Floresa.co – Pengacara Nikodemus Manao, tokoh adat Pubabu-Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang menghadapi dakwaan terkait penganiayaan terhadap Bernadus Seran, petugas Dinas Peternakan NTT mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam sidang yang kini sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Soe.
Salah satu yang disorot adalah terkait ketidakhadiran berulang kali saksi utama yang memberatkan Niko.
Victor Emanuel Manbait, pengacara Niko mengatakan, saksi Soleman Tobe tercatat sudah empat kali tidak menghadiri sidang, termasuk dalam sidang terakhir pada Senin, 3 Juli 2023.
Sebelumnya, kata dia, dalam sidang dengan agenda pemeriksaan Niko dan saksi Daud Selan — orang yang dalam dakwaan disebut telah menyelamatkan korban Bernadus Seran —, Jaksa Penuntut Umum [JPU] juga tidak mampu menghadirkan Soleman.
“Lagi dan lagi, di hadapan persidangan, JPU menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa saksi Soleman Tobe sudah dipanggil, namun tidak dapat hadir di persidangan karena sudah pergi merantau mencari pekerjaan,” kata Victor dalam pernyataan yang dikirim kepada Floresa, Kamis 6 Juli.
Alasan itu, kata dia, disertai surat keterangan dari kepala desa yang menyatakan bahwa Soleman tidak lagi berada di desanya.
Namun, jelas Victor, “tidak dijelaskan sejak kapan ia tidak berada di desa tersebut.”
“Surat keterangan desa juga tidak mencantumkan identitas kependudukan dengan jelas, tidak ada NIK atau setidaknya catatan dalam buku induk kependudukan desa,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, belum jelas apakah Soleman Tobe yang dimaksud adalah orang yang memang berada di lokasi kejadian pada saat kejadian atau bukan.
Niko adalah tokoh adat Pubabu-Besipae yang selama ini berjuang di garis depan mempertahankan hak komunitas adatnya dalam konflik lahan dengan Pemerintah Provinsi NTT.
Ia ditangkap pada Februari 2023 oleh aparat gabungan dari Polda NTT dan Polres TTS, terkait dengan dugaan pengeroyokan yang terjadi pada 19 Oktober 2022 terhadap Bernadus Seran dan rekannya, sehari sebelum penggusuran belasan rumah warga Besipae.
Ketika itu, Bernadus dan rekannya mengantar surat kepada warga, meminta mereka untuk meninggalkan lahan konflik.
Bernadus menjadi sasaran amukan warga yang sedang berkumpul membahas sikap menghadapi rencana penggusuran.
Niko kemudian dituding sebagai pelaku dan diamankan pada Senin, 13 Februari.
Alasan yang Mengada-ada
Victor mengungkap kejanggalan lain dalam sidang itu, yakni terkait JPU yang justru mengajukan Berita Acara Pemeriksaan [BAP] Soleman yang kemudian dibacakan dalam sidang.
Viktor mengatakan, ia telah menyampaikan keberatan dalam sidang itu dan menyatakan bahwa sesuai KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti harus disampaikan di depan persidangan dan di bawah sumpah, bukan dalam BAP.
“Kehadiran saksi sangat penting agar keterangannya dapat diuji untuk mengungkap kebenaran materiil,” katanya.
Kendati demikian, kata dia, Majelis Hakim kemudian hanya meminta Panitera Sidang untuk mencatat keberatannya dan tetap membolehkan JPU membacakan BAP Soleman, yang kemudian disanggah semua oleh Niko karena isinya dinilai tidak benar.
Viktor menyatakan, pada setiap persidangan, JPU sepertinya berusaha untuk menghilangkan fakta-fakta lapangan, seperti tidak melibatkan pemilik rumah Simon Petrus Sae dan Yuliana Lete yang dikunjungi oleh Bernadus Seran dan Soleman Tobe saat mereka mengantarkan surat untuk menjadi saksi.
“Selain itu, JPU juga tidak menghadirkan Daud Selan sebagai saksi dari Bernadus Seran, padahal Daud Selan adalah orang pertama yang mengetahui bahwa Bernadus Seran terluka dan membawanya ke rumah untuk mendapatkan perawatan dan tertulis dalam dakwaan JPU,” katanya.
JPU, kata dia, justru melibatkan saksi-saksi yang tidak berada di lokasi kejadian, “tetapi hanya sebatas saksi ‘mendengar’ cerita.”
“Jadi, JPU hanya menggunakan keterangan Bernadus Seran [korban] dan ‘saksi mendengar’ untuk disimpulkan secara subyektif bahwa Nikodemus Manao adalah pelakunya,” ujarnya.
Ia menduga JPU takut dan akan terjebak jika melibatkan Simon Petrus Sae, Yuliana Lete dan Daud Selan sebagai saksi “karena mereka akan mengungkapkan kebenaran bahwa Nikodemus Manao bukan pelakunya.”
Diminta Berhenti Berjuang Terkait Masalah Lahan Pubabu
Ia juga mengatakan, dalam sidang itu, Niko juga mengungkapkan fakta-fakta saat ia ditahan, di mana petugas lapas atas nama Niko Asbanu memintanya menandatangani surat yang menyatakan bahwa setelah keluar dari penjara ia harus berhenti berjuang mempertahankan hak atas hutan Pubabu/Besipae.
Niko, kata, juga mengungkapkan dalam sidang itu bahwa ia diminta oleh penyidik di Polres TTS untuk menandatangani BAP tanpa mengetahui seluruh isinya.
“Setelah tanda tangan BAP di Polres TTS dan saat akan kembali ke sel tahanan, Nikodemus Manao diarahkan untuk tunduk oleh penyidik bernama Yandri Tlonaen, karena ada banyak wartawan di luar,” ujar Viktor.
Dalam sidang itu juga, lanjut Viktor, kliennya juga membantah isi BAP yang menyatakan bahwa ia menolak didampingi oleh penasehat hukum.
“Kenyataannya, Nikodemus Manao tidak pernah mengatakan hal tersebut. Selain itu, Nikodemus Manao juga tidak dibacakan hak-haknya sebagai terdakwa dan tidak diberitahu mengenai kesalahan yang dilakukannya serta pasal-pasal yang menjeratnya,” katanya.
Victor mensinyalir “adanya pelanggaran prosedur hukum dan pelanggaran HAM yang serius.”
“Langkah-langkah seperti meminta penandatanganan BAP tanpa pemahaman penuh, tekanan terhadap terdakwa, manipulasi isi BAP, dan ketidakpenuhan dalam memberikan informasi dasar kepada terdakwa melanggar prinsip keadilan dan mengancam integritas proses hukum,” tambah Viktor.
Ia mengatakan kejanggalan lain yang terungkap dalam sidang itu adalah BAP Niko merupakan hasil ‘copy paste,’ karena tiba-tiba ada keterangan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kasusnya, yakni “tersangka yang menerangkan bahwa benar tersangka mengambil uang angsuran dari para konsumen PT IVARO VENTURA cabang SOE.”
Hal tersebut, kata dia, jelas menunjukkan bahwa “ada upaya manipulasi berkas BAP yang didesain untuk mencari dan menambah-nambah kesalahan untuk menjebloskan Nikodemus ke dalam penjara.”
Kemudian, katanya, pada sidang lanjutan pemeriksaan saksi Daud Selan, dijelaskan dalam dakwaan JPU bahwa Daud menyelamatkan Bernadus dengan menarik tangan korban keluar dari kerumunan orang yang mengelilinginya.
“Keterangan ini dibantah oleh saksi Daud Selan yang menyatakan bahwa keterangan tersebut tidak benar,” katanya.
“Daud Selan menjelaskan bahwa ia menemukan Bernadus Seran di pinggir jalan ketika sedang menuju rumah Simon Petrus Sae.”
Fakta-fakta dalam persidangan itu, kata dia, semakin memperlihatkan bahwa “Nikodemus Manao menjadi korban dari kepentingan pemerintahan yang anti rakyat dengan tiada henti memukul mundur perjuangan rakyat yang telah lama mempertahankan hutan Pubabu-Besipae.”
Konflik yang Belum Usai
Persidangan yang dijalani Niko menambah pelim konflik antara warga adat Pubabu-Besipae dengan Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut sejumlah dokumen yang diakses Floresa.co, ditarik ke belakang, polemik ini terjadi sejak 1982 ketika Pemprov NTT membangun kesepakatan dengan mereka untuk proyek percontohan Intensifikasi Peternakan, bekerja sama dengan Pemerintah Australia.
Pada saat itu, karena luas hutan adat Pubabu yang hanya 2.671,4 hektare, para tetua adat setempat sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan, sehingga luas tanah yang dialokasikan untuk proyek tersebut menjadi 6.000 hektar.
Dalam prosesnya, setelah proyek itu tidak dilanjutkan, pemerintah provinsi memperkenalkan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan [Gerhan] di atas lahan 6.000 hektar tersebut, dengan skema Hak Guna Usaha [HGU] yang berlangsung dari 1988 hingga 2008.
Namun, selama proses ini, pada tahun 1995 pemerintah mengubah status hutan adat Pubabu-Besipae menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.
Dentang tahun 2003 hingga 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS juga juga melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare.
Karena rangkaian kebijakan tersebut, pada tahun 2008 masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan.
Di tengah penolakan warga, pada April 2008, pemerintah melalui sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan TTS kembali membabat sebagian wilayah hutan di Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan.
Aksi pembabatan hutan sepihak ini selanjutnya dilaporkan oleh masyarakat adat ke Komnas HAM pada 2009.
Dua tahun kemudian, Komnas HAM mengeluarkan surat himbauan agar menjaga situasi aman dan kondusif dan menghindari intimidasi terhadap warga sampai adanya solusi masalah tersebut.
Kendati gelombang protes terus terjadi. Pada Oktober 2012 pemerintah dituding mengkriminalisasi 17 masyarakat adat, di mana mereka dijebloskan ke dalam tahanan untuk beberapa bulan.
Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat yang meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan pertanian yang telah dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang kontraknya telah berakhir pada 2012.
Alih-alih menanggapi gelombang desakan masyarakat ini, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektar.
Sertifikat inilah yang diklaim Pemprov NTT sebagai dasar atas penguasaan hutan adat saat ini, yang membuat konflik dengan warga terus memanas.
Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam beberapa tahun terakhir Pemprov NTT berulang kali melakukan penggusuran terhadap pemukiman warga.
Penggusuran terakhir pada 20 Oktober 2022, sehari sebelum kasus dugaan penganiyaan yang dituduhkan kepada Nikodemus, tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.