Mengapa Kebijakan Politik Penting untuk Pengembangan Pangan Lokal di Lembata?

Upaya pelestarian dan pengembangan pangan lokal membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk komitmen politik pemerintah lewat pembuatan regulasi

Oleh: Antonius Rian

“Makan Apa yang Kita Tanam, Tanam Apa yang Kita Makan.” Demikian tema kegiatan Gelar Pameran Budaya Pangan Lokal Masyarakat Adat Lembata atau Gelekat yang berlangsung di Lewoleba pada Selasa-Kamis, 29-31 Agustus 2023.

Kegiatan ini diinisiasi oleh komunitas Pandu Budaya Lembata, yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Anggota komunitas ini adalah belasan anak muda Lembata yang menaruh perhatian khusus pada objek-objek budaya, khususnya pangan lokal.

Utusan dari 12 kampung adat di Lembata, dengan masing-masing kampung mengutus 5 juru masak hadir dalam kegiatan ini. Dari kegiatan ini tampak bahwa tanah Lembata begitu kaya dengan pangan lokal, baik itu umbi-umbian, kacang-kacangan, jagung maupun yang sudah cukup populer seperti pisang.

Pada kegiatan pembuka, Penjabat Bupati Lembata, Matheon Tan, menegaskan akan membentuk Peraturan Bupati tentang pangan lokal. Pernyataan ini tentu saja memunculkan harapan bagi masa depan pengembangan pangan lokal di tanah Lembata.

Namun, menurut saya, pernyataan dari putra Maluku itu hanya akan tinggal sebagai sebuah harapan jika pihak Pemda Lembata tidak memiliki gerakkan nurani terdalam dan kesadaran yang sama untuk peduli pada ketahanan pangan lokal. Artinya, pameran pangan lokal ini bukan sekadar “pesta tiga malam” lalu selesai.

Yang paling penting adalah soal keberlanjutan. Soal ini mesti mendapat restu dari pengambil kebijakan dalam hal ini DPRD dan Pemda Lembata. Sebab, masyarakat hanya bergerak pada tempat yang terbatas – hanya sekadar makan di kampungnya, tidak ada nilai lebih pada tingkatan yang lebih luas.

Realisasi harapan-harapan baik ini tentu menuntut kita untuk memahami persoalan dasar yang terjadi pada tingkat akar rumput, yakni masyarakat kampung adat serta apa harapan-harapan mereka terkait pengembangan pangan lokal ke depan.

Kegiatan Gelar Pameran Budaya Pangan Lokal Masyarakat Adat Lembata atau Gelekat Lewoleba pada Selasa-Kamis, 29-31 Agustus 2023. (Dokumentasi Anton Rian)

Problematika Pangan Lokal

Diskusi-diskusi tentang masalah pangan lokal, termasuk di Lembata hingga kini memperlihatkan suatu masalah serius soal nasib pangan lokal yaitu antara kepunahan atau keberlanjutan.

Dalam konteks Lembata, kepunahan pangan lokal ini bukan lagi sekadar sebuah ketakutan, tetapi telah menjadi sebuah kenyataan.

Salah satunya adalah Jeruk Kedang yang pernah eksis belasan tahun lalu, bahkan menjadi salah satu sumber ekonomi warga di Kecamatan Omesuri Buyasuri. Kini, jeruk itu telah punah.

Penyebab utamanya belum diketahui persis. Tak ada referensi akurat yang disiapkan oleh pengambil kebijakan di daerah terkait kepunahan jeruk Kedang; selain barangkali hanyalah apatisme elit.

Sementara itu, di tengah makin punahnya pangan lokal pada satu sisi serta tingginya tingkat konsumsi beras dan terigu, kondisi di NTT sekarang ini justeru memperlihatkan betapa rentannya ketahanan pangan di tengah warga.

Berdasarkan laporan dari Ahmad Arif dan Fransiskus Pati Herin di Kompas.id pada 14 Agustus 2023, sudah terjadi kerentanan pangan dan kerawanan gizi di NTT. Mereka mengutip penjelasan dari Serfia Owa (59), petani dan Ketua Aliansi Perempuan Mandiri Manggarai Barat, yang mengatakan bahwa anak-anak muda di NTT justeru tak lagi tertarik mengkonsumsi pangan lokal. Akibatnya, NTT bergantung pada pangan dari luar wilayah NTT. Kondisi tentu saja menghadirkan tantangan serius bagi revitalisasi pangan lokal sebagai penyangga ketahanan pangan keluarga di NTT.

Pengakuan dari Serfia Ola di atas menjadi representasi kondisi warga NTT saat ini yang lebih tertarik pada beras dan terigu. Bukan hanya di Manggarai, Lembata juga mengalami hal yang sama.

Saya pernah mewawancarai peserta didik kelas 12 di SMAK Santo Yakobus Rasul Lewoleba. Ketika saya bertanya; “Pilih kue tar atau makan ubi? Semuanya menjawab, “kue tar.”

Mengapa tidak mau makan ubi? Mereka tidak menjawab menggunakan argumentasi rasional, malah menertawakan pertanyaan itu. Artinya, pangan lokal seperti ubi dianggap sebagai makanan kelas bawah, makanan orang kampung yang barangkali mengonsumsinya membuat mereka malu karena ketinggalan zaman.

Kepunahan pangan lokal ini kian menjadi masalah yang sistemik di tengah dampak buruk penggunaan pestisida yang dipicu oleh intensifikasi pertanian belakangan ini.

Pengakuan ini misalnya datang dari mama Maria Nurak (62), Dorotea Dorce (62) dan Peni Lawe (70) – ketiganya adalah warga Desa Mahal, Kecamatan Omesuri.

Mereka mengatakan bahwa penggunaan pestisida memberikan dampak buruk yang sangat besar bagi para petani.

Walaupun pada sisi efektivitas, penggunaan pestisida amat bermanfaat, tetapi ada keyakinan petani lokal bahwa pestisida menurunkan kualitas kesuburan tanah yang berdampak langsung pula pada kualitas pangan lokal, khususnya umbi-umbian.

Beberapa menu olahan dari pangan lokal yang disajikan dalam kegiatan Gelar Pameran Budaya Pangan Lokal Masyarakat Adat Lembata pada Selasa-Kamis, 29-31 Agustus 2023. (Dokumentasi Anton Rian)

Mengubah Paradigma: Kembalikan Kejayaan Pangan Lokal Lembata

Langkah yang dilakukan oleh Pandu Budaya Lembata tidak boleh lumpuh. Oleh karena itu, kolaborasi antarpihak mesti diwujudkan. Yang paling penting adalah menghidupkan kembali cara pikir yang positif terhadap pangan lokal serta memikirkan strategi pembangunan yang kreatif yang mampu menghidupkan kembali pangan lokal.

Pertama, kesadaran bahwa pangan lokal merupakan sebuah makanan yang sehat. Mengonsumsinya tidak akan pernah menghilangkan harga diri orang Lembaga atau mengonsumsinya tidak berarti ketinggalan zaman.

Pemikiran keliru model itu mesti diluruskan, misalnya melalui kegiatan-kegiatan kreatif tentang pangan lokal, diskusi bersama, kampanye masif oleh pihak-pihak pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten.

Kedua, pada sisi ekonomi, mengkonsumsi pangan lokal mengurangi pengeluaran uang untuk membeli beras setiap bulan. Tidak bisa dipungkiri i bahwa beras sudah menjadi makanan pokok di Lembata. Namun, hal ini tidak berarti pangan lokal digeser posisinya. Pangan lokal adalah makanan gratis yang bisa dibudidayakan sendiri sesuai dengan kondisi pulau Lembata.

Bayangkan saja jika setiap orang punya kebun dan membudidayakan pangan lokal, maka ketika harga beras mahal, warga Lembata, khususnya di kampung-kampung tidak perlu mengeluh karena pangan lokal adalah solusinya.

Ketiga, dari sisi lingkungan, pengembangan pangan lokal sangat ramah lingkungan. Pemerintah di NTT, secara khusus di Lembata mesti mulai dari sekarang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang dipicu oleh penggunaan pestisida.

Pemerintah tidak boleh tidak adil, memuliakan manfaat positif dari pestisida – mendukung pasar – tanpa melihat dampak negatifnya, sebagaimana dikeluhkan oleh para petani lokal. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lembata melalui tim khususnya misalnya, mesti turun ke kampung-kampung dan menjelaskan dampak positif dan negatif dari pestisida.

Keempat, pangan lokal penting untuk ketahanan pangan. Menurut Rinna Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional, keberagaman pangan menjadi kunci bagi ketahanan pangan di daerah. Jika semua daerah mengoptimalkan pangan lokal, kata dia, maka teriak kerentanan pangan seharusnya tidak ada lagi.

Kelima, strategi pengembangan pangan lokal dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikannya dengan sektor pembangunan lain yang berdampak secara ekonomi. Sektor pariwisata dan kuliner misalnya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pangan lokal.

Dalam konteks Lembata misalnya, penting untuk dipertimbangkan seberapa jauh ruang yang diberikan bagi pangan lokal sebagai menu di hotel-hotel atau warung-warung makan. Selain bermanfaat untuk kualitas gizi, tentu juga berdampak secara ekonomis.

Terkait ini Pemerintah Desa Hoelea’ II, Kecamatan Omesuri sudah mulai dengan inisiatif mengembangkan Kopi Leye. Leye atau jali-jali merupakan makanan lokal khas di desa tersebut yang bertalian langsung dengan tradisi adat sakral masyarakat adatnya.

Namun, secara ekonomis tidak akan maksimal jika hanya dikonsumsi oleh masyarakat adat bersangkutan. Cara berpikir Pemerintah Desa sudah canggih. Mereka mengembangkan Kopi Leye. Informasi ini semestinya didukung pula oleh Pemda Lembata, misalnya mempromosikannya secara masif di tingkat kabupaten.

Pada konteks ini, pangan lokal yang ada di Lembata mesti mendapat tempat di gedung-gedung pemerintah. Tak boleh lagi ada apatisme yang bisa mengakibatkan hilangnya sumber pangan lokal yang bisa berdampak pada kehidupan masyarakat adat.

Antonius Rian adalah Ketua Pandu Budaya Lembata

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya