Oleh: Pater Avent Saur, SVD
[Artikel ini diadaptasi dari renungan dalam Misa untuk mengenang Romo Ansi Syukur, imam Katolik yang meninggal karena bunuh diri. Misa ini diselenggarakan secara virtual oleh Komunitas Biarawan-biarawati Paroki Orong, Keuskupan Ruteng, Jumat, 17 Februari 2023.]
Hampir pasti, tidak 100 persen pasti, lantaran tidak ada penjelasan memadai oleh pihak yang berwenang, Saudara kita, Romo Ansi, meninggal dengan cara bunuh diri pada Kamis, 16 Februari 2023. Kita sekalian bersama keluarga inti dan keluarga besar Keuskupan Ruteng, serta keluarga besar lembaga tempat Romo Ansi mengabdi, pasti diliputi rasa dukacita yang mendalam.
Dan kita, selain secara pribadi, malam ini kita berkumpul untuk mendoakan beliau. Semoga doa-doa yang kita ucapkan buat Romo dikabulkan oleh yang empunya kehidupan, Allah Tritunggal Mahakudus. Semoga dosa-dosanya diampuni agar dia berbahagia di surga.
Paling, manfaat buat Romo Ansi dari pertemuan virtual kita malam ini, adalah itu, semoga dia berbahagia bersama Tuhan di surga. Dari pengalaman kepergiannya dengan cara seperti itu, manfaat yang paling besar dari perjumpaan kita malam ini, adalah untuk kita sekalian yang masih berziarah di dunia fana ini. Maka marilah kita berefleksi bersama.
Pertanyaan Rumit Harus Dijawab
Tentu bukan hanya kita, melainkan juga sekian banyak orang, bertanya-tanya kenapa Romo pergi selamanya dengan cara demikian? Bukan hanya tentang dia, kita bertanya. Sudah ada sekian banyak orang di dunia ini pergi selamanya menghadap Tuhan dengan cara yang kurang lebih sama. Tentang semua mereka itulah kita bertanya dan berjuang mencari jawabannya.
Sekalipun pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab, tetapi ini bukan semata-mata pertanyaan retoris atau pertanyaan reflektif yang diutarakan begitu saja dan bergantung pada tiap-tiap orang (secara pribadi) untuk merenungkannya atau tidak.
Pertanyaan ini harus dijawab secara publik; dan jawaban yang memadai terhadap pertanyaan reflektif ini harus digali, selain dalam kerangka iman, juga terutama dalam kerangka kesehatan jiwa. Dan kerangka kesehatan jiwa selalu terkait erat dengan kerangka teologis iman kita.
Pertama-tama, kita harus tahu dan sadar bahwa hakikat kita sebagai manusia adalah ciptaan yang rapuh dan fana. Kita bisa mengalami masalah apa pun – ada masalah ringan dan gampang dicari jalan keluarnya, ada masalah rumit yang cukup sulit untuk dicari jalan keluarnya. Kita juga bisa menderita sakit, apa pun jenisnya; bahkan ada sakit yang sangat berat dan tak tersembuhkan dengan pelbagai cara apa pun.
Salah satu jenis sakit yang bisa dialami oleh manusia adalah menderita gangguan jiwa. Apa yang kita sebut gangguan jiwa, jenisnya sangat banyak, sangat bervariasi. Bahkan seseorang bisa mengalami lebih dari satu jenis gangguan jiwa.
Sakit apa pun itu bisa dialami oleh siapa pun juga di dunia fana ini. Tidak ada klasifikasi status sosial terkait sakit. Tidak ada klasifikasi status ekonomi, status keagamaan, status politik, klasifikasi usia, dan pelbagai status/klasifikasi lainnya. Kenapa? Sekali lagi, sebab kita adalah ciptaan yang fana dan rapuh.
Tahukah saudara-saudari sekalian? Paus Fransiskus pernah mengalami gangguan jiwa. Ia mengalaminya pada tahun 1978-1979 saat beliau menjabat pemimpin tertinggi dalam Ordo Yesuit di Argentina. Ia menjalani pengobatan pada dokter ahli jiwa hingga pulih.
Mula-mula, ia mengalami gejala gangguan jiwa pada saat Argentina berada dalam ketegangan politik yang membuat hubungan pemerintah dan Ordo Yesuit memburuk. Saat itu, ia tak habis pikir lantaran keadaan politik yang mengorbankan 30 ribu aktivis muda terbunuh.
Tentang proses pengobatannya, saat Paus diwawancarai sosiolog dan wartawan Prancis, Dominique Wolton, Paus Fransiskus mengatakan, “Selama enam bulan, saya pergi ke rumahnya, seminggu sekali, untuk bicarakan beberapa soal pada diri saya. Dia seorang dokter dan psikoanalis. Dia selalu terbuka dan membantu saya hingga pulih.”
Tentang ini bisa dibaca pada buku berjudul Pope Francis – The Future of Faith: The Path of Change in Politics and Society karya Dominique Wolton atau kutipannya bisa dibaca pada buku Belum Kalah yang saya tulis tahun 2017 lalu.
Tiba di Jalan Buntu
Terkait kasus bunuh diri, jenis gangguan jiwa yang pada umumnya menonjol adalah depresi. Tentu ada banyak penjelasan mendalam tentang gangguan depresi, tetapi kiranya kita cukup sampai pada informasi yang sangat singkat bahwa dalam depresi, penderita menemukan jalan buntu dalam mengelola persoalan yang sedang dihadapinya.
Mula-mula gangguan depresi itu berbentuk gejala-gejala ringan, kemudian seperti sakit-sakit lain, kalau tidak ditangani dengan baik, maka tentu keadaan akan makin berat, bahkan pada titik tertentu, penderita tiba pada jalan buntu.
Selain menemukan jalan buntu, penderita juga akan merasa kehilangan harapan, merasa diri tidak berarti lagi, merasa diri tidak ada gunanya lagi, merasa diri sia-sia menjalani hidup di dunia ini, bahkan mempertanyakan eksistensi diri – untuk apa saya dilahirkan di dunia fana ini?.
Dalam perasaan-perasaan kalut itu, penderita juga merasa tidak menemukan orang-orang di sekitar yang cocok untuk mendengarkan dan memahami pergumulan hidupnya yang pelik. Bahkan kalau gangguannya makin berat, ia merasa bahwa orang-orang di sekitarnya selalu bercerita tentang keburukan dirinya; ia merasa orang-orang di sekitar tidak senang padanya; ia merasa orang-orang di sekitar selalu menceritakan kekurangan, kesalahan, dan dosa-dosanya.
Saat orang sedang berkumpul misalnya, mereka obrol tentang persoalan A, tetapi pada pikiran dan perasaan penderita, ia merasa mereka bercerita tentang keburukan dirinya. Ia pun tidak suka pada mereka. Ia merasa bergelut sendirian dalam menjalani hidupnya.
Pada orang yang menderita gangguan depresi, sesekali bisa mengalami kegembiraan meluap-luap, sesekali ia juga jatuh ke dalam kesedihan yang mendalam. Tetapi pada kasus lain, ia sepertinya tampak biasa saja.
Misalnya, terhadap orang yang mungkin anggota keluarga kita atau kenalan kita yang bunuh diri, kita katakan, “Tega sekali kau pergi secara sadis. Kemarin baru kita minum kopi bersama dan cerita tentang rencana kerja kita” dan pelbagai komentar lainnya.
Tentu tidak sekadar begini penjelasan tentang gangguan depresi, tetapi sekurang-kurangnya kita persingkat saja seperti ini. Mudah-mudahan kita bisa memahami dengan baik, lebih daripada itu, mengingatnya dengan kuat.
Soal Kesadaran
Dalam keadaan depresi berat (yang boleh jadi pada mata kita teman itu baik-baik saja), dorongan yang paling kuat pada dirinya adalah kematian. Ia merasa bahwa kematian adalah jalan terbaik untuk keluar dari persoalan hidupnya. Ada dorongan atau niat untuk melakukan bunuh diri.
Namun, adanya dorongan untuk bunuh diri sama sekali bukan berarti ia ingin mati. Ini perlu dicatat! Penting! Bahkan ia menolak bunuh diri. Namun dorongan kematian itu sangat kuat menguasai diri, mengendalikan dirinya; mengendalikan seluruh pikirannya, perasaannya, dan perilakunya.
Ketika dorongan kematian itu mengendalikan dirinya, maka kesadarannya pun menurun. Kesadarannya akan moralitas menurun. Kesadaran bahwa pemegang hak penuh atas kehidupan manusia adalah Allah Maha Pencipta, juga menurun drastis. Kesadaran akan kedudukan sosial yang tinggi di dalam masyarakat atau di tempat kerja juga menurun drastis. Kesadaran akan identitasnya sebagai rohaniwan pada kasus Romo Ansi, misalnya, itu juga menurun drastis. Kesadaran tentang apa pun tentang diri dan kehidupan, itu semua menurun drastis.
Dalam keadaan kesadaran yang kecil itu, ia tidak mampu mengendalikan dorongan pada kematian. Dalam kesadaran yang kecil itu, ia hanya bisa menemukan cara untuk proses kematian itu. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, dalam kesadaran yang kecil itu, ia bisa menulis surat wasiat buat orang-orang yang ditinggalkan. Tentu ada catatan bahwa pada kasus tertentu, surat wasiat itu ditulis oleh orang lain supaya orang merasa bahwa ia bunuh diri, padahal ia dibunuh. Itu bisa dilacak pada bentuk huruf tulisan wasiat itu. Kasus seperti ini yang patut diselidiki secara serius oleh para penegak hukum.
Kalau demikian, hal keadaan dan kesadaran orang yang mengalami gangguan jiwa depresi, maka pelbagai komentar, misalnya, “Konyol sekali lakukan bunuh diri,” itu tidak relevan dalam konteks kesehatan jiwa. Komentar bahwa “Kau tidak pikirkah istri-anak, atau kau tidak pikirkah suami-anak ditinggalkan begitu saja (?)”, itu tidak relevan dalam konteks kesehatan jiwa.
Komentar-komentar seperti itu hanyalah membuli orang-orang yang sudah meninggal. Apa gunanya? Justru komentar-komentar ini berefek negatif pada orang-orang di luar sana yang sedang bergumul dengan gangguan jiwa depresi.
Atau komentar bahwa “Percuma seorang Romo, buat contoh tidak baik untuk umat. Percuma berkhotbah tentang kebaikan dan kehidupan. Percuma belajar tinggi-tinggi. Percuma rayakan sakramen ekaristi.” Semua komentar itu juga tidak relevan dalam konteks kesehatan jiwa.
Dalam perjalanan peduli pada kesehatan jiwa sejak 2014, saya berjumpa dengan sekian banyak biarawan-biarawati yang mengalami gangguan jiwa. Beberapa di antaranya mengalami depresi, bahkan sudah sampai pada adanya dorongan untuk bunuh diri. Karena mereka mau ditemui dan menemui saya, kemudian berdiskusi untuk mencari solusinya, maka mereka bisa bertahan, bahkan pulih dari keadaannya.
Ada juga guru, mantan bupati, perawat, dokter, dosen, mahasiswa, siswa, psikolog, polisi, tentara, dan sebagainya. Ada banyak juga orang kaya yang hidupnya mapan secara ekonomi atau orang yang memiliki posisi strategis dalam kepemimpinan tempat kerja atau masyarakat atau dalam lingkaran budaya. Mereka sakit gangguan jiwa.
Dan namanya sakit, sekali lagi, tidak ada klasifikasi status sosial, budaya, ekonomi, keagamaan, profesi, dan klasifikasi usia. Kita manusia rapuh, berpotensi menderita sakit apa pun, termasuk gangguan jiwa.
Sebaik-baiknya kita menjaga kesehatan, pada suatu saat kita pasti sakit, bahkan kita langsung menderita sakit berat yang tak tersembuhkan. Sekalipun demikian, yang perlu kita lakukan sekarang dan selanjutnya adalah tetap menjaga kesehatan, termasuk kesehatan jiwa; dan tentu dalam iman, Tuhan ingin kita terus melakukan kebaikan demi kebaikan dalam hidup agar dalam menjalankan hidup kita, bukan semata-mata supaya usia kita panjang, melainkan supaya kita sungguh-sungguh melakukan kehendak Tuhan yang kita imani.
Goncangan Ketaatan Radikal
Mari kita toleh ke Injil Matius 26:36-46 saat Yesus berdoa di Taman Getsemani menjelang penderitaan-Nya (Teksnya bisa dibaca dengan klik di sini). Dalam teks Injil tersebut, kalau kita melihatnya dalam kacamata kesehatan jiwa, Yesus mengalami guncangan (kalau tidak mau dikatakan gangguan) psikis. Dalam kacamata iman, Yesus mengalami guncangan ketaatan radikal pada Bapa-Nya.
Kenapa demikian? Pada saat berdoa di Taman Getsemani itu, Yesus membayangkan betapa sadis penderitaan yang bakal Ia alami. Yesus yang berhakikat 100 persen manusia (dan 100 persen Tuhan), toh rapuh, sedih. Yesus takut, gentar, dan terguncang. “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” kata Yesus kepada tiga murid-Nya.
Saat Yesus merasakan kerapuhan itu, tampak sekali dalam teks Injil itu, bahwa Yesus ingin penderitaan sadis yang bakal dialami-Nya itu segera berlalu. Dengan kata lain, Yesus tidak ingin menghadapi penderitaan itu sebab sangat sadis, mengerikan.
“Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan (penderitaan) ini berlalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki,” kata Yesus.
Perkataan yang sama kita bisa temukan dalam Injil Lukas 22:42, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”
Kita juga bisa temukan itu dalam Injil Markus 14:36, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambilah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”
Sekali lagi, secara manusiawi, Yesus tidak ingin penderitaan itu akan menimpa diri-Nya.
Namun, sekalipun Yesus ingin agar bayangan akan penderitaan mesti segera berlalu atau Yesus ingin tidak menghadapi penderitaan itu, tetapi oleh ketaatan total/radikal pada kehendak Bapa, Yesus tetap berani menghadapinya. Yesus tetap membiarkan bukan kehendak-Nya yang terjadi, melainkan kehendak Bapa-Nya. [Dalam Lukas 22:43, dikatakan bahwa saat Yesus mengalami guncangan ketaatan radikal itu, seorang Malaikat datang kepada Yesus dan memberikan kekuatan kepada-Nya.] Yesus pun, dalam kelemahan manusiawi-Nya, tetap konsisten, tetap setia; sebuah kesetiaan yang total/radikal.
Di taman Getsemani itu, Yesus mengalami kesepian. Yesus merasa sendirian. Karena itu, Yesus membutuhkan teman. Yesus pun membangunkan tiga murid yang Ia ikut sertakan ke tempat Ia berdoa. Namun dengan nada kesal, Yesus katakan, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” Yesus membutuhkan pengertian orang-orang di sekitar yang pada faktanya orang-orang itu kurang mengerti.
Bilamana Kita Kesepian
Pengalaman Yesus ini menjadi bahan iman (lebih tepatnya menjadi bahan teologis) yang semestinya kita pegang erat-erat dalam seluruh hidup kita. Yesus memiliki masalah besar dalam hidup-Nya, mengalami guncangan hebat, dahsyat.
Kalau Yesus saja mengalami guncangan seperti itu, maka apalagi kita manusia. Kita juga, oleh hakikat kita sebagai ciptaan yang rapuh, pasti mengalami guncangan dan gangguan seperti itu.
Dalam menghadapi guncangan itu, Yesus menempuh dua cara. Kita yang percaya pada Dia juga seharusnya mengikuti cara itu.
Pertama, Yesus berdoa kepada Bapa-Nya. Bahwasanya, kita harus terus membangun komunikasi dengan Tuhan Sang Pencipta dan Penyelenggara hidup kita. Bukan mustahil, sebagaimana Yesus mendapat kekuatan dari Malaikat yang diutus oleh Bapa-Nya, kita juga pasti mendapat pertolongan dari Tuhan saat kita mengalami situasi-situasi sulit dalam hidup.
Tak dapat diragukan lagi, kita percaya bahwa Tuhan adalah asal hidup kita dan Tuhan adalah tujuan hidup kita. Karena itu, selalu menjalin komunikasi yang baik dan intens dengan Dia dalam bentuk doa, itu adalah kewajiban iman kita, kewajiban moral iman kita.
Sebagaimana Yesus, kita tidak boleh hanya meratapi kesedihan dan kegentaran, atau tidak boleh hanya meratapi kematian yang bakal menimpa kita, tetapi sampaikanlah semua pergumulan pelik itu kepada Tuhan yang empunya kehidupan, Sang Hidup. Dalam iman kita yakin Dia akan menolong kita.
Sebagaimana Yesus yang sedang membayangkan kebengisan orang-orang yang akan menghancurkan hidup-Nya secara sadis, kita juga saat bergumul dengan persoalan pelik, kita pasti merasakan keganasan persoalan-persoalan itu bakal yang menghancurkan hidup kita; entah persoalan yang kita ciptakan sendiri oleh kelalaian kita, entah juga persoalan yang orang lain ciptakan dan kita jadi korbannya. Hendaknya kita sampaikan semua pergumulan pelik itu kepada Tuhan yang empunya kehidupan, Sang Hidup. Dalam iman kita yakin Dia akan menolong kita.
Kedua, di Taman Getsemani, Yesus membawa serta para murid-Nya. Dan secara khusus Yesus membawa tiga murid-Nya untuk bersama-sama dengan Dia di tempat titik Ia berdoa. Maksudnya apa? Agar tiga murid itu berjaga saat Yesus berdoa. Sebab Yesus membutuhkan teman saat-saat Ia diguncang kesedihan, ketakutan, dan kegentaran yang mendalam. Namun faktanya, mereka justru lelap tertidur. Mereka membiarkan Yesus bergumul sendirian.
Pertama-tama, karena kita tidak akan luput dari persoalan pelik dalam hidup ini, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk mencari rekan. Kita mencari orang-orang yang kita percayai akan mendengarkan dan memahami keadaan kita.
Jangan bergelut sendirian. Jangan merasa bahwa kita mampu melewati semua itu sendirian. Jangan! Kita adalah makhluk sosial yang selalu mengandaikan peran sesama untuk menguatkan diri kita, untuk kemajuan hidup kita, untuk membuat kita bertahan.
Boleh jadi, seperti tiga murid Yesus, kita menemukan orang-orang yang kurang peduli pada keadaan kita. Apalagi orang profesional kesehatan jiwa dan fasilitas kesehatan jiwa di wilayah kita sangat kurang.
Namun saya selalu berpikir dan sangat yakin bahwa secara sosial mustahil tidak ada orang baik di sekitar kita yang peduli pada keadaan kita, kecuali kita memang tidak mencarinya. Mungkin sedikit saja kepedulian orang baik itu pada kita, berbicaralah dengan dia agar dia makin memahami keadaan kita dan makin akrab berjalan bersama dia.
Sebaliknya, kalau bukan kita yang sedang bergumul dengan keadaan pelik itu, melainkan orang-orang lain, hendaknya kita menaruh kepedulian padanya. Hendaknya kita tidak menjadi seperti tiga murid Yesus yang tidak peduli pada keadaan guncangan yang dialami oleh Guru mereka.
Lebih lagi, hendaknya kita tidak menjadi orang seperti orang-orang yang menginginkan kehancuran pada hidup Yesus (seperti orang-orang Yahudi yang begis pada zaman Yesus itu). Jangan! Lebih lagi, hendaknya kita jangan sekali-kali menghendaki kematian pada orang-orang di sekitar kita sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang begis itu.
Tak Akan Selesai
Refleksi tentang kasus bunuh diri tentu tidak akan ada habisnya. Sebab semuanya misteri. Namun perlu kita tahu dan sadari bahwa sekalipun penuh misteri, tindakan seperti itu bukannya kita tidak bisa hindari atau bukannya kita tidak bisa kendalikan.
Refleksi teologis tentang apa pun, termasuk tentang pergumulan orang-orang yang sedang mengalami kesedihan dan kegentaran mendalam, tentu juga tak ada titik akhirnya. Sebab kita tahu dan sadar bahwa hidup kita di dunia adalah fana, hidup sementara. Kita sekalian berjalan menuju Tuhan Sang Pencipta. Jika tindakan bunuh diri itu sudah terjadi entah oleh kelemahan orang itu sendiri, entah juga oleh kurangnya kepedulian kita kepadanya, paling kita berupaya memaknainya, bukan sebaliknya justru membuli dan mengutuk.
Marilah kita terus melanjutkan perjuangan hidup kita: hidup yang sehat secara sosial, sehat iman, sehat psikis, sehat moral, dan sebagainya. Semoga Tuhan senantiasa memberkati kita. Amin.
Pater Avent Saur, SVD adalah Pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT