“Dragon for Sale” Buka Wawasan Pelajar di Flores tentang Kontradiksi Industri Pariwisata di Labuan Bajo

Para pelajar menonton film ini dalam rangka peringatan HUT RI ke-78.

Baca Juga

Floresa.co – “Tersenyum dalam kesedihan,” demikian ungkapan Desto Gabur usai menonton film dokumenter “Dragon for Sale.”

Desto berada di antara 121 rekannya, sesama siswa SMA Seminari Pius XII Kisol, sekolah swasta Katolik di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang menonton film itu pada 20 Agustus.

Film itu, kata dia, mengungkap sisi lain di balik kemewahan Labuan Bajo, kota pariwisata di ujung barat Pulau Flores, yang selama ini menjadi sasaran berbagai proyek pemerintah untuk mendukung pengembangnya menjadi kota pariwisata super premium.

Menurut Desto, film itu, membantu membongkar “kisah sedih yang dialami masyarakat kecil.”

“Ada ketidakadilan sosial, di mana masyarakat yang miskin semakin miskin, sedangkan yang kaya semakin kaya,” ungkapnya.

Film itu, kata dia,”penting bagi generasi bangsa untuk memahami arti penting menjadi warga yang kritis dalam suatu negara.”

Kesan serupa disampaikan Mikael Sape, siswa kelas XII di sekolah milik Keuskupan Ruteng itu.

Ia mengatakan, film itu membantunya melihat kontradiksi dalam proses pembangunan di Labuan Bajo.

Ada fakta-fakta ketidakadilan sosial yang tidak diketahui semua orang, kata Mikael.

“Misalnya di Pulau Komodo, Wae Sano, juga di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Ada pengorbanan yang tidak seharusnya ditanggung oleh masyarakat kecil,” ungkapnya, menyinggung beberapa lokasi yang menjadi latar film itu.

Menurut Mikael, hal yang tampak dalam “Dragon for Sale” adalah efek buruk dari pembangunan bagi warga lokal.

Padahal, katanya, warga adalah tujuan dari pembangunan oleh pemerintah.

“Mereka dirampas tanahnya dengan seenaknya, mengatasnamakan aturan undang-undang dan atas nama pembangunan,” lanjutnya.

Tino Hartino, siswa kelas XI mengatakan film yang diluncurkan kepada publik pada April ini, “menggugah hati kita untuk peduli dan peka pada masalah yang ada di tengah masyarakat”.

“Film ini memunculkan pertanyaan tentang apa makna pembangunan di Labuan Bajo, apa tujuannya, siapa yang diuntungkan,” ungkapnya.

Frater Gens Genak, pendamping siswa SMA Seminari Kisol menambahkan, ia  “memberi apresiasi yang tinggi kepada tim yang telah memproduksi film ini.”

“Dari film ini, kita mengetahui fakta di balik pembangunan megah kota super premium Labuan Bajo, yang ternyata mengorbankan masyarakat, mata pencaharian, bahkan tempat tinggal mereka,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan “Dragon for Sale menjadi kekuatan bagi warga untuk semakin kritis dalam menjawab tawaran manis pemerintah dan investor yang membahayakan kehidupan masyarakat”.

Sementara itu, Romo Ferry Warman, pimpinan lembaga itu, atau yang dikenal dengan sebutan “Praeses” mengatakan ia mendukung produksi film-film kritis tentang diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang terjadi di Flores, termasuk “Dragon for Sale.”

“Film ini akan menjadi salah satu materi analisis siswa SMA Seminari Kisol untuk dibahas dalam karya ilmiah yang dipresentasikan pada peringatan Hari Pater Leo, 6 Oktober 2023,” ungkapnya.

Hari Pater Leo adalah peringatan tahunan di lembaga tersebut untuk mengenang kepergian pendirinya, Pastor Leo Perik, SVD, misionaris Belanda yang meninggal pada 6 Oktober 2004.

Puluhan kilometer ke arah barat dari Kisol, ketiga pelajar lainnya di Ruteng menyampaikan kesan serupa saat menonton bersama film itu di Rumah Baca Aksara pada 19 Agustus.

Di lokasi itu, panitia menghadirkan pembicara dari kalangan pelajar dari tiga SMA di Ruteng sebagai penanggap. 

Mereka adalah Yuta Antus dari SMAN 1 Langke Rembong, Josua Tese dari SMA Katolik Setia Bakti, dan Inka Prasasti dari SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng.

Pelajar SMA di Ruteng berbicara dalam acara nonton bersama film “Dragon for Sale” pada 19 Agustus 2023 di Rumah Baca Aksara. (Dokumentasi Rumah Baca Aksara)

Yuta Antus mengatakan “berterima kasih kepada semua orang yang telah berinisiatif memproduksi film dokumenter terbaik ini”.

“Film ini salah satunya mengangkat cerita tentang keberadaan Suku Ata Modo yang menjadi korban, dan terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah di destinasi wisata premium Labuan Bajo,” ungkapnya, menyebut suku asli di Pulau Komodo, yang terus terdesak oleh berbagai kebijakan yang meminggirkan mereka dan pada saat yang sama membuka akses bagi korporasi.

“Mereka adalah saudara kandung yang sejak lama hidup berdampingan dengan Komodo dan tidak pernah merasa terancam, justeru kebijakan konservasi pemerintah yang dapat mengancam warga Ata Modo dan Komodo,” lanjutnya.

Acara nonton bersama di Seminari Kisol dan Rumah Baca Aksara adalah bagian dari Pekan Bioskop Warga ‘Dragon for Sale,’ program yang diinisiasi oleh komunitas-komunitas di Nusa Tenggara Timur dalam rangka memeriahkan HUT RI ke-78.

Dalam pernyataan panitia penyelenggara, kegiatan ini merupakan “tanda cinta pada tanah air Indonesia”, yang salah satunya dengan “merefleksikan kondisi kehidupan bersama sebagai bangsa dan menyumbang ide-ide kritis demi pembangunan yang adil, ekologis, dan berkelanjutan.”

Rangkaian acara bioskop warga ini dibuka pada 12 Agustus di Aula Paroki Kajong, yang diinisiasi oleh pelajar SMK Negeri 1 Reok Barat dan Orang Muda Katolik Paroki Kajong.  

Pada 14 Agustus, bioskop warga juga digelar di Rumah Singgah yang diinisiasi oleh aktivis Doni Parera di Kampung Golo, Desa Nanga Labang, Borong, Manggarai Timur.

Pada 16 Agustus, dua komunitas lainnya menggelar acara serupa, yakni di Komunitas Warga Korban Gusuran Lintas Selatan Labuan Bajo, dan Komunitas KAHE Maumere, Kabupaten Sikka.

Komunitas Warga Adat Poco Leok Kabupaten Manggarai juga menggelar acara nonton bersama pada 22 Agustus.

Beberapa komunitas lainnya masih akan menyusul, yakni Himpunan Mahasiswa Manggarai Kupang pada 23 Agustus, Komunitas Warga Adat Wae Sano,  Manggarai Barat pada 24 Agustus, Komunitas Warga Adat Kampung Komodo, Manggarai Barat 26 Agustus, dan Baku Peduli Center Labuan Bajo pada 28 Agustus.

Film Dokumenter ‘Dragon for Sale’ adalah produksi kolaborasi Ekspedisi Indonesia Baru, Sunspirit for Justice and Peace dan Sahabat Flores.

Film dengan lima seri ini tidak saja mengangkat keindahan alam, tetapi juga merekam sisi gelap pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, salah satu dari destinasi yang hendak dijadikan sebagai 10 Bali Baru dan diberi label sebagai destinasi “super premium.”

Acara nonton bersama film “Dragon for Sale” pada 19 Agustus 2023 di Rumah Baca Aksara. (Dokumentasi Rumah Baca Aksara)

Sebagai salah satu dari 10 Bali Baru –  program pemerintah yang dicetuskan tahun 2016 -, Labuan Bajo, gerbang menuju Taman Nasional Komodo terus menjadi sasaran berbagai proyek pariwisata. 

Namun, wilayah di ujung barat Pulau Flores itu dengan populasi lebih dari 256.000 memiliki 17,15 persen penduduk miskin, hampir dua kali lipat dari rata-rata kemiskinan tingkat nasional 9,57, menurut data Badan Pusat Statistik. 

Kecamatan Komodo, yang wilayahnya mencakup Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo tercatat memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dari kecamatan-kecamatan lainnya.

Dalam pernyataan dari Ekspedisi Indonesia Baru, Dragon for Sale mengungkap berbagai ironi dalam pembangunan pariwisata di wilayah itu yang selama ini tak tampak di mata para turis yang berwisata ke sana. 

Beberapa di antaranya adalah tentang peminggiran warga lokal, penyangkalan hak masyarakat adat, privatisasi pantai, pencaplokan sumber daya air, pengrusakan hutan, serta penguasaan bisnis oleh aktor-aktor bisnis raksasa yang berkelindan dengan kekuasaan politik. Film ini juga menyinggung tentang kuatnya gelombang perlawanan warga untuk mempertahankan ruang hidup mereka.

Sejak pemutaran perdana pada 1 April, film ini telah tersebar di platform daring Bioskoponline.com, selain diputar di banyak tempat penyelenggaraan bioskop warga.

Selain di dalam negeri, film ini juga sudah ditonton oleh delapan universitas di Amerika Serikat pada 1 Mei.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini