Oleh: RD SILVIANUS M MONGKO, Mahasiswa Hukum Universitas Katolik Parahyangan, pernah berpastoral sebagai Ketua Komisi Pariwisata di Kevikepan Labuan Bajo.
Di tangan Presiden Jokowi, Labuan Bajo ditetapkan sebagai salah satu dari lima destinasi pariwisata super prioritas di Indonesia sejak Juli 2019 [Buletin Kementerian PUPR, 2020]. Sejak itu, agenda-agenda pembangunan infrastruktur pariwisata terus dilancarkan ke Labuan Bajo. Meski demikian, salah satu agenda yang paling banyak mendapat sorotan dan resistensi masyarakat ialah kewenangan otoritatif yang diberikan kepada Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores [BOPLBF] untuk menguasai “paling sedikit 400 hektar hutan Bowosie Labuan Bajo” sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden [Perpres] Nomor 32 Tahun 2018 tentang BOPLBF.
Awalnya, masyarakat menyambut Perpres tersebut sebagai momentum “triumfalistik” rezim pembangunan pariwisata karena kehadirannya dilihat sebagai bentuk keseriusan pemerintah pusat untuk membangun pariwisata Labuan Bajo Flores. Akan tetapi, seiring berjalannya agenda-agenda pembangunan pusat, masyarakat dikhawatirkan oleh rencana alih fungsi ratusan hektar hutan itu untuk kepentingan investasi. Sejak itu, beragam pertanyaan, diskusi, spekulasi, dan kecemasan publik mulai muncul. Apa urgensi pembangunan infrastruktur “destinasi buatan” berskala besar di dalam kawasan hutan pelindung kota Labuan Bajo? Bukankah pariwisata mesti selaras dengan agenda konservasi serta perlindungan hak-hak masyarakat? Bagaimana nasib hak-hak masyarakat dalam agenda bisnis pariwisata eksklusif versi BOPLBF? Membaca ekses di balik perintah Perpres tersebut, maka pembangunan “pariwisata buatan” [hand-made destination] seluas paling sedikit 400 hektar di dalam kawasan Hutan Bowosie Labuan Bajo mesti dicabut embali karena berpotensi menghancurkan lokalitas.
Privatisasi Kawasan Hutan
Dalam agenda pembangunan versi BOPLBF, di dalam kawasan paling sedikit 400 hektar hutan itu akan dibangun infrastruktur pariwisata yang melibatkan investor dengan kekauatan modal yang fantastis. Bagaimana tidak? Dalam skema detail rencana pembangunan yang sudah dirancang BOPLBF, di dalam kawasan 400 hektar itu akan dibangun infrastruktur pariwisata super eksklusif secara besar-besaran. Pembangunan itu dibagi ke dalam empat distrik, yaitu cultural district, leisure district, wild life district, dan advanture district. Total kamar hotel dan resort yang akan dibangun tidak kurang dari 461 keys. Di luar itu akan dibangun fasilitas hiburan, tempat atraksi, commercial village, cultural center, performance center, worship center dan pilgrimage, forest walk, lumina forest, interpretation center, cliff restaurant, outdoor theater, natural reserve gallery, dan miny zoo, dan masih banyak lagi [Data Proyek Investasi Kawasan Otoritatif BOPLBF, 2021]. Semuanya melahap area hutan yang sampai saat ini dijadikan pelindung kota, sumber mata air yang menunjang kebutuhan warga, serta wilayah resapan air yang memadai. Lantas, bagaimana nasib lingkungan jika semua fasilitas mewah itu dibangun? Untuk kepentingan siapa semua fasilitas itu? Di dalam desain itu, tidak terlihat ruang bagi masyarakat lokal dan UMKM untuk terlibat.
Dengan mengacu pada desain pembangunan di dalam kawasan hutan itu, bisa dibilang, bahwa pemerintah pusat melalui aktor lapangan BOPLBF sedang merancang agenda pariwisata buatan [hand-made destination] yang tidak selaras dengan karakteristik pariwisata Labuan Bajo-Flores yang berbasis alam dan budaya. BOPLBF sedang merancang success story pariwisata buatan super eksklusif dan berkelas mewah. Boleh jadi, BOPLBF beralasan karena pihaknya hanyalah aktor lapangan saja dari agenda pusat sehingga telah mengubah nomenklatur menjadi Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores. Akan tetapi, hal itu tidak penting karena substansi otoritatifnya tidak hilang sebagaimana ditegaskan secara ekplisit dalam Pasal 2 ayat 2 Perpres 32 Tahun 2018. “Cakupan kawasan sebagaimana dimaksudkan pada ayat [1] termasuk kawasan seluas paling sedikit 400 hektar, yang merupakan kawasan hutan yang terletak di Hutan Bowosie, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur…” Melalui pasal keramat tersebut, BOPLBF terus menancapkan keberadaannya melalui berbagai upaya untuk mendapatkan “hak otoritatifnya” atas kawasan Hutan Bowosie. Lantas, mengapa mesti bangun di dalam kawasan hutan?
Problem kahadiran BOPLBF di Labuan Bajo justru karena ia lebih merepresentasi diri sebagai “badan korporasi” daripada badan koordinatif. Ada kesan badan ini lebih dominan hadir sebagai agen korporasi dari pada lembaga yang menyerap aspirasi masyarakat. Laporan lembaga kajian Sunpirit Justice and Peace yang berkedudukan di Labuan Bajo dan sangat konsen dengan kajian terhadap isu-isu pariwisata selama ini, bahwa hak otoritatif BOPLBF untuk menguasai paling sedikit 400 hektar hutan Bowosie justru menciptakan konflik lahan dengan masyarakat sekitar hutan, penghancuran ekosistem hutan, dan privatisasi pengelolaan hutan untuk kepentingan bisnis [Laporan Divisi Penelitian Sunspirit for Justice and Peace, 2021].
Penghancuran Lokalitas
Dari aspek yuridis, klausul hak otoritatif 400 hektar Hutan Bowosie oleh BOPLBF jelas-jelas mengandung cacat materil karena substansi penguasaan hutan dalam skala besar itu bertentangan dengan kehendak masyarakat lokal. Materi muatannya berpotensi menyingkirkan hak-hak masyarakat serta penghancuran ekologis. Tercacat, menurut laporan lembaga penelitian Sunsprit for Justice and Peace, ada 14 mata air di Labuan Bajo, belum terhitung sumur warga yang sangat membantu kebutuhan air untuk warga. Itu artinya, kontribusi Hutan Bowosie sangat besar untuk menopang keseimbangan ekologis dan kebutuhan air masyarakat.
Akan tetapi, dalam skema rezim pembangunan versi BOPLBF, potensi kehancuran ekologis bakal tak terbendung kalau pembangunan itu terus dipaksakan. Apalagi, perusahaan-perusahaan yang diberi izin usaha di dalam kawasan hutan tersebut dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [AMDAL], serta diberi insentif keringanan pajak pasca penetapan Omnibus Law 2020. Bisa dibayangkan bagaimana nasib Kota Labuan Bajo ke depan kalau Hutan Bowosie sebagai pelindungnya dikonversi menjadi kawasan bisnis dalam skala besar. Jangan-jangan kehadiran pembangunan itu menjadi rezim penghancuran pariwisata. Alih-alih untuk menciptakan pariwisata kelas dunia, hak otoritatif 400 hektar hutan itu justru menjadi sumber malapetaka ekologis.
Sulit dibantah, rencana alih fungsi hutan tersebut kental dengan aroma bisnis korporasi besar. Di pihak lain, masyarakat masih terseok-seok akibat hantaman badai pandemi Covid-19. Desain fasilitas destinasi super mewah itu sangat jauh dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat lokal. Jangan-jangan desain pembangunan di Bowosie hanya menjadi milik eksklusif kelas elite, sebab sulit sekali menemukan titik temu antara kepentingan para pihak di dalamnya dengan potensi yang dimiliki masyarakat sekitar. Dari sisi kajian hak-hak indigeneous, rezim pembangunan seperti ini mempertajam ketimpangan antara masyarakat lokal dengan para pemilik modal, hal mana hanya akan melanggengkan narasi buruk pemiskinan sistemik bagi orang-orang lokal. Tanah Bowosie bakal menjadi hak eksklusif pihak asing.
Menyadari bahaya pengasingan sistemik itu, maka komunitas masyarakat Racang Buka yang secara langsung mendapat ancaman penyingkiran rezim pembangunan tersebut melakukan upaya “pasang badan” di lokasi saat Badan Otorita ini hendak melakukan penggusuran pada Senin, 25 April 2022 lalu [Floresa.co 25/4/2022]. Mereka menolak untuk menyerahkan lahan dan hutan, serta menolak untuk direlokasi dari tempat tinggal mereka. Karena itu, ketegangan pun terjadi di lokasi, meski akhirnya berhasil dikendalikan oleh aparat. Masyarakat tidak mau menyerahkan hutan untuk kepentingan agenda bisnis orang-orang kuat dari luar, lebih-lebih karena agenda itu difasilitasi oleh regulasi yang diciptakan negara. Agenda semacam ini hanya menciptakan penghancuran sosial dan ekologis. Jika terus dipaksakan, maka akan menjadi ancaman terhadap agenda pariwisata ke depan. Oleh karena itu, agenda ini mesti ditolak sebelum terlampau jauh menjadi rezim penghancur lokalitas.
Kalau dilihat lebih jauh, persoalan Bowosie sebetulnya bukan saja soal konsep pariwisata yang pro-kapitalis, tetapi yang lebih parah ialah bagaimana agenda bisnis orang-orang kuat yang meng-capture kekuasaan. Ketakutan akan ada agenda diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat lokal begitu kuat, karena di atas tanah leluhur masyarakat, negara “menggadaikan” hak-hak masyarakat untuk kepentingan korporasi. Justru karena itu, Perpres 32 Tahun 2018 itu menyimpan lojik kapitalis dalam agenda ekonomi neoliberal. Pada titik itu, hak-hak masyarakat di atas tanah dan Hutan Bowosie akan disingkirkan. Tak heran jika sebagian elemen masyarakat lokal yang sungguh sadar akan bahaya rezim pembangunan seperti ini terus melancarkan resistensi terhadap BOPLBF. Bagaimana mungkin badan ini bisa dengan gampang menguasai ratusan hektar hutan di tengah begitu sulitnya warga mendapatkan lahan untuk membangun rumah dan tempat usaha?
Akhirnya, hak otoritatif 400 hektar itu dengan segala agenda pembangunan di dalamnya menyimpan bahaya yang besar untuk keseimbangan ekologis dan kohesivitas sosial di Labuan Bajo. Untuk itu, tentu harapan terakhir, Presiden Jokowi bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menanggapi secara serius persoalan ini mengingat reaksi penolakan warga di lokasi tidak pernah selesai. Masyarakat membutuhkan suasana kondusif untuk mulai bangkit dari kerapuhan ekonomi akibat pandemi. Apalagi, Presiden Jokowi pernah berjanji untuk membekukan Badan Otorita saat berkunjung ke Labuan Bajo pada Juli 2019. “Kita ini yang penting orientasinya ke rakyat. Kalau Badan Otorita ‘nggak’ memberikan keuntungan kepada rakyat nggak usah. Kalau masyarakat nggak mau, stop. Udah. Gampang. Ada Gubernur ada Bupati kok. Udah. Gitu aja”. Publik menunggu realisasi dari kata-kata ini.
***