Pertamina Tidak Berhak Menerima Hibah Tanah Barang Milik Daerah (Bagian Pertama)

Oleh: Bonifasius Gunungadvokat asal Manggarai berdomisili di Jakarta dan Direktur Eksekutif Institut Transformasi Hukum Indonesia (ILTRA)

Jawaban terhadap tulisan sahabatku Edy Hardum yang berjudul: Tidak Salah Pemkab Manggarai Hibahkan Tanah Untuk Pertmina

ABSTRAK

Sejak lahirnya UU BUMN No. 19 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), yang membolehkan Pertamina menjual (privatisasi) saham Perseroan kepada pihak lain, Pertamina harus dianggap telah melepaskan haknya untuk menerima hibah tanah barang milik daerah (BMD) kecuali sedang dalam penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005.

Masalahnya adalah ketika menerima hibah tanah BMD di desa Wangkung, Reok, Pertamina tidak: (a) sedang menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum; (b) usaha Pertamina menyalurkan, menampung dan menjual BBM kepada konsumen seturut mekanisme pasar tidak boleh dianggap sebagai penyelenggaraan fungsi kemanfaatan umum; dan (c) tidak ada jaminan secara hukum bahwa Pertamina tidak akan melakukan privatisasi saham Perseroan. Artinya, tanah di Wangkung ini potnesial juga untuk ikut dijual karena sudah terkonversi menjadi saham.

Kelemahan signifikan tulisan Edy Hardum, S.H., M.H., yang dalam rasa hormat kepadanya selanjutnya saya sebut EH, adalah mengidentikkan hukum dengan undang-undang, karena itu, gagasan dan rasa keadilan sosial terhimpit; pandangan hukumnya tidak obyektif karena terlalu menitikberatkan pada aspek kewenangan kepala daerah saja dalam melakukan hibah tanah BMD; mengabaikan syarat dan kriteria obyek BMD yang dihibahkan; kurang dalam mempertimbangkan syarat subyektif lembaga penerima hibah; menyamakan BUMN dengan BUMN Persero; tidak menguak alasan yuridis: mengapa dan untuk apa undang-undang memberikan hak kepada BUMN sebagai institusi penerima hibah;  dan pada bagian akhir tulisannya kelihatan kurang fokus karena bias.

Keberpihakan Intelektual

Artikel saya berjudul “Hibah Tanah Untuk Pertamina, Keliru!” yang telah dimuat oleh media online Floresa.co (29/01/2019 dan 01/02/2019) dan VoxNTT (28 Januari 2019: bagian pertama) telah mendapat tanggapan dari seorang wartawan senior dan advokat muda, EH, yang menulis dengan judul “Tidak Salah Pemkab Manggarai Hibahkan Tanah Untuk Pertamina”, (VoxNTT, 7/02/19).

Membaca tulisan EH itu menyebabkan saya berada dalam 2 (dua) pilihan: pertama, membiarkan publik menilai sendiri isi kedua tulisan itu; kedua, membuat jawaban untuk lebih menjernihkan soal hibah tanah untuk PT Pertamina (Persero), demi kepentingan publik Manggarai Raya.

Dengan tetap mempertimbangkan relasi personal yang baik saya dengan EH, secara sadar, saya memilih pilihan kedua, mengingat visi sosial para intelektual adalah memastikan setiap kebijakan publik yang diambil oleh penguasa menyebabkan hadirnya kesejahteraan bagi rakyat; sejalan dengan rasa keadilan masyarakat; merefleksikan penghargaan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara; memanusiakan manusia; berpijak pada UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum bernegara; dan tidak bersifat manipulatif.

Edward W. Said (1978,1995) dalam bukunya Representation of the Intellectual, menyatakan bahwa “fungsi seorang intelektual dalam masyarakat adalah pencipta sebuah bahasa untuk mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa”. Saya sangat sependapat dengan Edward. Untuk itulah saya menulis tentang isu ini, terlepas dari apakah ada pihak yang merasa terganggu atau bahkan tidak sepakat dengan Saya.               

Keputusan hibah tanah BMD ini menarik perhatian banyak pihak. Perbedaan pendapat karena berbeda persepsi atau sudut pandang dalam melihat soal, terus meluas. Pro-kontra bergulir deras. Rakyat Manggarai terbelah dalam dua posisi ekstrim. Mendukung vs menolak. Saya berada dalam posisi menolak keputusan itu. Sebaliknya, EH mendukung, tentu saja dengan basis argumentasi hukum masing-masing.

FAMARA Melirik

Sedikit menghadirkan informasi kepada publik bahwa tulisan saya dan tulisan EH telah dipresentasikan juga di hadapan beberapa orang anggota Forum Advokat Manggarai Raya (FAMARA) dan mahasiswa Manggarai di Jakarta pada 02 Februari 2019.

Hampir semua peserta diskusi sepakat bahwa dari aspek hukum, hibah tanah untuk PT Pertamina (Persero) oleh Kepala Daerah Manggarai  itu patut dipertanyakan. Karena itu, jika dapat melewati aral melintang, FAMARA bersama komponen mahasiswa Manggarai mungkin akan mengayunkan langkah bersama untuk mengadvokasi masalah ini.

Dalam forum diskusi yang dimoderatori oleh Valensius Dulmin, S.H., M.H. itu, Saya dan EH telah diberikan kesempatan yang sama untuk mempresentasikan makalah kami. Diskusi berlangsung penuh persahabatan dan respect satu sama lain walaupun berbeda sudut pandang dalam menilai soal. 

Berbagai tanggapan telah diajukan oleh peserta diskusi terhadap konten makalah yang disajikan kedua pemakalah. Beberapa hal penting yang saya catat adalah tanggapan yang disampaikan oleh Ketua Presidium FAMARA, Danggur Konradus, S.H., M.H. (Promovendus ilmu hukum pada Universitas Diponegoro) dan Dr. Junior B. Gregorius, S.H., M.H.

Basis utama dalam menganalisis kebijakan publik di bidang hukum, demikian tanggapan Danggur Konradus, adalah tujuan kita bernegara sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat UUD 1945. Bahwa tujuan utama negara ini didirikan oleh the Fouding Fathers adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Untuk memastikan terwujudnya tujuan bernegara itu, para pendiri bangsa telah menetapkan hukum dasar untuk mengatur dan memanfaatkan segala sumber daya alam termasuk tanah sebagaimana ketentuan pasal 33 UUD 1945. Pertanyaannya, lanjut Danggur Konradus, adalah apakah pemberian hibah tanah BMD ini bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau sebaliknya untuk kesejahteraan perseroan yang berwatak komersial?

Selanjutnya, menurut Dr. Greg, demikian ia akrab disapa, kedua pemakalah telah menampilkan gagasan yang baik dan berkualitas walaupun mengambil posisi yang berbeda di hadapan obyek masalah yang dikaji. Doktor ilmu hukum lulusan Universitas Indonesia itu berkomentar bahwa pemikiran pemakalah pertama, EH merupakan representasi dari aliran pemikiran positivisme hukum. Sementara gagasan pemakalah kedua (Bonifasius Gunung) kental beraliran idealisme hukum. Keduanya bermanfaat untuk kepentingan ilmu pengetahuan hukum dan publik.

Sementara itu, Vitalis Jenarus, S.H. (Sekjen FAMARA) mengajukan tanggapan berupa pertanyaan kepada Marsel Ahang, S.H. (Anggota DPRD Manggarai) yang lantang bersuara menolak keputusan hibah tanah BMD ini. Manfaat apakah yang diperoleh rakyat Manggarai dari hibah tanah BMD ini?

Menurut Saya, pertanyaan pemerhati masalah penegakan hukum di NTT ini amat penting karena untuk menjawabnya, kita semua terdorong untuk menguji legitimasi atau keabsahan yuridis semua regulasi terkait hibah BMD terhadap tujuan kita bernegara sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea Keempat dan pasal 33 UUD 1945.         

Para advokat muda (Plasius Asis de Ornay, dkk.) dan para mahasiswa juga telah memberikan tanggapan mereka masing-masing. Berpijak pada kepekaan moral sebagai agent of social (people) change, rekan-rekan mahasiswa Manggarai Raya yang sempat hadir (Ovan Wangkut, Sello Paju Gampar, Wira Hipatios dan Ano Leonardo) berpendirian bahwa keputusan hibah ini tidak adil bagi rakyat karena itu harus ditolak dengan cara apa pun.  

Pasca diskusi FAMARA itu, saya pikir EH mendapatkan masukan yang berharga untuk mengubah cara pandangnya terhadap masalah hibah tanah BMD ini. Ternyata tidak. EH bahkan membuat tanggapan yang bersifat “konfrontatif” atau “anti thesa”, meminjam terminologi yang dipakai oleh EH sendiri terhadap tulisan saya.

Saya tidak pernah bayangkan sebelumnya bahwa “perang gagasan” semacam ini justru terjadi intra anggota kelompok civil society. Saya salah. Cacat bawaan kaum civil society (termasuk Saya dan EH) seperti ini memang kerap menjadi tantangan, untuk tidak dikatakan hambatan serius dalam advokasi kasus-kasus yang bermuatan kepentingan publik.      

Kelemahan Tulisan EH

Setelah dibaca secara cermat, tulisan EH berjudul “Tidak Salah Pemkab Manggarai Hibahkan Tanah Untuk PT Pertamina”, mengangkat beberapa isu hukum sebagai berikut:

Pertama, EH memulai tulisannya dengan sebuah pernyataan, yang menurut hemat Saya menegaskan dirinya sebagai pengikut aliran hukum positivisme. Aliran positivisme hukum sebagaimana dibaca dalam pemikiran John Austin (1790-1859) meyakini bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat. Perintah penguasa yang berdaulat itu adalah undang-undang. Dan bahwa hukum itu identik dengan undang-undang. Di luar undang-undang tidak ada hukum. Posisi EH ini tercermin dari pernyataan awal tulisannya:

“….untuk membedah kasus dengan menggunakan ilmu hukum (peraturan perundang-undangan), maka yang pertama-tama yang perlu diingat dan dikedepankan adalah undang-undang atau aturan-aturan apa yang pas digunakan sebagai pisau analisis”    

Saya tidak sependapat dengan EH karena beberapa alasan. EH mengidentikkan ilmu hukum dengan peraturan perundang-undangan. Keduanya jelas beda. Ilmu hukum menurut Jan Gijssels  dan Mark van Hocke dalam Peter Mahmud Marzuki (2012) mempunyai 3 (tiga) komponen utama, yaitu filsafat hukum, teori hukum dan dogmatika hukum. Peraturan perundang-undangan adalah bagian dari atau merupakan obyek studi dogmatika hukum.

Jeremy Bentham dan John Austin dalam Jimly Asshiddiqie (2010) mengartikan undang-undang sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat (berlaku) umum. Dalam konteks hukum Indonesia, undang-undang dapat diartikan sebagai peraturan yang berlaku umum yang ditetapkan oleh DPR setelah mendapat persetujuan bersama Presiden (lih. Pasal 20 UUD 1945).

Dari pengertian ilmu hukum dan undang-undang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Hukum mempunyai cakupan obyek studi yang sangat luas. Sedangkan undang-undang hanyalah merupakan salah bentuk konkret dari hukum, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Jadi, mengidentikkan Ilmu Hukum dengan peraturan perundang-undangan jelas merupakan sebuah reduksi makna hukum yang amat keliru.

Kelemahan tulisan EH berikutnya adalah terlalu dominan menggunakan pendekatan deduktif dalam menganalisis masalah hibah tanah BMD. Kelemahan pendekatan semacam ini adalah ketertarikan subjek yang melakukan analisis tidak pertama-tama digerakan oleh fakta terkait objek yang dianalisis, tapi oleh pengetahuan sang subjek tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis. Akibatnya adalah reaksi publik yang berbasis kepekaan nurani dan rasa keadilan sosial ketika menolak keputusan hibah tanah BMD ini kurang mendapat tempat dalam kajian EH.

Menurut saya, bedah kasus hibah tanah BMD ini lebih tepat menggunakan pendekatan induktif. Dengan pendekatan ini, subjek yang melakukan analisis, pertama-tama akan melakukan investigasi pengumpulan fakta-fakta hukum seputar sejarah kepemilikan tanah itu sejak sebelum beralih kepada Pemda Manggarai sampai pada saat ketika dihibahkan kepada PT Pertamina (Persero).

Fakta-fakta yang ditemukan lalu dianalisis melalui metode verifikasi untuk menentukan relevansi fakta-fakta tersebut dengan objek masalah. Setelah dianalisis, barulah diuji apakah keputusan hibah tanah BMD itu sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta rasa keadilan masyarakat atau tidak. Pendekatan induktif akan memunculkan kepekaan pada diri subjek untuk, pertama-tama merasakan gejolak ketidakadilan yang menggerakkan masyarakat untuk bergerak maju menolak keputusan hibah.

Kedua, sebagai penopang gagasannya, EH kemudian meletakkan dasar teori bagi tulisannya dengan mengutip beberapa asas hukum yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu (a) asas lex superior derogat legi inferior, artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah; (b) asas lex specialis derogat legi generalis, artinya peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum; dan (c) asas lex posterior derogat legi priori, artinya peraturan yang paling baru dapat mengesampingkan peraturan yang lama.

Dapat dipahami bahwa EH merujuk pada asas-asas hukum itu untuk memperkuat pendapatnya bahwa ”terdapat konflik nilai atau norma antara PP No. 22 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah dengan PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah”. Oleh karena itu, menurut EH, asas lex superior derogat legi inferior dan asas lex specialis derogat legi generalis tepat untuk diterapkan dalam kasus ini.

EH menekankan bahwa PP No. 22 Tahun 2012 merupakan lex specialis dan karena itu lebih tepat dijadikan dasar hukum bagi hibah tanah BMD kepada PT Pertamina (Persero). Sedangkan PP No. 27 Tahun 2014 dan Permendagri No. 19 Tahun 2016 bukan merupakan lex specialis sehingga beralasan untuk dikesampingkan. Validkah argumentasi hukum itu? Mari kita uji.

  1. soal bahwa PP No. 22 Tahun 2012 merupakan turunan dari UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Pasal 45 ayat (2) UU ini tidak menyebutkan bahwa pemindahtanganan barang milik negara/daerah yang antara lain dilakukan dengan cara “hibah” ditetapkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Artinya, bahwa PP ini bukan hanya merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang UU No. 1 Tahun 2004. Argumentasi EH terkait hal itu tidak valid atau setidaknya hanya merupakan penafsirannya saja. Dengan kata lain, PP tersebut di atas juga berinduk pada undang-undang lain.

  • soal bahwa PP No. 22 Tahun 2012 merupakan lex specialis sehingga beralasan hukum untuk menjadi  landasan yuridis atas hibah BMD, yang karenanya dapat mengesampingkan PP No. 27 Tahun 2014 dan Permendagri No. 19 Tahun 2016. Benarkah demikian? Apakah ada konflik norma dalam kedua PP tersebut? Mari kita uji.

Bahwa sejak lahirnya PP No. 27 Tahun 2014 ini, maka seluruh kegiatan pemindahtanganan termasuk hibah, perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, penatausahaan dan pembinaan, pengawasan serta pengalihan barang milik negara/daerah wajib dilakukan menurut PP ini (lih. Pasal 107 PP No. 27/20014).

Pertanyaannya adalah apakah ketika kepala daerah melakukan pemindahtanganan dengan cara hibah tanah BMD menurut PP No. 22 Tahun 2012, harus mengikuti atau memedomani PP No. 27 Tahun 2014? Ya! Karena pemindahtanganan dengan cara hibah tanah BMD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari urusan pengelolaan dan pemanfaatan barang milik negara/daerah. Oleh karena itu, pertimbangan mengenai kepentingan hibah tanah BMD dan tata cara hibah harus memedomani ketentuan pasal 68, 69, 70, dan pasal 71 PP No. 27/2014.  

Sangatlah beresiko jika hibah tanah BMD dilakukan hanya berdasarkan PP No. 22 Tahun 2012 karena beberapa hal yang bersifat esensial seperti: tujuan, jumlah, sumber, penerima, persyaratan, tata cara penyaluran, tata cara pelaporan dan pemantauan, hak dan kewajiban pemberi dan penerima hibah dan sanksi (lih. Pasal 17 ayat 1) tidak diatur secara detail dalam PP ini. Dikatakan bahwa hal-hal sepenting itu diatur dalam perjanjian hibah daerah antara pemberi dan penerima hibah.

Untuk mengisi kekosongan tersebut, maka hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) PP No. 22 Tahun 2012 diatur lebih lanjut dalam pasal 68, 69, 70, dan pasal 71 PP No. 27 Tahun 2014. Jadi, argumentasi bahwa kedua PP tersebut bertentangan satu sama lain adalah tidak benar.

Kedua PP tersebut juga sama-sama berkedudukan sebagai lex specialis. Yang membedakan keduanya adalah bahwa PP No. 22 Tahun 2012 bersifat lebih lex specialis karena hanya mengatur hibah daerah. Sedangkan PP No. 27 Tahun 2014 bersifat lex specialis dalam konteks yang lebih luas karena mengatur hibah BMD sebagai bagian integral dari urusan pemindahtanganan BMD.

Dari uraian di atas, saya berpikir bahwa argumentasi EH terkait Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah tidak berlaku dalam kasus hibah tanah BMD di Reok, Wangkung ini karena bertentangan dengan PP No. 22 Tahun 2012 juga terbukti keliru dan tidak valid. Permendagri dimaksud adalah turunan dari PP No. 27 Tahun 2014, yang wajib dipedomani dalam kegiatan pemindahtanganan BMD dengan cara hibah.

Sekedar catatan, walaupun saya kurang sependapat dengan substansi pendapat hukum Jaksa Pengacara Negara (JPN), namun dalam pendapat hukum tersebut mereka telah meletakkan juga PP No. 27 Tahun 2014 dan Permendagri No. 19 Tahun 2016 sebagai dasar hukum bagi pendapat hukum JPN, yang kita tahu merupakan alasan kuat bagi Kepala Darah Manggarai menghibahkan tanah BMD ini kepada PT Pertamina (Persero). 

  • EH kelihatannya sangat terikat dengan ketentuan pasal 45 dan 46 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sehingga cenderung abai bahwa UU tersebut bukanlah satu-satunya undang-undang yang menjadi landasan yuridis dalam melakukan pemindahtanganan melalui hibah tanah BMD.

Benar bahwa UU No. 1 Tahun 2004 menetapkan BUMN atau BUMD juga merupakan lembaga yang berhak menerima hibah tanah BMD. Demikian juga dalam PP No. 22 Tahun 2012.

Tapi, berhadapan dengan fakta-fakta hukum terkait sebidang tanah BMD di Reok, Wangkung ini:

  • yang sudah puluhan tahun dimanfaatkan oleh PT Pertamina (Persero), dalam keadaan “tidak jelas” apakah disewa atau dipakai gratis;
  • yang dibebaskan untuk kepentingan umum pada tahun 1982 berdasarkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah/Pemerintah (ingat! bukan untuk kepentingan PT Pertamina Persero), masing-masing Nomor: 44/SPUMH/1982, Nomor: 45/SPUMH/1982, Nomor: 46/SPUMH/1982, dan Nomor: 50/SPUMH/1982;
  • yang kemudian, tanpa meminta pertimbangan dan persetujuan rakyat Manggarai melalui DPRD telah dilepaskan begitu saja haknya oleh Bupati Manggarai berdasarkan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 196A/300.6/III/2018, tanggal 26 26 Maret 2018;
  • yang setelah itu, lalu mengajukan permohonan hak pengelolaan atas obyek tanah yang sama kepada Kepala BPN RI tanpa rakyat tahu untuk siapa hal itu dilakukan oleh Bupati; dan
  • yang pada akhirnya hak Pemda (baca: rakyat Manggarai) atas tanah itu dilepaskan lagi dengan cara hibah kepada PT Pertamina (Persero);

bolehkah kita mengajukan beberapa pertanyaan kritis-reflektif sebagai berikut?

  1. Apakah tindakan kepala daerah menghibahkan tanah BMD yang diperoleh berdasarkan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum memiliki legitimasi hukum yang kuat dan memenuhi rasa keadilan rakyat? 
  2. Apakah tindakan Bupati Manggarai yang telah melepaskan hak atas tanah itu berdasarkan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 196A/300.6/III/2018, tanggal 26 Maret 2018, tanpa meminta pertimbangan rakyat melalui DPRD dibolehkan hukum dan baik secara etika politik kekuasaan? 
  3. Apakah PT Pertamina (Persero) yang core business-nya adalah mencari keuntungan dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat sebagai konsumen dapat dianggap menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum sehingga berhak memperoleh hibah tanah BMD? dan
  4. Apakah dalam setiap situasi dan keadaan BUMN/BUMD boleh menerima hibah tanah BMD atau kah hak itu timbul karena adanya alasan atau situasi khusus dan mendesak?

***

(Bersambung ke bagian kedua, …)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA