Sudah Seharusnya Gereja di Flores Satu Suara Tolak Geotermal

Pesan para uskup se-Flores yang tolak geotermal menjadi titik pijak penting bagi sikap Gereja yang berpihak pada aspirasi umat

Oleh: Venan Haryanto

Proyek geotermal di Pulau Flores terus mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak. Selain  terutama datang dari warga lingkar proyek sendiri dalam berbagai aliansi strategis dengan organisasi masyarakat sipil, Gereja Katolik di Flores juga mulai melibatkan diri dalam gerakan ini.

Yang terbaru misalnya unjuk rasa pada 12 Maret yang diinisiasi oleh para pastor, suster yang tergabung dalam lembaga advokasi Gereja Katolik seperti Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan [Justice, Peace and Integrity of Creation] dan mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero [IFTK]. Mereka menggelar aksi di kantor DPRD dan Bupati Ngada, menolak perluasan proyek geotermal Mataloko.

Gerakan ini merupakan tindak lanjut dari sikap Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden mengawali tahun pastoral 2025 dengan menyatakan seruan mendorong resistensi warga terhadap proyek-proyek geotermal di wilayah keuskupannya.

Dalam waktu berdekatan, keenam uskup di bawah naungan Provinsi Gerejawi Ende [Uskup Agung Ende, Uskup Maumere, Uskup Larantuka, Uskup Ruteng, Uskup Labuan Bajo dan Uskup Denpasar] melalui Surat Gembala Prapaskah 2025 kompak menolak eksploitasi geotermal di wilayah Flores dan Lembata. Mereka sepakat untuk lebih mendorong pembangunan yang berkelanjutan melalui sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan serta kelautan.

Langkah Gereja ini bak menambah vitamin baru bagi perjuangan warga dalam mengkritisi dampak sosial dan ekologi proyek geotermal selama ini.

Mengingat begitu kuatnya pengaruh Gereja Katolik di Flores, terutama karena lebih dari 90 persen penduduknya tercatat sebagai penganut Katolik, keterlibatannya otomatis membawa dampak yang signifikan bagi penguatan elemen sipil dalam merespons berbagai soal ketidakadilan dan isu lingkungan.

Terkait ini, sejarah telah memberi bukti. Patut dicatat bahwa keberhasilan gerakan tolak tambang di Flores selama dua dekade terakhir tidak terlepas dari keberanian dan ketegasan pihak Gereja sebagai aktor penting dari gerakan keadilan lingkungan. Gerakan tolak tambang berbasis Gereja di Flores bahkan telah menjadi objek kajian banyak studi pembangunan dan gerakan sosial [Denar, 2015; Erb & Widyawati, 2018].

Persamaan persepsi antara otoritas Gereja lokal ini juga menjadi penting terutama karena sebelumnya mereka berbeda pandangan dan sikap terkait isu ini. Keuskupan Ruteng misalnya belum menyatakan suara kritis terhadap konflik geotermal Poco Leok, kendati intimidasi terhadap warga yang  menolak makin menjadi-jadi. Keuskupan yang sama juga pernah menyatakan dukungan terhadap proyek geotermal di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat yang sekarang telah menjadi bagian dari Keuskupan Labuan Bajo.

Sementara itu, sebelum datang dengan pernyataan sikap bersama ini, keuskupan-keuskupan yang lain belum pernah bersuara terhadap isu ini, kendati gerakan warga mengkritisi geotermal di Flores sudah dimulai sejak lama. Pendapat ini mungkin tidak berlaku untuk Keuskupan Labuan Bajo yang baru terbentuk tahun lalu.

Setelah dalam beberapa tahun terakhir bergelut dengan gerakan perlawanan warga, saya  menemukan beberapa poin berikut yang menjadi alasan penting mengapa perlu banyak aktor, termasuk Gereja, bersuara kritis menolak ekspansi masif proyek geotermal di Flores.

Dan kabar baiknya, sebagian besar dari poin-poin ini juga menjadi dasar dari sikap kritis Gereja Flores terhadap geotermal, antara lain yang tersurat dan tersirat dalam dokumen pernyataan bersama keenam uskup. Ini tentu sinyalemen bagus untuk sebuah aliansi gerakan yang terbentuk atas cara pandang yang sama terhadap sebuah soal [common ground].

Cerita Lapangan sebagai Teori yang Valid

Diperkenalkan sebagai bagian dari perhatian global atas isu lingkungan dengan mendorong ekonomi hijau, ekspansi proyek geotermal di Indonesia yang mendapat momentum pasca ratifikasi Perjanjian Paris pada 2016, digembar-gemborkan sebagai bentuk energi bersih.

Sejak saat itu, narasi tentang panas bumi sebagai energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan silih berganti disebarluaskan oleh berbagai institusi, mulai dari negara, Lembaga Masyarakat Sipil, industri hingga lembaga-lembaga pendanaan internasional sepert Bank Dunia [World Bank] dan Bank Pembangunan Asia [Asian Development Bank].

Dalam skenario ini, geotermal dipertentangkan dengan sumber-sumber energi yang berbasis ekstraktif yang dituding sebagai penyebab utama tingginya produksi karbon di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.  

Klaim geotermal sebagai energi bersih kian diperkuat melalui regulasi khusus. Menggantikan UU No 27 tahun 2003, UU baru No 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi mencabutnya dari kategori sebagai tambang, sebuah taktik politik regulasi yang berupaya mengunci kesangsian terhadap geotermal sebagai energi yang  ramah lingkungan.

Berbeda dengan klaim sepihak di atas kertas ini, suara protes warga terhadap geotermal di Flores justeru menyingkap fakta tentang dampak buruknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

Data yang terpampang jelas di depan mata adalah kegagalan proyek di Mataloko sejak mulai dikerjakan dua dekade silam.

Munculnya lubang yang mengeluarkan lumpur panas di daerah sekitar, yang terus bertambah, menjadi pelajaran penting, tidak hanya bagi warga Matoloko sendiri, tetapi juga warga Wae Sano, Poco Leok, hingga Atadei di Lembata untuk datang dengan kesangsian yang besar soal klaim geotermal sebagai energi yang ramah lingkungan.

Tak hanya itu, warga lingkar proyek di Flores bahkan memiliki  preferensi yang lebih luas soal dampak buruk geotermal yang berujung pada konsolidasi warga untuk melawan. Beberapa di antaranya adalah  geotermal di Mandailing Natal, Sumatera Utara yang beberapa kali mengalami kebocoran gas dan menelan korban nyawa, persoalan dalam proyek di Dieng-Jawa Tengah, Ciremai-Jawa Barat, Gunung Talang-Sumatera Barat, Baturaden-Jawa Tengah dan Bedugul-Bali.

Cerita-cerita ini, dengan demikian, juga beresonansi dengan pengalaman perlawanan terhadap dampak buruk terhadap geotermal di negara-negara lain seperti di Jerman [Kunze & Hertel, 2017], Italia [Lamperdi, 2024], Kenya [Hughes & Rogei, 2020] dan Turkey [Özen, 2025].

Atas dasar itu suara-suara Gereja lokal di Flores yang menjadikan pengalaman-pengalaman nyata soal dampak buruk geotermal sejalan dengan apa yang menjadi senjata utama gerakan warga selama ini. 

Pihak Komsos Keuskupan Agung Ende misalnya secara konsisten menayangkan bukti-bukti kerusakan lahan pertanian dan pemukiman warga yang terjadi akibat eksploitasi geotermal Mataloko.

Sosio-Ekologi Pulau Kecil 

Tanpa bermaksud mengabaikan daya rusak proyek-proyek pembangunan di pulau-pulau besar di Indonesia, kondisi Flores yang kecil, juga gugusan pulau lain di sekitarnya membuatnya lebih rentan dengan risiko sosial dan lingkungan karena pola pembangunan yang mengeksploitasi lahan dalam skala luas.

Sedari awal perlu disadari bahwa di atas Pulau Flores yang kecil ini, sebagian besarnya merupakan lahan produktif bagi warga yang mayoritas petani. Oleh sebab itu, proyek-proyek seperti tambang atau geotermal menjadi rentan secara sosial sebab kemungkinan besar akan berlokasi di dekat pemukiman warga atau di sekitar lahan-lahan pertanian mereka.

Dengan demikian, selain soal perdebatan tentang teknologi geotermal yang terbukti belum tentu ramah lingkungan, resonansi perlawanan warga seperti di Wae Sano, Poco Leok, Mataloko dan Atadei menjadi lebih kuat, sebab sumur-sumur pengeboran [well pad] yang terletak persis dalam ruang hidup mereka.

Poin yang sama juga secara konkret disampaikan oleh pihak otoritas Gereja Keuskupan Agung Ende. Dalam audiensi dengan pihak Kementerian ESDM, PLN, perusahaan dan pihak pemerintah pabupaten pada 15 Maret, pihak keuskupan kembali menekankan soal lahan Pulau Flores yang berbukit dan banyak gunung, yang kemudian hanya menyisakan lahan yang sedikit untuk pertanian.  

Selain itu, kenyataan geologi Flores sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik [Ring of Fire] membuat pulau kecil ini menjadi sangat rentan dengan bencana alam seperti letusan gunung berapi. 

Gunung Lewotobi Laki-Laki masih terus erupsi, menyisakan kerugian material serta pengalaman traumatik di ujung timur Flores. Sinyal bencana yang sama juga masih mengintai warga yang lain ketika sejumlah gunung api lain di Flores sempat diumumkan mengalami kenaikan status aktivitas.

Persis dalam konteks inilah pengetahuan penting tentang hubungan erat antara geotermal dan gempa bumi yang selama ini dipelajari warga dari berbagai informasi dan jejaring strategis menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan oleh berbagai banyak aktor, termasuk Gereja.

Studi-studi ilmiah tentang geotermal secara meyakinkan menjelaskan hubungan antara geotermal dengan gempa picuan. Di Jerman misalnya, sebagaimana yang tertuang dalam riset Kunze & Hertel [2017], kemunculan protes terhadap geotermal sebagai bagian dari gerakan lingkungan dipicu oleh  gempa picuan yang terjadi di negara tetangga—Swiss, sejak kehadiran proyek geotermal di negara itu.

Dengan karakter ekologi Flores [place-based ecology], rencana masif pembangunan geotermal dikhawatirkan akan memicu bencana industri yang dahsyat ke depan. 

Bukan Soal Romantisasi Adat

Dalam berbagai gerakan perlawanan geotermal di Flores, salah satu hal yang mendapat tempat penting adalah adat. Hal ini menjadi basis gerakan warga.

Dalam pernyataan sikap, warga dengan tegas menolak proyek geotermal karena merusak ruang hidup mereka sebagai masyarakat adat. Di wilayah Manggarai misalnya, ruang hidup itu dirumuskan sebagai kesatuan antara pemukiman [golo lonto, mbaru kaeng, natas labar], kebun pencaharian [umat duat], sumber air [wae teku], pusat kehidupan adat [compang takung, mbaru gendang] dan kuburan [lepah boak].

Artikulasi masyarakat adat yang berbasis kesadaran untuk menjaga warisan adat memang tengah menjadi salah satu tren dalam gerakan perlawanan terhadap berbagai proyek pembangunan kapitalistik di banyak negara belahan selatan, seperti Afrika, Amerika Latin dan Asia.

Mengingat kuatnya gerakan ini, upaya delegitimasi atasnya dilakukan dengan banyak macam cara, antara lain mengunci gerakan tersebut lewat cap sebatas romantisasi adat atau budaya.

Pengalaman serupa juga terjadi di Flores ketika perlawanan berbasis adat seringkali dipersempit maknanya sebagai bentuk romantisasi budaya, tanpa agenda transformasi. Karena itu, gerakan ini dengan mudah dilabeli sebagai gerakan sekelompok kaum yang menolak pembangunan atau kemajuan.

Belajar dari gerakan perlawanan berbasis adat di Flores, beberapa poin berikut penting sebagai pertimbangan untuk membacanya dengan cara yang lain.

Pertama, semestinya dengan mudah dicerna akal sehat bahwa kuatnya perlawanan berbasis adat terhadap geotermal merupakan upaya masyarakat adat mempertahankan lanskap nilai [landscape of values] sebagai dasar eksistensi mereka berabad-abad.

Dengan kata lain, perlawanan berbasis adat ini merupakan upaya mempertahankan budaya yang mencakup pengetahuan [epistemologi], sejarah, cara berada [ways of being] dari upaya hegemonisasi cara pandang tertentu.

Dan dalam konteks Flores, identitas adat ini sangat melekat kuat dengan masyarakat setempat. Kendati pengaruh Katolisisme sangat kuat, dalam praktiknya agama-agama atau kepercayaan lokal tetap eksis, yang tercermin dalam kosmologi, bagian dari kehidupan sehari-hari warga setempat.

Tentang ini, para antropolog Gereja seperti Jillis Verheijen di sebelah barat dan Paul Arndt di sebelah tengah dan timur Flores, telah banyak menulis karya yang mendokumentasikan kepercayaan-kepercayaan atau agama lokal setempat.

Atas dasar itu, mengabaikan begitu saja suara warga tentang ini sama saja dengan meruntuhkan identitas yang  mereka wariskan lintas generasi.

Mengikuti pernyataan keenam uskup, ekspansi geotermal di Flores perlu ditolak demi keberlanjutan budaya.

Kedua, dalam spektrum yang lebih luas, sebagaimana juga yang terjadi dalam kasus-kasus perlawanan adat yang lain, kosmologi masyarakat adat selalu konstitutif dengan agenda keberlanjutan ekonomi dan ekologi.

Konkretnya, cara pandang atau kosmologi masyarakat adat yang menekankan hubungan relasional antara manusia dan elemen non-human [seperti nenek moyang, tanah, air, dan hutan], menjadi landasan utama bagi keberlanjutan ekonomi agraris berbasis warga yang dibangun atas keseimbangan dan harmoni [attachment] dengan alam. Konsep seperti ini berbeda dengan model ekonomi akumulatif yang dibangun atas relasi yang eksploitatif [detachment] dengan alam.

Karena itu, agenda ekonomi dan ekologi, termasuk yang tengah menjadi perhatian karya pastoral Gereja lokal Flores, tidak dapat dipisahkan dari konteks kehidupan masyarakat adat setempat. Dalam konteks ini, cara pandang Gereja Flores terhadap adat penting untuk didorong menjadi lebih transformatif, melampaui sekadar pemaknaan terhadap adat hanya sebatas ritual atau artefak kebudayaan, atau sebatas memasukkan bahasa daerah ke dalam liturgi. Lebih dari itu, adat adalah aspek penting yang menjadi basis untuk menjaga keberlanjutan budaya dan ekologi Flores.

Partisipasi yang Tokenistik

Cerita-cerita lapangan dari titik-titik geotermal menunjukkan bahwa, meskipun proses pembangunan terkesan melibatkan warga, partisipasi mereka tidak pernah benar-benar bermakna.

Dalam banyak kasus, tahapan seperti konsultasi publik, sosialisasi, dan penyusunan dokumen lingkungan seperti UPL-UKL diklaim melibatkan warga. Namun, hal itu sering kali hanya bersifat tokenistik—sekadar partisipasi simbolis tanpa memberikan peran nyata warga dalam mengambil keputusan.

Cerita-cerita  warga lingkar geotermal mulai dari Wae Sano paling barat hingga Atadei di timur hampir generik soal jebakan prosedural dari tahapan-tahapan proyek yang sebenarnya sangat krusial dalam menentukan persetujuan warga terhadap proyek geotermal.

Proses-proses yang tokenistik dalam mengklaim dukungan publik atas proyek-proyek ini berlangsung dalam banyak cara, mulai dari yang subtil hingga yang paling kasar. Kontrol atas informasi dan pengetahuan seputar geotermal melalui legitimasi para ahli menjadi salah satu yang paling banyak disorot oleh warga.

Dalam acara-acara seperti konsultasi publik, ketimbang dialog dua arah, yang lebih sering terjadi adalah pengabaian atas pertanyaan-pertanyaan mendasar warga dan dipaksa untuk meyakini penjelasan-penjelasan para ahli yang sebetulnya juga mengandung banyak ketidakjelasan. Di sisi lain resistensi direspons dengan klaim bahwa sudah ada regulasi, yang membuat warga dalam keadaan terpaksa untuk menerima.

Dalam kasus Wae Sano dan Poco Leok misalnya, mereduksi persetujuan sebatas pada pemilik lahan telah menggeser substansi persoalan yang sesungguhnya, yaitu soal keberatan dampak proyek dari seluruh warga. Dengan kata lain, suara kritis warga dengan sendirinya tidak lagi menjadi relevan atas dalih sebuah proyek yang telah mendapatkan restu regulasi. 

Persetujuan dari warga juga sering kali dicapai melalui berbagai cara-cara yang intimidatif, menekan warga yang memprotes dengan dalih mengamankan Proyek Strategis Negara [PSN].

Dalam kasus geotermal di Poco Leok, pola seperti ini terkonfirmasi dari temuan Tim Independen utusan pendana proyek, Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau yang pada September 2024 menyimpulkan bahwa ada sejumlah standar sosial internasional yang dilanggar, termasuk “konsultasi bermakna” dengan masyarakat setempat. Karena itulah, bank tersebut meminta penghentian sementara, sembari menyatakan belum bisa mengucurkan dana kepada PT PLN yang mengerjakan proyek itu.

Di tengah relasi kuasa yang sangat tidak asimetris seperti ini, sebagai institusi intelektual dan moral, Gereja sangat perlu memperkuat gerakan umatnya sendiri agar tidak terjebak dalam konsen proyek yang dihasilkan dari cara-cara yang tokenistik seperti itu. Sebagaimana yang telah disentil Uskup Agung Ende, Gereja perlu mendorong resistensi warga dengan memberikan informasi-informasi dan pengetahuan yang relevan tentang dampak buruk geotermal.

Titik Terang Bagi Isu yang Lain

Akhirnya, sikap kritis Gereja terhadap proyek geotermal sebagai salah satu masalah sosial dan ekologis di Flores patut diapresiasi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, modal simbolik berupa pengakuan umat Flores terhadap Gereja sebagai institusi intelektual dan moral, tentu akan berdampak signifikan pada menguatnya gerakan penolakan dari warga dan aliansi sipil terhadap geotermal selama ini. 

Atas dasar itu, membangun aliansi dengan gerakan warga dan elemen sipil lain tentu saja menjadi tindak lanjut yang berikutnya sangat diharapkan dari pihak Gereja.

Sementara itu, lebih dari sekadar isu sektoral geotermal, langkah Gereja ini menjadi sinyalemen bagus bagi kepedulian terhadap lingkungan dan alam Flores yang tengah menjadi incaran proyek-proyek eksploitatif berbasis penguasaan lahan dalam skala masif di bawah label ekonomi hijau.

Bertopeng propaganda ekonomi berkelanjutan, pariwisata super premium Labuan Bajo juga tak kalah dahsyat telah menimbulkan dampak sosial dan ekologi bagi warga dan lingkungan sekitar. Selain itu, alam NTT, terkhusus Flores yang kaya akan potensi mangan juga bukan tidak mungkin akan digarong kembali untuk menyokong ekosistem bahan baku teknologi yang diklaim ramah lingkungan.

Harapannya, Surat Gembala keenam uskup bukan menjadi yang terakhir, tetapi menjadi awal dari rentetan panjang suara kritis Gereja di Flores ke depan untuk persoalan yang berdampak pada warga, yang adalah umat Allah sendiri.

Venan Haryanto adalah pegiat sosial dan peneliti isu-isu sosial dan pembangunan di Flores, sedang menempuh pendidikan doktoral antropologi di Univeritas Bonn-Jerman. 

Editor: Ryan Dagur


Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya