BerandaREPORTASEMENDALAMPernah Diancam Dibuat Stres...

Pernah Diancam Dibuat Stres oleh Kapolres, Kini Jurnalis di Flores Dituding Sebar Hoaks, Langgar UU ITE 

Jurnalis Patrianus 'Patrick' Meo Djawa menjalani pemeriksaan di Polres Nagekeo untuk tiga laporan polisi, meski dalam surat pemanggilan hanya satu yang disebut.

Floresa.co – Seorang jurnalis di Flores yang pernah mendapat ancaman kekerasan dari Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata menghadapi kasus tudingan pencemaran nama baik dan menyebarkan berita bohong, hal yang memicu pertanyaan dari organisasi advokasi terkait profesionalisme polisi dalam menangani sengketa terkait pers.

Patrianus ‘Patrick’ Meo Djawa, jurnalis Tribunflores.com telah menjalani pemeriksaan di Polres Nagekeo pekan lalu di mana dia dituding melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE], sebuah undang-undang yang terus didesak direvisi karena rentan dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi.

Patrick mengatakan kepada Floresa bahwa ia mendapat surat panggilan sehari sebelum memberikan keterangan kepada penyidik pada Kamis, 15 Juni 2023.

Dalam surat panggilan nomor S.pgl/464/VI/2023/Reskrim itu, ia dinyatakan dipanggil untuk memberikan keterangan terkait laporan polisi nomor: LP/B/43/IV/2023/NTT/RES NAGEKEO/ SPKT A tanggal 10 April 2023 tentang “menyebarkan informasi secara sepihak yang menyinggung dan mencemarkan nama baik Kepala Suku Nataia dan Suku Nataia.”

Namun, saat pemeriksaan, ia mengaku juga diminta untuk memberikan keterangan untuk dua laporan polisi lain yang sebelumnya tidak diberitahukan kepadanya. 

Kedua laporan itu terkait penyuntingan judul dan isi berita penghadangan mobil Kapolres Nagekeo dan penyebaran berita bohong tentang aset Pasar Danga. 

Bermula dari Peristiwa Pengadangan Mobil Kapolres

Kasus yang dihadapi Patrick bermula dari pemberitaannya di Tribunflores.com terkait pengadangan mobil Kapolres Yudha oleh sejumlah pemuda di Aeramo pada Minggu Paskah, 9 April 2023. Berita yang diterbitkan pada 10 April tersebut berjudul ‘Ponakan Ketua Suku Jadi Satu Dari Belasan Pemuda yang Ditangkap Polisi.’

Di dalamnya, Patrick menulis bahwa salah satu pelaku pengadangan yang kemudian ditahan oleh polisi merupakan keponakan Ketua Suku Nataia. Ia juga menyinggung bahwa suku itu berkontribusi dalam sejumlah pembangunan di Nagekeo, termasuk menghibahkan tanah untuk pembangunan rumah jabatan Kapolres dan Wakapolres.

Beberapa jam setelah berita itu terbit, Patrianus Seo, Ketua Suku Nataia, melaporkan Patrick ke Polres Nagekeo dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Tidak lama setelah laporan kepala suku itu, beredar luas tangkapan layar percakapan di Grup WhatsApp KH Destro — sebuah grup yang diakui Kapolres Yudha dibuatnya dan beranggotakan sejumlah polisi dan wartawan.

Dalam percakapan itu, Yudha meminta para wartawan yang ia klaim sebagai mitra polisi untuk membuat Patrick stres dengan laporan ketua suku tersebut.

Sejumlah nada ancaman terhadap Patrick juga muncul dalam pembicaraan grup itu, di antaranya adalah untuk “mematahkan rahangnya” hingga “membuangnya ke tempat sampah.”

Yudha mengakui isi percakapan itu dan menyebut ia memang pening dengan Patrik karena dalam beberapa kasus, “tidak hanya menulis berita sesuai rilis polisi, tetapi kerap melakukan investigasi sendiri.” Berita hasil investigasi Patrick, klaimnya, “mengaburkan fakta yang disampaikan polisi.”

Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata sedang memberikan penjelasan tentang tangkapaan layar isi obrolan di Grup WA ‘KH Destro.’ Obrolan itu berisi ancaman terhadap seorang jurnalis. (Tangkapan layar dari Video di Youtube Humas Polres Nagekeo)

Usai dilaporkan ke polisi, Patrick berupaya menghubungi Ketua Suku Nataia pada 13 April melalui telepon seluler dan layanan pesan singkat agar bisa memberikan klarifikasi atas keberatannya terhadap berita itu, namun tidak berhasil.

Saat mendatangi rumah ketua suku, Patrick juga tidak berhasil bertemu dengannya. Ia baru mendapat klarifikasi dari Ketua Suku Nataia pada 5 Mei 2023, yang kemudian langsung dimuat di Tribunflores.com pada hari yang sama.

Mempertanyakan Langkah Polisi

Patrick mengatakan ia “sangat menyayangkan” tindakan Polres Nagekeo dalam menangani kasus pemberitaan itu, mengingat klarifikasi dari Kepala Suku Nataia telah dimuat.

“Awalnya, saya berharap agar polisi mengarahkan pelapor menyelesaikan sengketa pemberitaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara kita, di mana para pelapor diberikan ruang untuk memberikan hak jawab dan hak koreksi,” katanya.

Namun, kata dia, “proses hukum di Polres Nagekeo berlaku lain, polisi kini telah mengancam saya melanggar UU ITE.”

Ia juga mempersoalkan laporan terkait berita tentang aset Pasar Danga, di mana menurut polisi ia menyebarkan hoaks.

Ia mengatakan, berita dengan judul ‘Uji Fakta Lapangan Pasar Danga’ yang ia laporkan melalui siaran langsung Facebook Tribun Flores pada 29 Maret 2023 itu telah melalui “proses verifikasi yang ketat,” di mana ia menggali informasi di lapangan dan juga dokumen dari pemerintah.

“Saya juga sudah berupaya mengonfirmasi ke polisi terkait kasus dugaan korupsi Pasar Danga, khususnya terkait aset gedung yang diklaim polisi telah dimusnahkan oleh pemerintah daerah,” katanya.

“Tetapi, saat itu saya tidak mendapat jawaban yang jelas sehingga saya melakukan uji petik di lapangan sesuai informasi dan dokumen yang saya dapat dari pemerintah,” tambah Patrick.

Ia mengatakan kaget bahwa berita itu kemudian dituduh sebagai konten hoaks.

“Kalau itu hoaks, saya mau pelapor itu bisa menunjukkan bagian mana dari berita itu yang dikatakan hoaks?” katanya.

Sementara terkait penyuntingan judul dan isi berita tentang penghadangan mobil Kapolres Nagekeo, kata dia, sampai saat ini ia tidak mengetahui editor di medianya yang mengeditnya.

Dari penelusuran Floresa, beritanya yang dimuat di jaringan media Tribun, termasuk Kupang.tribunnews.com itu memang telah direvisi dengan menghilangkan bagian yang menyebut Suku Nataia. Namun, redaksi tidak memberikan informasi apapun terkait alasan revisi tersebut.

Dibantah Dewan Pers

Patrick mengatakan, penyidik memberitahunya pada 15 Juni bahwa ia diperiksa setelah Polres Nagekeo melakukan koordinasi dan mendapat rekomendasi dari Dewan Pers.

Namun, klaim polisi tersebut berbeda dengan pernyataan Hendrayana, staf Komisi Hukum Dewan Pers yang dikonfirmasi Floresa.

Menurutnya, Polres Nagekeo belum pernah berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait sengketa berita yang dipersoalkan Ketua Suku Nataia, juga penyuntingan judul dan isi berita itu.

“Kasus pemberitaan yang masuk ke Dewan Pers terkait berita pasar,” katanya pada Sabtu, 17 Juni, merujuk ke laporan polisi terkait berita tentang aset Pasar Danga.

Koordinasi kasus pemberitaan tersebut, kata dia, sesuai Nota Kesepahataman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri pada 2017, di mana Polri melibatkan Dewan Pers dalam penanganan kasus terkait sengketa pers.

Tetapi, lanjut Hendrayana, “untuk BAP keterangan ahli pers, belum ada permintaan [dari Polres Nagekeo].”

Profesionalisme Penyidik Patut Dipertanyakan

Polres Nagekeo tidak merespon permintaan wawancara Floresa. Kasat Reskrim Polres Nagekeo, Iptu Rifai yang dihubungi sejak Jumat, 16 Juni tidak membalas pesan WhatsApp, meski telah membacanya.

Sementara itu, Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mempertanyakan profesionalisme penyidik Polres Nagekeo dalam kasus ini.

Ia mengatakan, sesuai mekanisme di Undang-Undang Pers, jika ada orang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, langkah yang diambil adalah meminta hak jawab dan/atau hak koreksi atau melaporkan beritanya ke Dewan Pers.

“Nanti Dewan Pers yang akan memutuskan apakah ini sebagai karya jurnalistik atau bukan,” katanya.

“Ketika dikategorikan karya jurnalistik, maka diselesaikan sesuai mekanisme Undang-Undang Pers. Selesainya di Dewan Pers, bukan di kepolisian,” tambahnya.

Polisi, kata Sasmito, wajib berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait pemberitaan yang dilaporkan oleh masyarakat.

“Kalau polisi memproses laporan tersebut tanpa berkoordinasi dengan Dewan Pers, maka patut diduga penyidik dari Polres Nagekeo ini tidak profesional karena ada MoU antara Kapolri dengan Dewan Pers, termasuk juga perjanjian kerja sama antara Bareskrim dengan Dewan pers,” ujarnya.

“Ini perlu dihentikan, harus diselesaikan di Dewan Pers atau melalui hak jawab atau hak koreksi, bukan kemudian ditindaklanjuti polisi,” katanya.

Sementara itu, Gema Gita Persada, pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Pers menyoroti proses pemanggilan Patrick yang menyalahi ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana [KUHAP].

Jika merujuk pada kronologi di mana polisi memberikan surat panggilan satu hari sebelum pemeriksaan, kata dia, hal itu melanggar KUHAP pasal 112 ayat [1] yang menyatakan bahwa panggilan pemeriksaan harus diberikan dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar.

Ketentuan tersebut, kata dia, juga dipertegas dalam pasal 227 ayat [1] yang berbunyi: “Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.”

“Jadi, seharusnya surat panggilan tersebut setidaknya diberikan tiga hari sebelum waktu pemeriksaan yang dijadwalkan,” katanya.

Ia juga memberi catatan terkait terkait surat panggilan yang tidak diberikan langsung kepada Patrick. Menurut Patrick, surat itu diterima oleh ipar atau saudara dari istrinya.

Hal itu, jelas Gema, melanggar KUHAP pasal 227 ayat [2] yang mengatur bahwa “Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda tangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani, maka petugas harus mencatat alasannya.”

“Dalam kasus Patrick ini, pihak kepolisian selain tidak mengerti bahwa seharusnya mereka tidak menerima dan/atau memproses lebih lanjut laporan yang bersangkutan tanpa tanpa terlebih dahulu dirujuk ke Dewan Pers, kepolisian juga melakukan berbagai pelanggaran hukum acara pada proses pemanggilan serta pemeriksaannya,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga