Biarawati Katolik, Aktivis Dorong Peningkatan Perhatian terhadap Perempuan dalam Pembangunan Pariwisata di Labuan Bajo 

Masih ketimpangan yang tidak memungkinkan akses bagi perempuan dalam pembangunan pariwisata yang kian gencar di wilayah Flores barat itu

Baca Juga

Floresa.co – Pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat yang meminggirkan perempuan terjadi karena pemerintah abai terhadap Pengarusutamaan Gender [PUG], demikian kata kelompok perempuan yang berbicara dalam sebuah diskusi terbatas baru-baru ini.

Karena itu mereka bersepakat untuk terus bersuara melalui kegiatan diskusi berkelanjutan dan gerakan-gerakan lain bagi keadilan dan kesetaraan gender di kabupaten itu.

Berlangsung di Balai Latihan Kerja Dian Yosefa Labuan Bajo – yayasan milik suster-suster dari Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus [Serve Spiritus Sanctus, SSpS] Provinsi Flores Barat, diskusi pada 6 April itu menyoroti pembangunan pariwisata dari perspektif gender.

Puluhan peserta yang hadir berasal dari berbagai latar belakang, seperti pegawai Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, pegiat wisata, aktivis perempuan, jurnalis dan para pelajar.

Suster Herdiana Randut, SSpS dari Member of Woke Asia Feminist mengatakan sejatinya pembangunan tidak hanya menyangkut apa “yang tampak mata atau terlihat secara fisik,” tetapi harus bersifat “menyeluruh dan adil.” 

Pada intinya, kata dia, pembangunan merupakan pemberdayaan atau upaya mengembangkan keahlian, pengetahuan, dan keterampilan manusia, yang dulu dikenal dengan istilah “membangun manusia pembangun.”

Ia berkata konsep seperti itu menempatkan manusia, termasuk perempuan sebagai subjek, “bukan sebagai objek atau target pembangunan.”

Dalam konsep itu, kata dia, ia menilai perempuan bisa mendapatkan kesetaraan dalam pembangunan industri pariwisata jika pemerintah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, dan Dinas Pariwisata menyusun program-program yang bagus dan kreatif. 

“Program-program yang dapat mendukung hal ini di antaranya kelompok tenun, pelatihan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, pelatihan komputer dan program-program kerja lainnya,” katanya dalam diskusi itu yang dipandu Anjany Podangsa, jurnalis Floresa.

Herdiana mengatakan perempuan harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkembang dan maju dalam membangun pariwisata di Labuan Bajo. 

Hal itu, kata dia, perlu dilakukan agar warga lokal bisa kompetitif dengan pendatang karena “bukan mustahil, dua atau tiga tahun ke depan Labuan Bajo dikuasai investor-investor asing dan pekerja dari luar.”

“Selama ini, pekerjaan seperti tour guide, naturalist  guide, sopir-sopir taksi, dan pemimpin-pemimpin tours and travel agent  masih didominasi oleh laki-laki. Hal-hal ini sebenarnya bisa juga dilakukan oleh perempuan jika diberi ruang yang sama,” katanya.

Dalam situasi ini, katanya, pemerintah perlu memberdayakan perempuan agar bisa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan turut membangun pariwisata Labuan Bajo.

Mershinta Ramadhani, aktivisi dari Puanitas Indonesia mengatakan pengabaian peran perempuan dalam seluruh pembangunan pariwisata super prioritas di Labuan Bajo terjadi karena pemerintah belum menerapkan pengarusutamaan gender. 

Padahal, kata dia, pengarusutamaan gender harus diterapkan dalam berbagai organisasi perangkat daerah dan instansi pemerintah. 

Mershinta menilai kendati beberapa perempuan sudah masuk dalam dunia politik, tetapi dalam keseluruhan pembangunan, “hal itu tentu belum cukup, bahkan sangat jauh dari memadai.”

Minimnya kesempatan kerja bagi perempuan, kata dia, terjadi karena pembangunan pariwisata cenderung menunjukkan “hegemoni maskulin.”

“Ini masih menjadi kendala dalam menempatkan perempuan pada posisi yang baik,” katanya.

Di Labuan Bajo, perempuan umumnya bekerja di sektor informal, dengan perbedaan upah yang sangat jelas dengan laki-laki dan tidak ada perlindungan, merujuk pada asesmen Puanitas Indonesia.

Selain itu, peluang kerja bagi perempuan 30 persen di sektor informal, sementara di sektor formal strategis kurang dari 5%.

Kuatnya Budaya Patriarki

Herdiana memandang budaya patriarki merupakan induk yang melahirkan masalah ketidaksetraan gender dalam pembangunan pariwisata di Labuan Bajo. 

Budaya patriarki, kata dia, telah membentuk pola pikir dan perilaku orang Manggarai bahkan di Indonesia pada umumnya karena telah merambat ke dalam sistem pendidikan.

Sejak kecil, kata dia, anak-anak disuguhkan bacaan-bacaan atau cerita rakyat yang menggambarkan bahwa “laki-laki itu perkasa, kuat, dan mendominasi, sedangkan perempuan lemah lembut, anggun dan cantik.” 

“Terdapat juga cerita yang bunyinya demikian, ‘ayah pergi ke kantor, ibu menyapu rumah.’ Cerita atau bacaan tersebut sudah membuat perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan,” katanya.

Karena itu para pembicara bersepakat untuk mengubah kurikulum pendidikan sehingga berbasis pada perspektif kesetaraan gender.

Hal ini, kata para pembicara, perlu dilakukan agar sejak dini anak-anak dididik untuk menyamakan pola pikir dan perilaku mereka dalam membahas isu gender.

Kesadaran dan Keprihatinan

Herdiana mengatakan diskusi terbatas itu melahirkan dua hal penting, yakni kesadaran dan keprihatinan. 

Ia mengatakan diskusi itu membuat para pembicara dan peserta sadar bahwa ketimpangan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan pariwisata super premium “semakin menganga” kendati bahayanya mungkin belum terlihat jelas. 

Jika ketimpangan itu tidak dicegah, kata dia, maka kemegahan dan keriuhan gegap gempita kemajuan pariwisata di Labuan Bajo hanya dinikmati segelintir orang. 

Pada saat yang sama, katanya, secara kasat mata, “kita akan melihat kemunduran sumber daya manusia, khususnya perempuan.” 

“Berangkat dari kesadaran ini, para pemangku kepentingan harus menggalakan program pencerahan atau konsientisasi gender di berbagai lapisan. Dari kesadaran akan lahir tindakan nyata akan solusi,” katanya.

Herdiana mengatakan diskusi ini juga melahirkan keprihatinan, sebagai akibat dari kesadaran akan keadaan nyata yang dialami perempuan. 

Keprihatinan, kata dia, lahir dan bertumbuh setelah melihat pemerintah dan para pemangku kepentingan “tidak melakukan apa-apa” dalam menyikapi ketidaksetaraan gender.

“Pada titik ini akan terjadi bahaya dan malapetaka sosial. Ketika keprihatinan ini memuncak dan tidak ditanggapi semestinya, maka rasa keprihatinan akan menjelma menjadi masa bodoh yang amat pekat dan mendalam,” ungkapnya. 

Ia mengatakan malapetaka itu dapat terjadi ketika individualisme meningkat di mana sikap cuek dan acuh tak acuh menjadi fenomena sosial. 

Ketika sampai pada taraf  ini, kata dia, maka Labuan Bajo akan melahirkan “pasien penyakit sosial yang akut” dan “pariwisata super prioritas” hanya akan menjadi narasi “orang-orang besar dan investor.”

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini