Oleh: DAN MENI
Tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Berbagai kegiatan menyongsong Hardiknas juga digalakkan untuk memaknai momen ini.
Kegiatan-kegiatan tersebut diadakan sebagai sebuah bentuk perhatian akan urgennya pendidikan dalam upaya memanusiakan manusia. Namun, masalah pendidikan terus merupakan sebuah masalah dihadapi negeri ini.
Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pendidikan tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Bahkan, NTT selalu menempati posisi terakhir dalam Ujian Nasional (UN) setiap tahun. Dengan melihat peringkat ini, berbagai penilaian muncul, terutama cap bahwa mutu pendidikan di NTT paling rendah secara nasional.
Pertanyaannya, apa yang salah dengan pendidikan di NTT sehingga masalah ini tidak pernah berlalu dari bumi Flobamora?
Hemat penulis, ada tiga faktor pemicu. Pertama, kualitas guru. Dalam dunia pendidikan, guru mempunyai peranan yang sangat vital dalam proses memanusiakan manusia. Ia menduduki posisi tertinggi dalam menyampaikan informasi dan pengembangan karakter peserta didik.
Gurulah yang mengadakan interaksi langsung dengan peserta didik dalam proses pembelajaran tersebut.
Karena itu, seorang guru haruslah berkualitas dalam bidangnya sehingga proses tersebut berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kualitas seorang guru diukur melalui proses pembelajaran yang disajikan guru bersangkutan.
Kedua, kualitas infrastruktur. Sudah menjadi gejala umum, infrastruktur di lembaga-lembaga pendidikan di NTT masih minim. Banyak gedung-gedung sekolah yang tidak layak digunakan untuk proses belajar-mengajar.
Sesuai dengan data yang dirilis Kementerian Pendidikan, NTT menempati posisi pertama daerah yang kelasnya rusak terbanyak, yaitu mencapai angka 7.652.
Ketiga, mahalnya biaya pendidikan. Selain dikenal sebagai daerah dengan mutu pendidikan rendah, NTT juga dikenal sebagai daerah yang miskin. Karena faktor kemiskinan tersebut, maka terdapat justifikasi bahwa biaya pendidikan mahal dan karena itu orang miskin tidak mempunyai peluang untuk mengenyam pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas membutuhkan banyak biaya. Ia tidak harus murah, apalagi gratis.
Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab untuk menjamin setiap warganya agar memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat miskin demi mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Akan tetapi, pemerintah justru mengelak dari tanggung jawab tersebut. Sebenarnya kurangnya dana pendidikan tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mencuci tangan dari persolan tersebut.
Solusi
Untuk mengatasi persoalan tersebut, hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, perlu kerja sama antara pemerintah dan lembaga perantara agar menyulam model pendidikan demi peningkatan mutu pendidikan di NTT.
Kerja sama yang dimaksud adalah antara pemerintah, pihak swasta, dan kelompok masyarakat untuk bersinergi memperbaiki mutu pendidikan, mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
Dalam hal ini, kita patut memberikan apresiasi kepada lembaga seperti Media Cakrawala NTT, yang telah berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan di NTT.
Lembaga ini telah memberi pendampingan baik kepada para guru maupun siswa-siswi dalam budaya literasi. Lembaga ini telah menjadi partner pemerintah dalam meningkatkan profesionalitas, budaya menulis ilmiah, kreatif dan pelatihan-pelatihan lainnya.
Kedua, kerja sama dengan orang tua peserta didik untuk menerapkan pilar-pilar pendidikan.
Untuk meningkatkan pendidikan, maka orang tua juga semestinya dilibatkan. Orang tua perlu terlibat aktif untuk membekali anaknya dalam hubungan dengan lingkungan fisik dan sosial, agar anak memahami pengetahuan yang terkait dengan lingkungan sekitarnya.
Orang tua juga perlu mengajari anaknya untuk bekerja, membangun kepercayaan diri dan mengajari anaknya untuk hidup bermasyarakat di tengah kelompok yang beraneka ragam.
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan guru. Pemerintah tidak bisa lagi menganggap ini sebagai hal sepeleh. Kesejahteraan guru menjadi hal penting dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Keempat, keseragaman dalam penerapatan kurikulum. Perubahan kurikulum setiap waktu menyisahkan persoalan tersendiri. Hal ini menyebabkan proses belajar mengajar terganggu.
Apa yang telah diprogramkan oleh guru yang semestinya menjadi fokus perhatian akhirnya terganggu oleh perubahan kurikulum.
Dengan demikian, guru bersangkutan membutuhkan waktu yang panjang untuk menyusuaikan diri dengan metode kurikulum baru.
Oleh karena itu, diperlukan keseragaman dalam penerapatan kurikulum untuk semua jenjang pendidikan, agar mutu pendidikan di setiap sekolah juga terjamin dan out put-nya memiliki kecerdasan intelektual yang sama.
Masalah pendidikan merupakan masalah kita bersama. Mari kita bahu-membahu menyulam berbagai “benang kusut” untuk meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
Semoga dengan momen Hardiknas, semua elemen bersinergi untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan di NTT tercinta ini.
Selamat merayakan Hardiknas.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere