Ketika Logika Medis Mendominasi Penanganan Gangguan Jiwa di Manggarai

Di balik kepraktisan logika medis, tersembunyi penyederhanaan yang berbahaya, menyingkirkan kenyataan bahwa gangguan jiwa seringkali tumbuh di ladang luka sosial

Oleh: Jerry Santoso

Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, NTT mencatat 857 kasus gangguan jiwa per Februari 2025, atau sekitar 0,25% dari total populasi. Ini berarti ada dua hingga tiga kasus gangguan jiwa per 1.000 penduduk.

Skizofrenia – gangguan mental berat yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan dan bertindak –  paling dominan, mencakup lebih dari separuh kasus.

Ironisnya, layanan kesehatan jiwa di daerah ini nyaris tak beranjak dari tahap minimal: sebanyak 264 orang—hampir separuh dari total kasus—tidak mendapat pengobatan.

Sebagian dari mereka dirawat di Panti Renceng Mose yang dikelola lembaga Gereja Katolik Kongregasi Bruder Caritas dengan skema tanggungan pemerintah.

Namun, inisiatif pemulihan berbasis komunitas praktis tidak mendapatkan dukungan anggaran yang memadai, bahkan nyaris tidak ada sama sekali.

Di tengah absennya ekosistem pemulihan berbasis hak, pertanyaannya menjadi semakin mendesak: bagaimana mungkin mereka yang mengalami gangguan jiwa sungguh-sungguh dapat kembali dan diterima dalam keluarga atau masyarakat?

Dominasi Logika Medis

Pengalaman selama beberapa tahun terakhir terlibat mendampingi orang dengan gangguan jiwa dan keluarga mereka di Manggarai memberi saya kesan ini: masalah gangguan jiwa masih dibaca melalui kaca mata lama – antara stigma sosial dan pendekatan medis sempit.

Kendati statistik kasus terus bertambah, cara memahami dan menangani persoalan ini nyaris tidak bergerak.

Dalam logika medis ortodoks, penderitaan psikososial didefinisikan sebagai disorder—kerusakan internal yang harus diperbaiki.

Definisi ini pertama kali diterbitkan oleh American Psychiatric Association pada 1952 dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) — yang mengacu pada pemikiran Emil Kraepelin.

Lantas, dalam sistem layanan kesehatan kita, gangguan jiwa kerap direduksi menjadi sekadar urusan medis.

Ketika seseorang mulai menunjukkan gejala seperti halusinasi, waham, atau perubahan suasana hati yang drastis misalnya, responsnya sudah hampir otomatis: diagnosis klinis, resep obat psikotropika, dan kalau dianggap perlu, rawat inap.

Bahkan, praktik “pengamanan” seperti pemasungan, tragisnya, masih dianggap sah.

Seolah-olah semua itu bisa dijelaskan hanya dengan ketidakseimbangan serotonin di otak, seperti penjelasan ilmiah sederhana dalam film A Beautiful Mind.

Apa yang Diabaikan?

Di balik kepraktisan logika medis ini, tersembunyi penyederhanaan yang berbahaya.

Ia menyingkirkan kenyataan bahwa gangguan jiwa seringkali tumbuh di ladang luka sosial: kemiskinan, kekerasan rumah tangga, trauma masa kecil, kehilangan orang tercinta, keterasingan hidup—semua tekanan yang perlahan menggerogoti ketahanan jiwa manusia.

Ketika seorang perempuan kehilangan suaminya dalam kecelakaan lalu hidup dan hidup dengan kecemasan yang tak berkesudahan, apakah cukup adil kita menyimpulkannya sebagai “hanya soal neurotransmitter”?

Ketika logika medis ortodoks terus dipertahankan, masalah kesehatan jiwa terjebak dalam lingkaran salah kaprah — diabaikan sebagai beban, bukan ditangani sebagai bagian dari hak dasar manusia.

Padahal, lebih sering dunia luarlah yang lebih dulu ‘sakit’. Ketidaksetaraan ekonomi, relasi kekuasaan yang menindas, hingga kebijakan publik yang abai, semuanya menciptakan lanskap sosial yang merusak kesehatan jiwa.

Psikiatri di Indonesia, sebagaimana dijalankan di banyak rumah sakit jiwa, kerap mengaburkan akar-akar struktural penderitaan itu.

Obat-obatan diberikan untuk menenangkan gejala, bukan untuk menantang sistem yang melanggengkan ketidakadilan.

Akhirnya, praktik seperti pemasungan dan rawat paksa terasa “masuk akal” karena problemnya diletakkan di tubuh individu, bukan di dunia yang membuat mereka sakit.

Disabilitas Psikososial sebagai Terminologi Perlawanan

Di tengah dominasi logika medis ini, istilah disabilitas psikososial lahir sebagai bentuk perlawanan epistemik.

Istilah ini melampaui sekadar pergantian label; ia menegaskan bahwa penderitaan jiwa bukanlah “kerusakan individu” semata, melainkan hasil dari interaksi antara kondisi psikologis dan hambatan sosial.

Berbeda dengan istilah ODGJ yang bernuansa medis dan kerap melabeli, istilah ini menempatkan stigma, diskriminasi dan pengucilan sebagai aktor utama dalam menciptakan disabilitas.

Sebab, diagnosis medis dalam psikiatri bukanlah sesuatu yang netral. Label skizofrenia, bipolar atau borderline bukan hanya kategori klinis; ia bisa menjadi stempel sosial yang membatasi gerak hidup seseorang.

Yang lebih mengkhawatirkan, proses diagnosis ini seringkali minim partisipasi pasien. Relasi psikiater-pasien tetap hierarkis: satu dianggap tahu segalanya, yang lain menjadi objek pasif.

Di titik ini, pengalaman subjektif pasien—cerita, rasa takut, harapan—kerap hilang ditelan prosedur.

Dominasi logika medis ini juga merembes ke dalam kebijakan sosial. Hampir tidak ada skema perlindungan sosial spesifik untuk penyandang disabilitas psikososial.

Anggaran rehabilitasi mental disatukan dalam program penyandang disabilitas umum, tanpa pendekatan afirmatif.

Di daerah ini, ketimpangan terasa begitu telanjang. Puskesmas tak punya tenaga psikiater, tak ada program pemulihan komunitas dan akses layanan kesehatan mental lebih mirip lotre nasib. Sementara di Jakarta dan kota-kota besar lain, kelas menengah bisa “curhat berbayar” ke terapis selama punya duit.

Inilah bentuk kekerasan struktural yang kasat mata: ketidakadilan ekonomi-politik yang membatasi akses atas hak pemulihan.

Dari Penyembuhan ke Pembebasan

Sudah saatnya kita menggeser paradigma. Kita perlu berpindah dari konsep “penyembuhan” yang hanya fokus pada gejala, menuju pembebasan yang berakar pada pemulihan makna, relasi, dan kepercayaan diri.

Pemulihan tidak melulu soal bebas dari halusinasi atau depresi. Ia tentang bisa jatuh cinta lagi, bisa lejong dan kumpul keluarga, bisa merasa berarti di tengah komunitas.

Pandangan ini senada dengan pemikiran Arthur Kleinman, seorang antropolog dan psikiater terkemuka.

Ia menekankan bahwa penderitaan mental bukan sekadar masalah medis, melainkan pengalaman manusia yang penuh makna sosial, budaya dan moral (Kleinman, 1988).

Dalam bukunya The Illness Narratives, Kleinman menyebut bahwa penderitaan adalah pengalaman yang bermakna secara budaya.

Di Manggarai, apa yang disebut “gangguan” tidak otomatis dibaca sebagai penyakit mental dalam kerangka medis Barat. 

Sebaliknya, ia kerap dipahami sebagai bagian dari cultural idioms of distress — ekspresi penderitaan yang bermakna dalam konteks budaya lokal. 

Misalnya, perubahan perilaku, mendengar suara atau mimpi-mimpi intens dengan seseorang yang sudah meninggal, hal yang tidak serta-merta hanya bisa dikategorikan sebagai gangguan jiwa dalam logika medis.

Karena itu, saat kita bicara tentang kesehatan mental, kita perlu meletakkan soal dalam konteks yang lebih komprehensif, sembari mendengarkan lebih dalam mereka yang mengalami gangguan.

Bukan hanya fokus pada gejala, tapi mendengar cerita. Bukan hanya memberi resep, tapi membangun ruang aman.

Penyembuhan sejati bukan hanya tentang individu—tapi tentang memperbaiki masyarakat yang membuat mereka sakit.

Jerry Santoso adalah Program Officer Community Based Mental Health di Yayasan Ayo Indonesia, sedang mendampingi orang dengan disabilitas psikososial bersama keluarga mereka di Manggarai, NTT

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING