

Hakim Mahkamah Konstitusi beranggotakan sembilan orang, dipimpin oleh Anwar Usman, saudara ipar Jokowi. Anwar telah dinyatakan melanggar etik berat terkait putusan itu.

Jokowi, mantan pengusaha mebel, adalah pemimpin pertama yang tidak berasal dari latar belakang politik atau militer yang mapan di Indonesia. Kemenangannya dalam pemilu 2014 dan 2019 melawan Prabowo, mantan jenderal militer, dipuji sebagai kemenangan bagi demokrasi negara.

Dengan mencalonkan Gibran, juga sejumlah jabatan politik lain yang diperoleh anak dan menantunya, ia diyakini mengincar jenis dinasti politik yang sangat lazim di berbagai negara di Asia.

Dalam petisi pada 31 Januari, para guru besar, dosen, dan mahasiswa di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, tempat Jokowi kuliah, menyatakan dalam sebuah petisi bahwa mereka “menyesali tindakan-tindakan menyimpang yang baru saja terjadi di masa pemerintahannya.”

Mereka mengingatkan Jokowi agar menjunjung tinggi nilai Pancasila,  segera kembali ke koridor demokrasi dan mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini