Pentingnya Gerakan Agraria di NTT dan Peran Strategis Pemuda

Konflik agraria, di mana di dalamnya terjadi praktik perampasan tanah, peminggiran warga dari ruang hidup, akan selalu mungkin terjadi selagi yang diutamakan rezim adalah bagaimana mengejar investasi sebanyak-banyaknya, tanpa peduli pada aspek-aspek lain, seperti keadilan agraria.

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila

Masuknya berbagai bentuk investasi yang diklaim untuk mendukung pembangunan di NTT, daerah yang dikenal sebagai salah satu provinsi miskin di Indonesia, membawa serta berbagai persoalan agraria.

Di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), konflik agraria yang melibatkan warga dengan Pemerintah Provinsi NTT telah berlangsung bertahun-tahun. Sementara pemerintah mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 3.780 hektar dan hendak dikembangkan untuk perkebunan pakan ternak, warga setempat tetap memperjuangkannya sebagai milik mereka untuk bertani.

Pembongkaran rumah warga berkali-kali, setidaknya lima kali sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat memperparah konflik tersebut.  Di sisi lain, kasus hukum yang kini dihadapi Nikodemus Manao, tokoh adat Besipae juga membuat konflik itu tampaknya akan terus menjalar.

Sementara di tempat lain di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, konflik yang melibatkan warga dengan pemerintah karena penolakan terhadap rencana eksplorasi tambang geothermal masih terus memanas. Dengan kawalan ketat aparat keamanan, pemerintah dan perusahaan tetap memaksa masuk melakukan pengukuran wilayah yang akan menjadi lokasi pengeboran geothermal.

Di tempat lain di Sumba Barat, konflik agraria telah mengorbankan petani kecil bernama Poro Duka [45] pada 2018 karena kegigihannya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya, melawan investor di pesisir Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya.

Deretan fakta ini hanyalah beberapa contoh dari letupan konflik agraria di NTT hari-hari ini. Situasi ini butuh perhatian pelbagai pihak, lewat sebuah gerakan agraria, ang meminjam definisi Gunawan Wiradi [1934-2020], sosok yang konsisten memperjuangkan semangat reforma agraria (land reform), sebagai “suatu usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.”

Di tengah situasi NTT, di mana ketimpangan agraria dan perampasan tanah atas nama pembangunan dan investasi, gerakan ini amat penting, yang sayangnya kini belum begitu kuat.

Gerakan Agraria di Indonesia

Harus diakui, lemahnya gerakan agraria sudah bukan barang baru di Indonesia. Terhitung sejak masa kolonial sampai pada rezim Presiden Joko Widodo, gerakan agraria mengalami dinamika dan pergolakan dengan berbagai resiko yang dialami masyarakat.

Jika di masa pasca kemerdekaan, semangat gerakan agraria mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan, sepanjang pemerintahan Orde Baru, gerakan agraria dimatikan melalui mekanisme pembungkaman dan penundukan.

Apalagi, pasca pembantaian Partai Komunis Indonesia [PKI] dan afiliasinya seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra], Barisan Tani Indonesia [BTI], dan Gerakan Wanita Indonesia [Gerwani], semangat gerakan agraria mati total. Kita tahu PKI sangat getol mendorong perombakan struktur agraria, yang berarti mengecilkan pengaruh militer dan juga para tuan tanah di pedesaan. Gerakan ini dikunci dengan pelabelisasian komunis, tidak pancasilais, dan anti NKRI.

UU Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 Tahun 1960, yang di masa awal menjadi salah satu gerakan yang digadang-gadang mampu menciptakan kemandirian ekonomi, di tangan pemerintahan Soeharto undang-undang ini tidak dijadikan landasan dalam berbagai keputusan politik, ekonomi, dan pembangunan. Komitmen dan niat politik untuk merombak tata sosial dan struktur agraria sama sekali tidak muncul sebagai wacana nasional.

Bahkan pasca Soeharto dilengserkan tahun 1998, wacana politik di tingkat nasional tidak menunjukan komitmen pada penuntasan masalah agraria, yang terus berlanjut hingga kini.

Di masa pemerintahan Jokowi, yang membuka keran investasi dan pembangunan di daerah, muncul beragam persoalan baru seperti pencaplokan tanah warga yang semakin masif.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], yang fokus pada riset dan advokasi isu agraria menunjukkan hal itu. 

Dalam laporannya tahun 2022, KPA mencatat 212 letusan konflik agraria, yang mencakup 1.035.613 hektar lahan dan berdampak terhadap 346.402 KK.

Data ini meningkat dari tahun sebelumnya. Pada 2021, KPA mencatat 207 letusan konflik agraria yang mencakup 500 hektar lahan.

Selain itu, KPA juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020.

Konflik-konflik ini membuat banyak warga yang menjadi korban. Mereka kehilangan tanah. Ketimpangan kelas kian menganga yang berdampak pada aspek lain seperti ketidaksanggupan mengakses pendidikan dan pelayanan kesehatan. Mereka tercerabut dari lingkungan mereka.

Sayangnya, lanskap politik nasional dan bahkan lokal, cenderung mengamini masalah seperti ini sebagai akibat praktik kultur, letak geografis, bahkan tingkat pendidikan di masyarakat. Padahal, itu semua terjadi sebagai bagian dari ekses kondisi ketimpangan agraria, perampasan tanah (land grabbing), dan diferensiasi kelas.

Gerakan Agraria dan Peran Pemuda

Berangkat dari situasi ini dan dengan memakai perspektif Gunawan Wiradi tentang gerakan agraria,  menurut saya, gerakan ini menjadi isu yang mendesak dibicarakan.

Wiradi dalam bukunya ‘Reforma agraria: perjalanan yang belum berakhir,’ mengingatkatkan bahwa perombakan struktur dan tata sosial di bidang agraria tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Ia menyinggung soal kemungkinan resistansi dari kelompok yang melihat gerakan seperti ini akan mengecilkan pengaruh dan ekspansi mereka.

Tantangan lain, sebagaimana juga dicatat oleh Wiradi adalah soal  komitmen dan niat politik dari penguasa. Keadilan agraria bagi semua warga negara hanya merupakan wacana jika tidak didukung dengan komitmen dan niatan politik penguasa.

Lantas, ia menekankan bahwa dalam merombak struktur dan tata sosial di bidang agraria butuh partisipasi dan dukungan dari semua pihak, demi meminimalisir adanya konflik serupa yang bahkan lebih besar lagi di masa mendatang.

Dalam konteks ini, hemat saya, salah satu pihak yang penting mengambil peran dalam gerakan agraria adalah pemuda, sebagai agen penting untuk bisa menggerakan perubahan sosial.

Dalam konteks konflik di Besipae, Poco Leok, dan Sumba, sejumlah kelompok pemuda memang telah ikut bergerak. Namun, harus diakui bahwa mereka yang terlibat dalam gerakan semacam itu masih terbatas pada mereka yang memang terdampak langsung dan di kalangan para aktivis. Gerakannya masih terbatas.

Penting disadari bahwa konflik agraria, di mana di dalamnya terjadi praktik perampasan tanah, peminggiran warga dari ruang hidup, akan selalu mungkin terjadi di waktu mendatang dan di mana saja selagi yang diutamakan rezim adalah bagaimana mengejar investasi sebanyak-banyaknya, tanpa peduli pada aspek-aspek lainnya.

Lantas, sudah saatnya pemuda NTT bergandengan tangan, bahu membahu mengambil bagian dalam gerakan kolektif ini. Caranya bisa bermacam-macam, baik melalui tulisan, advokasi, maupun melalui konten digital yang menggerakkan rasa solidaritas, kepedulian terhadap mereka yang kini menjadi korban, sambil menggaungkan bersama-sama perihal pentingnya keadilan agraria bagi semua warga.

Bukan tidak mungkin apa yang kini terjadi di Besipae, Poco Leok dan Sumba akan terjadi juga di kampung kita sendiri.

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini bekerja dan berdomisili di Jakarta.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya