BerandaREPORTASEMENDALAMBendungan yang Dibangun dengan...

Bendungan yang Dibangun dengan Dana APBN Lebih dari 20 Miliar Rusak Dua Tahun Usai Dikerjakan, Puluhan Hektar Sawah di Manggarai Timur Kekeringan

Sementara tidak ada upaya perbaikan sejak bendungan rusak parah pada awal tahun lalu, ratusan keluarga petani terancam kelaparan.

FloresaBaltasar tampak sibuk pada Senin sore, 28 Agustus.

Ia beberapa kali bolak balik ke sumur bor yang terletak sekitar 300 meter di sebelah utara sawahnya di hamparan persawahan Wae Reca, dekat Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.

“Harus cek terus ke sumur, takut airnya bocor,” katanya.

Hari itu, Baltasar kembali mengisi air ke petak-petak sawahnya setelah seminggu sebelumnya melakukan hal serupa. 

“Kalau tidak pakai cara begini [menyedot air di sumur bor], tidak bisa panen nanti,” ujarnya sembari menatap nanar padi-padi di sawahnya yang sudah mulai berbunga.

Hari semakin gelap. Sementara petak-petak sawahnya belum semuanya terisi air. 

“Ini bisa sampai jam tujuh malam baru penuh semua,” tuturnya.

Baltasar adalah salah satu petani di hamparan persawahan Wae Reca yang memilih mengairi sawahnya menggunakan air dari sumur bor yang dibangun pemerintah. 

Untuk mengisi air di sawah berukuran satu hektar itu, ia  memerlukan waktu sekitar 5 jam.

Ia juga harus merogoh kocek untuk membeli solar dan membayar operator mesin penyedot air.

Baltasar mengatakan, sebulan ia menghabiskan total Rp650 ribu memenuhi kebutuhan air di sawahnya.

“Rp250 ribu untuk membeli solar dan Rp400 ribu untuk membayar operator,” tuturnya.

Berbeda dengan Baltasar, Kristoforus Palembang [42] dan Andri Saje [30], petani lain di persawahan Wae Reca memilih untuk melepas begitu saja padi-padi mereka yang sudah berusia satu bulan.

Mereka tidak menyedot air sumur untuk mengairi sawah karena, kata Kristoforus, “berdasarkan perhitungan kami, kerugian akan lebih banyak.

Sawah milik 122 keluarga petani di Wae Reca yang kekeringan. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

“Lebih baik uang untuk beli solar dan sewa operator mesin itu kami langsung beli beras saja,” ujarnya.

Ia mengatakan persawahan Wae Reca mengering sejak seminggu setelah musim tanam kedua pada pekan pertama Agustus.

“Selama ini, kami harap air hujan. Minggu kedua Agustus sudah mulai kering karena sudah tidak ada hujan,” katanya.

Kini, kondisi tanah di petak-petak sawah Kristoforus sudah retak di banyak titik, hal yang menurutnya “sangat sulit untuk cepat menampung air”, kecuali kalau dalam volume yang besar.

“Ketika kondisinya sudah begini, kalau mau isi air yang disedot dari sumur itu bisa dua sampai tiga hari baru bisa penuh,” kata petani yang memiliki sawah berukuran sepereempat hektar itu.

Bendungan Rusak Sejak Awal 2022

Kekeringan yang melanda persawahan Wae Reca dipicu oleh bendungan yang rusak karena hantaman banjir pada awal tahun lalu, kata Simplisius Abi Wagut, Kepala Desa Nanga Labang.

Sejak bencana itu, kata dia, air tidak mengalir lagi ke saluran irigasi menuju lokasi persawahan Wae Reca.

“Ada 122 petani dengan total luas 82 hektar sawah yang terdampak,” katanya kepada Floresa.

Kendati sudah dilapor berkali-kali ke pemerintah, lanjutnya, tetapi hingga kini belum ditindaklanjuti.

“Saya lapor ke Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] Manggarai Timur, beliau bilang akan segera mengecek,” katanya.

“Tetapi, sampai saat ini tidak ada realisasi. Selain itu juga, saat Musrebang 2023 saya sampaikan langsung, juga belum ditanggapi.”

Simplisius mengatakan, selain para petani, kerusakan bendungan itu juga berdampak pada kehilangan pekerjaan bagi ratusan buruh tani yang selama ini menggantungkan hidup di persawahan Wae Reca.

Kondisi bendungan yang jebol. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Sementara itu, Ferdinandus Mbembok, Sekretaris Dinas PUPR Manggarai Timur mengatakan irigasi Wae Reca bukan kewenangan pemerintah kabupaten, tetapi domain Balai Wilayah Sungai Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Kami akan melakukan koordinasi dengan menyurati pihak Balai Wilayah Sungai terkait bendungan yang rusak itu,” katanya.

Bendungan Wae Reca, bagian dari Daerah Irigasi Wae Dingin, dikerjakan pada 2020. Proyek ini menghabisakan dana Rp20.367.809.000 dari Anggaran dan Perbelanjaan Negara [APBN].

Dikerjakan oleh PT Permata Maju Jaya yang beralamat di Jakarta Selatan, bendungan ini langsung mengalami kerusakan pertama pada 2021.

“Waktu itu kerusakannya juga karena banjir dan langsung diperbaiki oleh perusahaan,” kata Simplisius.

Beberapa bulan usai diperbaiki, tembok penahan air setebal sekitar dua meter dengan tinggi sekitar tiga meter yang memotong Sungai Wae Reca jebol akibat derasnya arus banjir.

“Kerusakan kedua ini yang paling parah dan dibiarkan begitu saja hingga sekarang,” katanya.

Berharap Pemerintah Segera Respons

Andri mengatakan, pada musim tanam kedua tahun 2022, mereka memanfaatkan air sisa dari area persawahan yang ada di Mondo, wilayah perbukitan di bagian utara hamparan persawahan Wae Reca.

“Tahun lalu, air sisa dari atas volumenya cukup besar karena belum banyak pembukaan sawah-sawah baru,” katanya.

Sekarang, lanjut Andri, “sudah banyak pembukaan lahan persawahan baru di wilayah Mondo, sehingga volume air sisa yang mengalir ke area persawahan Wae Reca sangat kecil.”

“Selain itu, tahun lalu itu, intensitas hujan pada bulan Agustus-September cukup tinggi, sehingga padi masih bisa bertahan sampai panen walaupun produktivitasnya sangat rendah,” ujarnya.

Andri berharap pemerintah segera merespons masalah ini, karena berdampak besar bagi kehidupan keluarga petani di Wae Reca.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga