Menjejaki Masa Lampau, Menguak Harapan

Baca Juga

Oleh: REDEM KONO

Judul Buku: Sejarah Gereja Katolik Pulau Timor dan Sekitarnya Tahun 1556-2013, Tahun Terbit: 2013, Penerbit: Lappop Press, Penulis: Dr. GregorNeonbasu, SVD; Drs. Ladislaus Naisaban, MA; Drs. Niko Tnano, MA, Tebal Buku: 407 halaman


 

Pada 1969, Paul Ricoeur menulis sebuah buku terkenal berjudul The Symbolism of Evil (selanjutnya disingkat SoE). Dalam buku ini, Ricoeur mengulas peran mitos, narasi, cerita-cerita masa lampau dalam kehidupan manusia. Menurut Ricoeur, mitos-dan kisah-kisah masa lampau itu kini mengalami, katakanlah, “demitisasi” di mana “mitos hanya diperlakukan sebagai mitos”, “kisah masa lampau hanya dipandang sebagai kisah masa lampau” (SoE, hlm. 161). Mitos dan cerita masa lampau diperlakukan sebagai ilusi; warisan tanpa makna; tidak punya hubungan dengan masa depan.

Buku Sejarah Gereja Katolik Pulau Timor dan Sekitarnya Tahun 1556-2013 (selanjutnya disingkat SGKPT) tentu tidak ditulis dalam konteks demitisasi di atas. Artinya, untaian sejarah tentang Gereja Katolik di Pulau Timor tidak ditulis untuk mengenangkan sejarah semata. Tanpa terjebak dalam romantisme masa lampau, buku ini memperlakukan “…sejarah tidak dilihat sebagai sejarah…” (SGKPT, hlm.12), tetapi terutama punya “…makna dan hikmah penting di kehidupan mendatang”(SGKPT, hlm. 12).

Kilasan-kilasan sejarah yang ditulis demi 457 Tahun Gereja Katolik di Timor, 100 Tahun SVD Indonesia di Timor, 75 Tahun Keuskupan Atambua memiliki makna eksistensial bahwa “…dengan memahami lebih dalam konteks…” (SGKPT, hlm. 24), maka “…karya pewartaan Sabda Allah akan memahami secara baru dan bisa menghadirkan diri dalam dinamika kehidupan dan paradigma kebersamaan setiap hari (SGKPT, hlm.12).

Jejak Masa Lampau

Secara garis besar, SGKPT ditulis ke dalam tiga bagian besar.

Pertama, pengantar awal. Bagian pengantar ini memperkenalkan seluk-beluk Pulau Timor, di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perkenalan ini memuat asal-usul penamaan Pulau Timor (SGKPT, hlm. 30-32), letak geografis Pulau Timor (SGKPT, hlm. 33-34), asal-usul masyarakat Timor yang bermukim di pulau tersebut (SGKPT, hlm. 34-40).

Telusur terhadap leluhur masyarakat Timor menghidangkan fakta menarik: masyarakat Timor lahir dari persilangan dan penyerbukan berbagai kebudayaan (Melanesia, Melayu, Flores, Sulawesi). Pulau Timor memiliki kekayaan multikultural, kekayaan alam berupa cendana (SGKPT, hlm. 43-44), dan juga kekayaan dinamika sosio-politis (SGKPT, hlm. 46-49). Selanjutnya, bagian pengantar ini juga menampilkan panorama kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia (SGKPT, hlm. 50-53), yang bermuara pada masuknya penjajah Spanyol dan Portugis di tanah Timor (SGKPT, hlm. 55-62). Negosiasi politik antara para penjajah dan penguasa di Timor memberikan pengaruh besar bagi masuknya pekabaran Injil di Timor.

covKedua, perkembangan misi Gereja Katolik di Timor sejak tahun 1556. Paparan ini menampilkan secara historis awal penyebaran agama Katolik di Timor sejak kedatangan Pastor Frei Antonius Taveira, OFM sebagai “…imam pertama yang memperkenalkan iman Katolik di Pulau Timor (SGKPT, hlm. 65). Bagian selanjutnya secara berturut-turut menarasikan karya pastoral OrdoDominikan (SGKPT, hlm. 65-82), misi imam-imam projo Belanda (SGKPT, hlm. 85-86), misi imam-imam Jesuit (SGKPT, hlm. 87-116), misi imam-imam Serikat Sabda Allah-SVD (SGKPT, hlm.123-166), pembentukan vikariat apostolik Timor (SGKPT, hlm. 167-174), dan ditutup dengan perkembangan Keuskupan Atambua. Panorama sejarah ini menceritakan awal misi pewartaan Sabda Allah dan perkembangan agama Katolik di masa-masa sulit: berhadapan dengan para penjajah, penguasa feodal di masyarakat Timor, kesulitan berbahasa, dan juga ancaman penyakit.

Ketiga, refleksi mendalam terhadap perkembangan Gereja Katolik di Timor. Perkembangan dan penerimaan agama Katolik di Timor berlangsung cepat karena upaya para misionaris awal untuk menyebarkan Sabda Allah dengan “…mengakarkan Sabda Allah itu dengan simbol-simbol ekologi masyarakat Timor” (SGKPT, hlm. 230-255). Para misionaris memperhatikan konteks masyarakat Timor saat itu. Beberapa contoh yang signifikan yakni inkulturasi musik tradisional Timor ke dalam musik liturgi Gereja (SGKPT, hlm. 256-276), strategi pastoral Keuskupan Atambua yang tanggap zaman (SGKPT, hlm.273-301), dan pemanfaatan sokongan pendidikan kaum awam dalam pewartaan Sabda Allah dan misi Gereja (SGKPT, hlm. 303-343). Jika dirumuskan secara negatif, pewartaan Sabda Allah dengan memperhatikan konteks masyarakat Timor “…tidak akan berakar dalam hati dan budi masyarakat Timor, jika konteks dan realitas kehidupan masyarakat Timor setiap hari –termasuk budaya dan tradisi religi- gagal diperhatikan dengan lebih seksama” (SGKPT, hlm. 255).

Menguak Harapan

Bagian penutup SGKPT mementaskan sebuah ulasan menarik tentang 100 tahun SVD di Indonesia, sebagai moment syukur yang tak terpisahkan dari perkembangan Gereja Katolik Pulau Timor. Bertolak dari analisis antropologis (SGKPT, hlm. 344-371), bagian ini menganjurkan supaya karya pastoral Gereja Katolik Pulau Timor ke depan dapat “..berakar ke dalam..” (SGKPT, hlm. 369), yakni mengetahui secara lebih tepat berbagai “…akar kehidupan masyarakat untuk masuk ke dalam sumsum kehidupan masyarakat setiap hari” (SGKPT, hlm. 370). Kunci pendekatan kontekstual dalam pewartaan tersebut ada dalam pendidikan dan pembinaan calon imam. Untuk itu, pendidikan dan pembinaan calon imam di seminari perlu dilengkapi dengan pendekatan antropologis, karena di dalam dinding sejarah kehidupan manusia tertulis tradisi dan budaya yang vital bagi karya pewartaan Sabda Allah.

SGKPT ditulis melalui pendekatan historis dan realitas sejarah yang ada di lingkungan misi Gereja Timor. Menurut Paul Ricoeur, pendekatan historis kritis itu bermasalah karena dapat mengalami kehilangan makna simbolik, karena ada pemutusan antara sejarah masa lampau dan konteks masa kini. Itu berarti untaian sejarah ini tidak ada makna simboliknya. Namun, Ricoeur justru membiakkan “demitologisasi” yakni mitos, cerita masa lampau dapat dibiarkan untuk “menyingkapkan diri” di hadapan kita untuk diberi makna secara kritis dan simbolik (SoE, hlm. 162). Cerita-cerita pewartaan sabda Allah menyingkapkan dirinya secara naratif, sebagai tanda Allah menyatakan dirinya dalam hidup manusia.

Hemat saya, makna simbolik dalam SGKPT muncul dalam usaha para penulis buku ini untuk tidak hanya mempresentasikan “Gereja Katolik di Timor” tetapi juga “Gereja Katolik Timor.” “Gereja Katolik di Timor” berbicara tentang upaya para misionaris untuk mengajarkan, mewartakan Sabda Allah berupa doktrin, ajaran, perintah Magisterium Gereja yang hidup dalam tradisi Gereja Katolik universal selama berabad-abad. Di sisi lain, “Gereja Katolik Pulau Timor” mengulas tentang bagaimana umat Katolik di Timor menanggapi secara kreatif dan tanggap zaman pewartaan para misionaris itu. Di sini tampak jelas bahwa kehadiran Allah di tengah sejarah masyarakat Timor justru memperkaya pelbagai aspek kehidupan mereka, seperti religiositas, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

SGKPT menyingkapkan kehadiran Allah dalam pekabaran Warta Kerajaan Allah di Pulau Timor. Tetapi ada intensi lebih luas yang hendak dibidik dalam buku ini: buku ini bercerita tentang wujud keterlibatan Allah dalam sejarah hidup manusia; bahwa Allah terus bekerja untuk menyelamatkan umat-Nya. Karena itu, buku ini menjadi pegangan penting bagi siapapun yang percaya bahwa Tuhan senantiasa hadir dan memberikan harapan di dalam keseharian hidup. Sejarah hidup manusia merupakan bagian dari sejarah penyelamatan Allah!

Penulis adalah mahasiswa STF Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta. Pengajar di Kalbis Institute, Bina Nusantara Jakarta.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini