Kebijakan Sekolah Subuh dan Gangguan Jiwa Pemimpin

Apakah banyaknya jam belajar dan jam sekolah jadi penentu perkembangan kualitas intelektual peserta didik sehingga pagi-pagi buta mereka harus sudah di sekolah sebagaimana yang saat ini diinginkan pemerintah di NTT?  

Oleh: Pater Avent Saur, SVD

Beberapa hari ini, publik dihebohkan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi NTT yang memajukan aktivitas di sekolah dari sebelumnya pukul 07.30 ke pukul 05.00. Meski kebijakan yang mulai diterapkan di beberapa SMA di Kupang ini memicu beragam reaksi, namun pemerintah  tetap bersikeras mempertahankannya. Alasan yang dikedepankan adalah untuk menghasilkan peserta didik berkualitas, berkarakter, dan berdisiplin tinggi.

Kebijakan ini juga dibela dengan mengatakan bahwa “tidak ada yang salah dengannya” karena di Sekolah Katolik yang berasrama, juga di pesantren, memulai aktivitas sekolah pada jam demikian merupakan hal yang biasa. Alasan lain yang diajukan adalah agar peserta didik bisa lebih produktif, seperti halnya para pedagang yang umumnya sudah mulai beraktivitas sejak subuh.

Apakah ini sebuah kebijakan yang tepat? Yang jelas, menurut saya, hal yang menentukan perkembangan kualitas intelektual peserta didik bukan terletak pada berapa banyak jam belajar dan jam sekolah yang mesti diikuti. Faktor penentunya sebetulnya pada hal-hal yang berbeda sama sekali. Mari kita lihat beberapa poin substansial berikut.

Kualitas Pendidik

Hal substansial pertama adalah bagaimana perbandingan jumlah pendidik dan peserta didik? Jika jumlah pendidik lebih sedikit, maka bisa dipastikan pendidik kelelahan. Pada akhirnya, selain pendidik kurang berenergi dalam menyajikan bahan ajar dan kurang mengontrol keseriusan peserta didik dalam mengikuti pelajaran, juga kurang segarnya otak dalam menguraikan secara utuh bahan ajar.

Kedua, seberapa luas pendidik memiliki wawasan dalam hal teknis dan metode mengajar. Jika pendidik tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan lantaran kurang membaca dan kurang kreatif dalam teknik serta metode mengajar, juga kurang diberdayakan dengan pelbagai metode baru dan andal, maka bahan ajar dari tahun ke tahun tidak akan berubah.

Bisa jadi bahan ajar tiga tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya akan terus diberikan kepada peserta didik tahun ini, juga tahun berikut, dan tahun-tahun selanjutnya. Hasilnya pun akan sama, dahulu, kemarin, sekarang, dan besok, serta lusa, dan seterusnya.

Ketiga, seberapa serius pendidik menggunakan waktu yang tersedia untuk mencerdaskan peserta didik. Keseriusan pendidik dalam menjalankan tugas sering kali bergantung pada selain kualitas wawasan dan penguasaan metode, juga kalau mau dikatakan jujur, adalah pada seberapa besar gaji dan honorarium [sisi kesejahteraan] yang diperolehnya.

Jika hal-hal ini tidak seimbang dan dipedulikan, maka jauhkanlah harapan-harapan muluk akan adanya output yang berkualitas.

Tentang tiga hal di atas, Anda dan saya, mungkin, bahkan pasti pernah mengalaminya. Kita bisa tahu dan paham, guru dan dosen siapa yang memiliki wawasan yang luas dan pandai menyajikan materi secara apik. Maka, sangatlah perlu memberdayakan para pendidik demi meningkatkan kualitas intelektual mereka.

Sebab pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” bukan hanya relevan dalam konteks hidup komunitas keluarga, melainkan juga konteks pendidikan. Guru yang berbangga akan kualitas intelektual muridnya juga akan berceletuk “siapa dulu gurunya?” Ini sebuah pertanyaan retoris yang mengamini kualitas pendidik.

Keseriusan Peserta Didik

Terkait peserta didik, hal substansial yang mesti ditilik – faktor keempat –  adalah seberapa serius peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. 

Anda dan saya yang pernah mengikuti proses pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi tentu tahu benar bahwa keseriusan peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar itu sangatlah bervariasi.

Murid A serius mengikuti pelajaran B, sedangkan murid B serius mengikuti pelajaran A. Kenapa? Itu sangat bergantung pada potensi peserta didik yang di kedalaman dirinya ia tahu potensi mana yang akan dikembangkan dalam proses pertumbuhan dirinya.

Kita pun tahu bahwa peserta didik A mendapatkan nilai A untuk pelajaran B, sedangkan peserta didik lain mendapatkan nilai B untuk pelajaran A. Demikian seterusnya.

Karena itu, memaksakan adanya kesamaan keseriusan pada semua peserta didik merupakan sebuah universalisme yang justru melahirkan kriminalitas [kekerasan] dalam sistem pendidikan.

Kelima, seberapa intensif dan maksimal peserta didik menggunakan waktu belajar yang telah tersedia. Memastikan bahwa peserta didik memiliki waktu belajar dan menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya tentu bukan hanya peran pendidik, melainkan juga orang tua.

Di sini ada hal serius; (1) Orangtua tidak bisa dipastikan akan mengalokasikan waktu belajar untuk anak-anak, juga tidak bisa dipastikan akan mengawasi anak-anak untuk menggunakan waktu belajar tersebut dengan serius. (2) Selama anak-anak berada di lingkungan sekolah bisa dipastikan bahwa mereka hanya mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas atau juga kegiatan ekstrakurikuler. Waktu pribadi untuk peserta didik belajar mandiri mungkin saja tidak disediakan secara cukup, bahkan tidak ada, apalagi waktu untuk berdiskusi.

Maka, pentinglah lembaga pendidikan menyediakan waktu belajar pribadi, juga waktu diskusi.

Keenam, seberapa pasti peserta didik jujur dalam mengikuti ulangan dan ujian? Anda dan saya mungkin pernah menyontek. Peserta didik mesti dipastikan akan mengerjakan ulangan dan ujian dengan jujur. Kejujuran, selain menggambarkan kualitas moral peserta didik, juga kualitas belajar saat persiapan.

Kalau kejujuran ini tidak dipastikan dengan jeli, maka sekalipun peserta didik mendapatkan nilai tinggi, itu sama sekali tidak menggambarkan kualitas intelektualnya. Cita-cita kualitas pendidikan pun berdiri di atas kerapuhan moralitas.

Kita bisa menambahkan unsur-unsur dan media-media lain untuk mengukur kualitas pendidikan seturut lingkungan belajar masing-masing. Alat-alat ukur yang telah diuraikan itu sekadar untuk menerangkan bahwa meningkatkan kualitas intelektual peserta didik dengan mengubah pemulaian waktu sekolah adalah keliru, bahkan itu sebuah ambisi yang akan menuai kehampaan, bahkan membuang-buang waktu.

Praksis Hidup Pedagang dan Asrama

Ada sesuatu yang aneh dalam berargumentasi tentang perubahan jam sekolah. Misalnya, anak-anak sekolah mesti dibiasakan untuk menjalani hidup seperti ibu-ibu pedagang kecil yang bangun jam 3 pagi dan bergegas ke pasar.

Contoh tentang ibu-ibu pedagang kecil semestinya lebih cocok diangkat untuk mendorong anak-anak mereka agar serius dalam mengikuti proses-proses pendidikan. Bahwasanya, orangtua dengan gigih mencari nafkah untuk menyekolah mereka, maka mereka pun semestinya dengan gigih berjuang dalam pendidikan.

Selain itu, contoh yang diangkat untuk memperkuat argumentasi perubahan jam sekolah tersebut adalah praksis hidup di sekolah Katolik berasrama dan pesantren. Mengangkat contoh ini menunjukkan bahwa pemimpin kita belum mengetahui secara benar tentang hidup di lembaga seperti itu.

Di sekolah berasrama, seperti seminari misalnya, seminaris bukan memulai sekolah jam 5 pagi, melainkan memulai aktivitas di rumah seminari, semisal bangun pagi, mandi, berdoa, membersihkan lingkungan, dan persiapan ke sekolah. Waktu memulai sekolah tetap seperti yang berlaku secara nasional.

Kalaupun kita menilai atau mungkin faktanya demikian bahwa pendidikan di seminari dan pesantren itu menghasilkan peserta didik dengan kualitas intelektual yang memadai, itu terutama karena kualitas pendidik dan keseriusan peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Alat ukurnya bisa dilihat pada uraian terdahulu.

Namun, patut diakui bahwa tidak semua seminaris atau santri itu memiliki kualitas intelektual yang memadai. Ya, tentu sebaliknya, tidak semua peserta didik di luar seminar atau pesantren itu memiliki kualitas intelektual yang rendah. Tetap saja ada fakta dinamikanya.

Sekali lagi, lembaga seminari adalah rumah bagi para seminaris. Lembaga pesantren adalah rumah bagi para santri. Itu seperti rumah bagi anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya.

Entah seperti apa kebiasaan di rumah orangtua, itu bukan urusan seorang pemikir pendidikan atau seorang pemimpin daerah seperti bupati atau gubernur. Yang pasti, anak-anak harus mengikuti aturan di sekolah, yakni masuk sekolah pada jam sekian.

Gangguan Jiwa Pemimpin

Nah, apa maksud gangguan jiwa pemimpin dalam konteks pendidikan? Mungkin terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa salah satu ciri gangguan jiwa adalah perubahan persepsi pada kenyataan. Lebih tepatnya, memiliki pandangan yang salah terhadap kenyataan.

Seorang petani miskin yang mengalami gangguan persepsi terhadap kenyataan, misalnya, berpikir bahwa ia memiliki harta berlimpah. Beras yang bertumpuk di gudang bulog dirasakan sebagai miliknya. Kepala dan pegawai di gudang bulog hanya pekerja yang ia berikan gaji.

Persepsi yang ada dalam pikiran petani miskin ini tidak akan berubah begitu saja hanya dengan menyodorkan bukti-bukti valid sekalipun. Ia mesti menjalankan terapi medik dan sesering mungkin dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas produktif.

Hanya dengan cara itu persepsinya tentang kenyataan bisa dikembalikan pada posisi yang benar bahwa ia adalah petani miskin yang tidak memiliki harta sebanyak itu. 

Sekian banyak saudara-saudari kita di NTT yang menderita gangguan jiwa seperti ini sudah mengalami kepulihan.

Contoh lain, pemimpin mengalami perubahan persepsi tentang rakyat. Bahwasanya, rakyat bukan lagi mereka yang mempercayakan kekuasaan padanya, melainkan yang harus patuh pada perintah dan aturan yang dibuat semena-mena.

Rakyat bukan lagi mereka yang harus dilayani, melainkan yang menyetujui pemimpinnya, sekalipun ia salah. Rakyat bukan lagi mereka yang harus dihormati, melainkan yang harus menghormati dan yang harus dimarahi bahkan bisa dicaci-maki, juga bahkan bisa disamakan dengan binatang.

Rakyat bukan lagi mereka yang suaranya didengarkan, melainkan yang harus didiamkan, bahkan sedapat mungkin diempaskan. Rakyat bukan lagi mereka yang menuntut pembuktian janji, melainkan yang pantas dibohongi.

Pemimpin yang mengalami gangguan seperti ini cenderung memahami martabat manusia dari sisi kekuasaan, bukan sisi kemanusiaan. Praktik perendahan martabat manusia pun terjadi. Bahkan praktik pelanggaran hak asasi manusia sekalipun, ia bisa lakukan tanpa pikir panjang.

Ekspresi yang paling tampak padanya adalah emosional, suara bernada tinggi, urat-urat menegang, gerakan cepat nan kasar. Isi bicaranya juga berupa umpatan. Ia juga cenderung memuji diri sendiri dan mencari perhatian. Ia cenderung tampil beda dalam hal negatif dan selalu ingin berbeda dengan pemimpin selevelnya.

Kita Buat Apa?

Apa yang harus kita lakukan terhadap pemimpin demikian? Tidak ada banyak hal yang kita lakukan, sebab ia tidak suka berdiskusi, apalagi berdebat.

Yang harus dilakukan adalah ia mesti dibujuk untuk mengikuti wawancara psikiatri. Wawancara itu sangat menentukan apakah ia akan melakukan terapi medik [farmakoterapi] atau cukup dengan psikoterapi [diarahkan untuk berbicara lebih tenang dan rinci].

Lebih dari pada itu, ia mesti diajak turun ke bawah, mengalami kenyataan-kenyataan yang senyata-nyatanya tentang masalah-masalah di lingkungan pendidikan. Bisa jadi, ia juga harus mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti peserta didik, atau juga harus berdiri di ruang kelas untuk menyajikan materi pelajaran.

Hanya melalui cara-cara ini, persepsinya tentang kenyataan pendidikan di provinsi kepulauan yang luas dan kompleks ini bisa berubah perlahan-lahan. Dengan begitu, diharapkan, selain ia akan merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk menjadi pemimpin, juga tidak mampu apalagi mengubah kualitas intelektual para pendidik dan peserta didik di NTT.

Pater Avent Saur, SVD adalah pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya