Pesta ‘Sambut Baru,’ Mengapa Polisi Harus Patroli dari Tenda ke Tenda?

Ketika yang terjadi adalah mabuk-mabukan hingga baku hantam, Pesta Sambut Baru jadi jauh dari makna sakramen yang sedang dirayakan.

Oleh: Antonius Rian

Salah satu sakramen dalam Gereja Katolik Roma yang turut menegaskan identitas seseorang sebagai anggota Gereja adalah Sakramen Ekaristi. 

Komuni Pertama adalah istilah untuk momen ketika seorang Katolik – umumnya pada usia 9-11 tahun – pertama kali menerima sakramen ini dalam bentuk roti dan anggur, simbol Tubuh dan Darah Kristus.

Di NTT, Komuni Pertama ini dikenal juga dengan istilah Sambut Baru.

Sama seperti penerimaan sakramen yang lain, sebagai sebuah peristiwa iman, Komuni Pertama seyogyanya makin mengukuhkan iman seseorang sebagai anggota Gereja.

Karena itu, setelah ritual penerimaan sakramen, sebenarnya yang menjadi langkah lanjutan adalah kesetiaan menjalankan iman. Ini menjadi nilai pertama dan utama dari setiap refleksi penerimaan sakramen dalam Gereja.

Dalam konteks sosial-budaya, Gereja tentu selalu membuka diri merespons kekayaan budaya umat Allah sejauh memberi sumbangan bagi pendewasaan iman.

Sebab itu, sudah menjadi semacam tradisi bahwa setelah Sambut Baru di gereja, berlanjut dengan syukuran di rumah. Umum dikenal sebagai Pesta Sambut Baru, acara ini dipandang memperkuat penghayatan iman sebagai komunitas umat Allah.

Namun, Pesta Sambut Baru, faktanya, tidak lagi semulia itu. Umat malah menjadikannya sebagai kesempatan mabuk-mabukkan, kadang terjadi keributan. Lantas, mana sesungguhnya yang dirayakan; menerima komuni suci atau pesta setelahnya yang menjadi ajang pamer otot setelah meneguk tuak atau arak?

Situasi seperti ini membuat Pesta Sambut Baru harus dikontrol polisi, seperti yang baru-baru ini terjadi di tempat asal saya di Lewoleba, Kabupaten Lembata, NTT. 

Pada Minggu, 6 Agustus 2023, personel dari Polres Lembaga dengan pakaian dinas memantau pelaksanaan Pesta Sambut Baru di tenda-tenda depan rumah umat.

Pada pukul 24.00, mereka juga berkeliling, meminta agar pesta segera usai demi menghindari situasi yang tidak terkontrol.

Riuh suara manusia yang terbuai oleh lagu Kuda Laka Loli di tenda-tenda pesta spontan diam. Pesta pora ditutup.

Mengapa dalam setiap pesta seperti ini polisi harus berjaga-jaga? Mengapa mesti ada polisi berpakaian dinas di tenda-tenda? Pertanyaan sederhana ini mesti menjadi bahan refleksi kritis bagi kita sebagai umat Allah: Bagaimana sesungguhnya kita memahami makna sakramen itu ketika yang terjadi kemudian malah mabuk-mabukan, adu otot?

Penting ditegaskan bahwa budaya pesta yang seringkali di luar batas nalar normal itu tidak sesuai dengan ajaran Gereja.

Kita bisa menarik referensi biblis tentang makna terdalam dari Sakramen Ekaristi yang berawal mula dari peristiwa pada Malam Perjamuan Terakhir.

Pada saat itu, suasananya amat sederhana; tidak ada minuman beralkohol yang berlimpah ruah. Yesus dan para murid merayakannya dalam suasana penuh persaudaraan, berbagi kasih dan kebahagiaan. 

Saat ini, suasana Pesta Sambut Baru tidak lagi menjadi perayaan kasih. Salah satunya karena konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan. 

Akibatnya, muncul banyak “Yudas” yang mabuk dan kemudian menjual Yesus dengan mencoreng kesucian Sakramen Ekaristi, melalui perang mulut hingga batu dan parang. Terjadi saling sikut dan agresif mendadak sehingga tak saling berlaku sebagai saudara bagi lain.

Ada pihak yang membela praktik seperti ini sebagai bagian dari budaya. Bahwa Pesta Sambut Baru dengan bunyi musik yang menggetarkan dada, minum tuak kelapa sampai muka merah dan berjoget sebagai budaya. Bahkan muncul klaim bahwa yang namanya budaya tidak boleh diubah.

Anggapan seperti ini perlu diperiksa, dengan kembali pada definisi dari budaya. Secara singkat, budaya berarti kekuatan budi. Kata ini berasal dari bahasa sanskerta yakni budi dan daya. Selain kekuatan budi, manusia juga bekerja dengan perasaan dan kehendak, sehingga lebih lengkap budaya berarti hasil karya budi, karsa dan kehendak (baca Bernard Raho, 2016). Budaya sesungguhnya merupakan sebuah ekspresi bertolak dari kekuatan terdalam diri yang teraktualisasi dalam tindakan yang positif.

Jika Pesta Sambut Baru dianggap budaya, seharusnya ia menjadi ekspresi tindakan positif dari kita sebagai umat Allah. Budaya Pesta Sambut Baru mesti menampilkan situasi ramai yang positif, bukan mabuk-mabukan dan saling pukul.

Karena itu, bagi saya, kendati pada satu sisi kita mengapresiasi tugas pihak kepolisian untuk memastikan keamanan kita sebagai warga negara, kehadiran polisi dengan menggunakan pakaian resmi dari tenda pesta ke tenda pesta yang lain seharusnya merupakan teguran keras bagi orang Katolik, yang menyebut diri sebagai umat Allah.

Mengapa sebuah perayaan syukur, ekspresi iman harus dikawal aparat keamanan? Idealnya, polisi hanya perlu ikut pesta, bergembira ria bersama umat Allah, bukan patroli dari tenda ke tenda dengan pakaian dinas, mengawasi yang baku sikat dan baku hantam.

Pertanyaan yang juga penting: Bagaimana institusi Gereja, dari level paroki hingga keuskupan, mengambil sikap terhadap soal ini?

Antonius Rian adalah Ketua Pandu Budaya Lembata

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya