Mama-Mama di Pasar Mbongawani Ende: Lapak di Pinggir Jalan dengan Pendapatan Pas-pasan, Tiap Hari Dituntut Beri Setoran

Saban hari berjualan di pinggir jalan di daerah Pasar Mbongawani, cara mama-mama ini menghidupi keluarga

Baca Juga

Floresa.co – Matahari menyengat kulit pada Sabtu siang, 9 September 2023. Suasana di Pasar Mbongawani Ende sangat ramai saat itu. 

Kendaraan dan manusia berdempet-dempetan. Sementara bau busuk limbah-limbah sayur dan ikan menusuk hidung.

Seorang perempuan paruh baya tampak tengah asyik mengunyah sirih. Sesekali, perempuan yang mengenakan sarung khas Ende dipadu dengan baju berkelir biru itu menawarkan sayur-sayuran yang teronggok di depannya kepada siapa saja yang melintas.

“Sisa ini saja,” kata perempuan bernama lengkap Maria Sedo itu, sembari menunjuk sayur kol, petsai, buncis, dan beberapa buah tomat.

Maria berjualan persis di pinggir jalan di depan sebuah toko di pasar yang terletak di pusat kota Ende itu.

Ia meletakan barang jualannya di atas karung yang separuhnya dibentang di atas aspal jalan.

Ia berjualan sejak pagi. Setiap pukul dua subuh, perempuan 62 tahun itu datang ke Pasar Mbongawani dari Kampung Nuabosi, sekitar 15 kilometer arah utara kota Ende.

“Saya jualan sayur ini supaya bisa penuhi kebutuhan keluarga. bisa beli beras, beli sabun, dan biaya anak sekolah,” tuturnya.

Ia mengatakan, mulai berjualan sayur di pasar itu sejak kembali dari Malaysia setelah menjadi TKI selama tiga tahun.

Maria bersama suaminya ke Malaysia pada 1999. Saat itu, ketiga anak mereka masih kecil. Ia kemudian pulang pada 2022 karena “saya ingat anak sulung mau masuk Sekolah Dasar.”

“Sedangkan suami saya tetap bekerja di sana,” ceritanya.

Maria Sedo (berbaju hijau), bersama seorang rekannya sesama pedagang di Pasar Mbongawani Ende. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Maria mengatakan, sejak ia kembali ke kampungnya, suaminya jarang mengirimkan uang, hal yang membuatnya harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya.

“Sebagai ibu, saya terpaksa harus mencari cara untuk mendapatkan uang agar bisa menghidupi anak-anak,” katanya.

“Saya ikut orang-orang dari kampung yang biasa berjualan di pasar ini,” tambahnya.

Maria mengatakan, ia membeli sayur-sayuran dari petani, kemudian menjualnya di pasar tersebut.

Kendati tidak mendapatkan keuntungan yang besar dan enggan menyebutkan angkanya, katanya, dari hasil kerjanya itu, ia kini bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.

“Anak sulung sudah selesai kuliah,” katanya.

Di gang lain di pasar itu, Fatima, 55 tahun, juga berjualan di sisi jalan, berdampingan dengan beberapa penjual lainnya.

Perempuan berjilbab itu tampak mencolok dengan Lawo Lambu [sarung dan baju] khas Ende yang dikenakannya.

Di hadapannya berjajar berbagai jenis sayur, yang kondisinya tampak mulai layu karena sengatan matahari.

“Sejak kemarin saya datang dari Moni, pagi sekali,” ungkapnya sambil mengambil sirih pinang dan mengunyahnya.

Fatima dengan sayur jualannya di Pasar Mbongawani Ende. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Moni, sebuah wilayah yang terletak di pegunungan, berjarak 52 km sebelah timur Kota Ende, adalah pintu gerbang menuju Kawasan Wisata Taman Nasional Kelimutu, di mana terdapat danau tiga warna. Daerah tersebut memang dikenal sebagai penghasil produk pertanian, seperti sayur dan buah-buahan.

Bermalam selama satu minggu di rumah milik keluarganya di Ende, Fatima menjajakan jualannya sejak pagi hingga sore hari, berbeda dengan Maria yang hanya sampai pukul 14.00 Wita, sesuai dengan jadwal keluarnya angkutan pedesaan menuju kampungnya.

“Sayur ini saya beli dari petani di Moni, lalu dijual lagi,” ungkap Fatima.

Sambil mengerjakan kebun dan sesekali menjadi ojek, Suleman, suaminya, bersama dua orang anak angkat menunggu kepulangan Fatima di rumah.

“Nanti saya pulang lagi ke kampung setelah ada rejeki, belanja makanan dan bawa ke rumah,” ungkapnya.

Tak Dapat Lapak, Berjualan di Pinggir jalan

Di Pasar Mbongawani, banyak pedagang kecil, seperti Maria dan Fatimah, berjualan di pinggir jalan, hal yang membuat jalanan menjadi sempit dan macet.

Maria mengatakan, ia dan rekan-rekannya terpaksa berjualan di pinggir jalan karena tidak mendapat lapak di gedung pasar yang dibangun pemerintah setelah pasar lama terbakar beberapa tahun lalu.

“Sejak gedung itu terbakar, saya berjualan di sini,” katanya.

Gedung pasar baru yang dimaksud Maria merujuk pada bangunan berlantai dua yang dibangun sejak Juli 2019 dengan dana 15 miliar rupiah, dan selesai pada 2020. Ia sebelumnya berjualan di tempat tersebut selama puluhan tahun.

Maria mengatakan, setelah gedung pasar itu selesai dibangun, ia tak mendapat lapak lagi karena “terlalu banyak orang yang berjualan di sana.”

Seperti Maria, Fatimah juga membuka lapak di pinggir jalan karena tidak mendapat tempat di dalam bangunan pasar.

Situasi Pasar Mbongawani Ende. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Pendapatan Pas-pasan, Dituntut Setoran Setiap Hari

Banyaknya pedagang kecil yang berjualan sayur di pinggir jalan di Pasar Mbongawani, membuat rezeki terbagi-bagi.

Fatima mengatakan, “kalau ramai [pembeli], sehari, saya  bisa mendapatkan  200 ribu rupiah.” Pendapatan itu belum dikurangi dengan modal beli sayur dari petani dan biaya makan.

Maria juga mengatakan hal senada.  “Kadang-kadang lebih dari 100 ribu rupiah per hari, kadang juga tidak sampai,” katanya.

Di tengah kondisi pendapatan yang demikian, Maria, Fatimah dan para pedagang kecil lainnya yang berjualan di pinggir jalan di pasar itu dituntut untuk menyetor uang ke petugas setiap hari.

“Dua ribu rupiah untuk biaya kebersihan dan dua ribu rupiah untuk retribusi pasar,” kata Fatimah.

Kendati tidak memprotes pungutan itu, Fatimah mengatakan “sebaiknya pemerintah juga mengimbangi dengan menyediakan fasilitas yang layak bagi kami.”

Hal lainnya yang dikeluhkan Maria adalah persaingan yang begitu ketat di antara pedagang sayur, yang membuatnya merasa sedang “bermain teka-teki” dan “tidak tentu arah”.

Persaingan tersebut, bukan hanya antarpedagang sayur dari wilayah Ende, katanya, tetapi juga dengan para pemasok dari kabupaten lain, di antaranya Ngada dan Nagekeo.

Yulita, pedagang yang sudah 6 tahun berjualan Pasar Mbongawani Ende. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Gabriel [51], pedagang sayur lainnya yang membuka lapak di samping Maria mengkonfirmasi hal tersebut.

“Kadang-kadang kami menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga beli, sehingga kami rugi,” ungkapnya.

“Kalau tidak begitu, nanti sayurnya tidak laku dan akan dibuang, karena esok akan ada pasokan baru,” tambahnya.

Hal tersebut, kata dia, terjadi karena jumlah pembeli di pasar lebih sedikit ketimbang pasokan sayur yang “datang dari mana-mana, termasuk dari luar Kabupaten Ende”.

“Dari Bajawa, dari Mbay, semua sayur dibawa ke sini. Bahkan cabai didatangkan dari Makassar,” tambahnya.

“Kalau dari kabupaten lain tidak masuk, petani di Ende bisa hidup,” pungkasnya.

Menurut Maria, selain karena persaingan yang ketat dengan pemasok dari kabupaten lain, kurangnya pembeli di Pasar Mbongawani juga disebabkan oleh maraknya penjualan sayur menggunakan mobil pick up “dari kampung ke kampung”.

Seperti Maria, Gabriel juga berharap pemerintah membuat aturan yang menguntungkan petani sayur di Kabupaten Ende.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini