BerandaKoLiterAksiBERITASoal Gaji Guru Komite...

Soal Gaji Guru Komite yang Tidak Dibayar dan Sengkarut Pengelolaan Sekolah Katolik antara Gereja dan Pemerintah Daerah

Ada konflik kewenangan antara Yayasan yang menaungi Sekolah Katolik dengan pemerintah daerah, yang merembet ke banyak soal, termasuk pengangkatan kepala sekolah

Floresa.co – Tudingan terhadap Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai [Sukma] yang tidak membayar gaji guru komite di sebuah Sekolah Dasar Katolik [SDK] tidak bisa dilihat terpisah dari isu terkait status dan pengelolaan sekolah dan relasi antara institusi Gereja Katolik dengan Pemerintah Daerah..

Polemik ini mencuat usai munculnya berita di beberapa media baru-baru ini yang menuding Yayasan milik Keuskupan Ruteng itu mengabaikan kewajibannya membayar gaji guru komite.

“Tipu-Tipu Yasukma Ruteng ke Guru Komite di SDK, Bupati Nabit: Yayasan Lain di Manggarai Selalu Bayar Sesuai SK”, demikian laporan media Infopertama.com.

Sementara itu, media lainnya, Terbitindo.com menulis “Yayasan SUKMA Diduga Tak Bayar Gaji Guru Komite Ruteng IV.”

Media tersebut mengklaim mewawancarai guru itu yang “mengeluh dan pertanyakan sikap” Yayasan Sukma karena tidak membayar gajinya, kendati semua peserta didik sekolah tersebut sudah menjalankan kewajiban membayar iuran bulanan sebesar Rp2.000 per siswa atau Rp24.000 per tahun.

Pemberitaan dua media tersebut telah memicu protes dari Yayasan Sukma, serta klarifikasi dari pemerintah daerah.

Infopertama.com memuat klarifikasi dari Pemerintah Kabupaten Manggarai yang mengatakan bahwa kata tipu-tipu Yasukma Ruteng tidak berasal dari Bupati Nabit, tetapi merupakan opini penulis berita.

Media tersebut juga mengakui bahwa wartawannya telah melanggar kode etik jurnalistik tentang pencampuran fakta dan opini, asas praduga tak bersalah dan  menulis berita yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bohong, dan bersifat fitnah.

Sementara itu, guru di SDK Ruteng IV yang ditulis oleh Terbitindo.com mengaku tidak pernah memberikan pernyataan kepada media tersebut dan tidak menunjukkan SK-nya.

“Sejauh ini tidak pernah, SK selalu saya pegang sendiri,” ungkap guru tersebut dalam sebuah rekaman suara yang diperoleh Floresa.

Sementara itu, Kepala Sekolah SDK Ruteng IV tidak merespon permintaan Floresa untuk wawancara.

Status SDK

Yayasan Sukma telah mengklarifikasi masalah ini, mengklaim bahwa meskipun SK pengangkatan guru itu ditandatangani Ketua Yayasan, namun kewajiban untuk membayar gajinya merupakan urusan sekolah.

Dalam pernyataan kepada Floresa merespons berita di Infopratama.com, Romo Edi Menori, mantan Ketua Yayasan Sukma menjelaskan, “sangat menyesal dengan wartawan yang tidak terlebih dahulu mengklarifikasi” ke pengurus dan pegawai Yayasan.

Imam tersebut memang sudah mengakhiri masa tugasnya sejak 1 Juni, namun ia merasa tetap bertanggung jawab atas masalah ini karena terjadi selama masa kepemimpinannya.

“Saya yakin bila wartawan mendapat penjelasan dari saya atau pegawai Yayasan Sukma, tentu isi beritanya akan lebih arif dan memperlihatkan pemahaman wartawan yang komprehensif tentang tanggung jawab terhadap pendidikan anak bangsa dan sejumlah regulasi di bidang pendidikan, termasuk aturan dana BOSP [Bantuan Operasional Satuan Pendidikan],” katanya.

Romo Edi menjelaskan, wewenang Yayasan dalam pengangkatan guru di SDK di Manggarai sebetulnya hanya “secara administrasi, yaitu mengeluarkan SK.”

“SK yang dibuat tentu ikut aturan yang berlaku supaya keberadaan guru diakui dan masuk dalam Dapodik [Data Pokok Pendidik],” katanya.

Ia menjelaskan, SK diterbitkan Yayasan untuk keabsahan status guru, mengingat pengangkatan guru merupakan kewenangan penyelenggara, bukan satuan pendidikan atau sekolah.

“Bila Yayasan tidak mengeluarkan SK untuk guru maka status guru tidak diakui dan tidak terdaftar dalam Dapodik. Konsekuensi lanjutannya bakal mengorbankan sekolah. Sekolah bisa dibubarkan,” kata Romo Edi.

Ia mengakui memang banyak pihak yang membayangkan keberadaan SDK di Manggarai seperti sekolah swasta umumnya, di mana seratus persen berada dalam kewenangan Yayasan, sehingga Yayasan bisa memungut biaya pendidikan untuk menggaji guru.

“Kondisi SDK di Manggarai sedikit unik. Sekolahnya milik Yayasan Sukma, tetapi pengelolaan sekolah sepenuhnya mandiri dan otonom di tingkat sekolah,” katanya.

Ia menjelaskan, situasi seperti ini terjadi karena kendati Yayasan Sukma adalah pemilik yang sah dari semua SDK namun belum mampu menggaji guru-guru karena tidak memiliki pemasukan dari pungutan biaya sekolah siswa.

“Biaya gaji yang tertulis pada SK itu ditentukan oleh sekolah, karena sekolah yang paling tahu kemampuannya,” katanya.

Ia menyebut, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 42 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar dalam pasal 6 memang membolehkan penyelenggara melakukan pungutan dari masyarakat.

Namun, hingga kini, kata dia, Yayasan belum membuat penetapan pungutan biaya pendidikan di SDK untuk menggaji guru dan pegawai.

Ia mengatatakan, praktik yang terjadi selama ini sekolah menggunakan dana BOSP.

“Petunjuk teknis dana BOSP memungkinkan untuk itu dan ditambah dana bantuan dari komite sekolah,” katanya.

Sementara perihal pungutan bulanan Yayasan sebesar Rp2.000 per siswa, kata dia, bukan untuk gaji guru, tetapi digunakan untuk biaya administrasi di kantor Yayasan dan program kunjungan dan pelatihan di sekolah-sekolah.

Mans Gage, staf Yayasan Sukma mengatakan, ide dari pungutan tersebut sebetulnya adalah akan dikembalikan ke sekolah untuk program-program peningkatan mutu  dan bantuan-bantuan tertentu.

“Saat ini memang tidak semua sekolah membayarnya. Tahun ini baru 32 persen. Yang jelas bahwa dananya tetap ada di Yayasan,” katanya.

Ia mengatakan, dana Rp2.000 per siswa itu “memang tidak mungkin cukup untuk membiayai gaji guru.”

Persoalan Dana BOSP

Polemik pembayaran gaji guru di sekolah itu bermula dari masalah penyaluran dana BOSP.

Saat ini, 16 SDK di Manggarai yang belum mendapat dana BOSP, di mana 12 di antaranya baru akan mendapatnya pada Agustus. Salah satu dari 12 SDK itu adalah SDK Ruteng IV.

Sementara empat sekolah lainnya, SDK Kedindi, SDK Ruis, SDK Wae Kajong, dan SDK Lamba tidak akan mendapatnya karena keterlambatan melengkapi syarat administratif.

Frans Gero, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga [PPO] Kabupaten Manggarai mengatakan, terkait masalah SDK yang tidak mendapat dana BOSP itu, “urusan pemerintah sudah selesai.”

Ia mengatakan, dinas sudah mengadakan  rapat bersama dengan Yayasan Sukma dan 16 SDK, yang diwakili oleh kepala sekolah, bendahara dan operator.

“Kami sampaikan sesuai aturan [bahwa] SDK yang tidak dana BOSP menjadi tanggung jawab penyelenggar,  dalam hal ini Yayasan Sukma. Kami sudah sampaikan itu ke Yayasan Sukma dan 4 SDK tersebut,” katanya kepada Floresa.

Frans merujuk pada Pasal 66 ayat 2 Permendikbud No. 63/2023 yang menyatakan bahwa biaya operasional bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat, yang tidak ditetapkan sebagai penerima dan atau tidak menerima dana BOSP,  menjadi tanggung jawab badan hukum penyelenggara.

“Baca saja juknis BOSP,  apa yang menjadi tanggung jawab pemerintahan, apa yang menjadi tanggung jawab penyelenggara. Jangan tunggu orang lain beritahu tugas dan tanggung jawab pemilik sekolah. Kami bertugas sosialisasi ke sekolah-sekolah,” katanya.

Mans Gage dari Yayasan Sukma mengatakan kepada Floresa bahwa ia mewakili Yayasan Sukma dalam pertemuan di Dinas PPO pada 20 Juni.

Dalam pertemuan itu, kata dia, ia memberi catatan kritis bahwa selama ini dalam pengelolaan dana BOSP dinas berhubungan langsung dengan sekolah dan laporannya juga melalui dinas, lalu ke pemerintah pusat.

“Prosesnya tidak melibatkan atau berurusan dengan Yayasan. Saya katakan, mengapa saat ada masalah baru melibatkan Yayasan,” katanya.

Ia menjelaskan, kalau sekolah tidak paham atau lalai dalam pengelolaan dana BOSP, masalahnya adalah bisa karena belum disosialisasikan atau proses sosialisasinya belum efektif.

Meski demikian, kata Mans, Yayasan  tetap memiliki tanggung jawab atas penggunaan dana tersebut di SDK kepala sekolah di sekolah swasta melaksanakan visi Yayasan dan bertanggung jawab kepada Yayasan.

Ia mengatakan, Yayasan  akan memanggil 16 kepala sekolah yang bermasalah dengan dana BOSP itu.

Sementara untuk empat sekolah yang tidak mendapat dana BOSP secara permanen, kata dia, Yayasan akan mengadakan rapat untuk mencari solusinya.

Perihal pernyataan Yayasan Sukma bahwa mereka hanya dilibatkan pemerintah dalam pengelolaan BOSP ketika ada masalah, Frans merespons: “setiap orang bebas berargumentasi.”

“Pada akhirnya setiap pihak bertanggung jawab sesuai ketentuan yang tertulis di juknis dan pemerintah [daerah] sudah berjuang sampai ke Kementerian Pendidikan,” katanya.

Tata Kelola

Situasi  seperti saat ini, di mana Yayasan tidak sepenuhnya memegang kendali terhadap sekolah miliknya, dan ada upaya saling menyalahkan, menjadi indikasi menguatnya konflik terkait kewenangan dalam pengelolaan sekolah Katolik..

Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM, Ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik [MNPK], wadah koordinasi bagi Lembaga Pendidikan Katolik di Indonesia menjelaskan, situasi  seperti ini sebetulnya tidak hanya terjadi Manggarai, tetapi juga di tempat-tempat lain di NTT dan sebagian wilayah lainnya di Indonesia bagian timur.

Ia mengatakan, hal seperti terjadi karena  “meski secara hukum sekolah milik Yayasan, tapi untuk bisa bertahan dari segi finansial, maka pemerintah berperan penting.”

Ia mengakui bahwa masalah terkait kewenangan ini memicu banyak soal, termasuk pengangkatan para kepala sekolah, yang kadang-kadang sarat dengan  kepentingan politik.

“Di Yayasan-yayasan lainnya, pengangkatan kepala sekolah adalah kewenangan penuh Yayasan. Tetapi dalam konteks di banyak tempat NTT, peran dan campur tangan pemerintah daerah amat besar,” katanya.

Ia mengatakan, pihaknya memang selalu mendorong upaya mencari jalan tengah, di mana ada koordinasi dan komunikasi yang baik antara Yayasan dengan pemerintah daerah.

“Untuk di wilayah Flores-Lembata, kami pernah menggelar Konferensi Sekolah-sekolah Katolik pada 2019 di Labuan Bajo. Di situ kami undang juga perwakilan dari dinas-dinas pendidikan untuk duduk bersama membahas soal-soal seperti ini,” katanya.

Ia berharap, pemerintah menyadari betul bahwa sekolah-sekolah swasta, termasuk Sekolah Katolik, adalah mitra dalam upaya mencerdaskan bangsa yang menjadi tugas utama negara.

“Dalam konteks ini, keberadaan sekolah swasta adalah bagian dari upaya membantu negara memenuhi tanggung jawabnya. Jadi, pemerintah tidak bisa lepas tangan, sekaligus mengabaikan peran swasta,” katanya.

Ia juga memberi catatan bahwa secara historis, sejak dahulu sekolah-sekolah milik Gereja Katolik telah hadir di wilayah-wilayah, yang bahkan belum dijangkau oleh pemerintah.

“Jadi, aspek-aspek ini baik juga jadi perhatian pemerintah,” katanya.

Senada dengan itu, Romo Edi, yang saat ini masih sebagai salah satu anggota Presidium MNPK, mengatakan, “andaikan saja swasta tidak ikut membangun sekolah, maka banyak anak yang ditelantarkan karena tidak mengenyam pendidikan.”

“Bila ini terjadi berarti negara melanggar hak asasi manusia, mengingat hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan salah satu hak asasi,” katanya.

Ia mengatakan, sudah semestinya negara, lebih khusus Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai bersyukur dengan kehadiran SDK “karena telah mengambil sebagian dari tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Upaya Pembenahan

Dalam beberapa tahun terakhir, Yayasan Sukma telah melakukan beberapa upaya terobosan untuk pembenahan. 

Dengan jumlah sekolah yang ratusan, salah satu yang telah ditempuh Yayasan adalah melakukan pemekaran menjadi tiga, mengikuti wilayah kabupaten.

Dari total 302 SD-SMA Katolik yang sebelumnya berada di bawah satu Yayasan, kini hanya 96 yang masih di bawah Yayasan Sukma, sementara 112 di bawah Yayasan Sukma Manggarai Timur dan 94 di bawah Yayasan Sukma Manggarai Barat.

Di samping itu, kata Romo Edi, hal yang ia sudah mulai saat masa kepemimpinannya adalah upaya pengelolaan semua SDK secara terpusat.

“Dengan demikian, Yayasan tidak hanya secara administrasi mengangkat guru, tetapi juga menggaji guru yang diangkatnya,” katanya.

Pengelolaan terpusat, kata dia, juga membuat kebebasan sekolah dan komite untuk mengangkat guru bisa diakhiri. 

“Itu artinya guru-guru yang direkrut Yayasan memenuhi standar kualitas yang mumpuni,” katanya.

“Perubahan seperti ini bakal meningkatkan kualitas pendidikan di Manggarai,” kata Romo Edi, sambil menambahkan upaya ini memang masih berproses, yang kini menjadi bagian dari tanggung jawab penerusnya.

Mans Gage mengatakan, dengan pengelolaan terpusat, maka Yayasan bisa mengontrol pengelolaan dana di sekolah-sekolah, termasuk dana BOSP.

“Kami misalnya bisa mengecek juga masalah-masalah yang terjadi dalam pengelolaan dana maupun pelaporannya, agar kasus seperti yang menimpa empat SDK saat ini tidak terulang lagi,” katanya.

Ide lain, kata dia, adalah Yayasan akan meminta sekolah membuat Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah [RKAS] dan disahkan Yayasan agar “seluruh pelaksanaan kegiatan di sekolah diketahui Yayasan dan pengelolaan keuangan di sekolah transparan.”

Mans juga menyebut langkah untuk mengevaluasi kembali proses pengangkatan kepala sekolah di SDK agar tunduk pada regulasi, khususnya Permendikbud Ristek Nomor 40 tahun 2021 yang antara lain menegaskan tentang kewenangan Yayasan mengangkat kepala sekolah.

“Praktik selama ini, semua kepala sekolah di SDK diangkat oleh bupati meskipun SK-nya dalam bentuk kolektif, tanpa dibubuhi tanda tangan,” katanya.

Soal lain dalam pengangkatan kepala sekolah, kata dia, meski di dalam SK  disebutkan bahwa tunjangan diberikan sesuai kepangkatan, umumnya antara Rp450.000-500.000, kenyataannya yang diterima para kepala sekolah SDK hanya Rp110.000.

“Perubahan ini tanpa klausul khusus untuk menjelaskannya,” katanya.

Penempatan guru berstatus Aparatur Sipil Negara [ASN] yang diperbantukan ke sekolah-sekolah swasta, kata dia, menjadi poin lain untuk pembenahan.

“Yang kami dorong adalah penempatan berbasis kebutuhan. Jadi guru-guru yang diperbantukan betul-betul karena dibutuhkan, tidak asal-asalan saja,” kata Mans.

Sementara itu, bagi Pastor Darmin, polemik saat ini mesti menjadi titik berangkat bagi semua pihak untuk duduk bersama melakukan pembenahan, mengevaluasi apa yang selama ini menjadi soal.

“Bagaimanapun, pembenahan tata kelola ini menjadi isu penting demi memastikan masa depan yang baik bagi pendidikan anak-anak kita,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga