Belasan Tahun Jadi Korban Kekerasan, Perempuan di Nagekeo, Flores Laporkan Kakak Kandung ke Polisi

Perempuan 27 tahun itu dibantu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Baca Juga

Floresa.co – Butuh belasan tahun bagi seorang perempuan di Flores untuk memilih berani bersuara tentang kekerasan fisik yang dilakukan kakak kandungnya.

A, perempuan 27 tahun, warga Kabupaten Nagekeo itu memilih curhat ke media sosial Facebook, berharap ada yang bisa membantunya.

Lewat unggahan di grup “Mbay Online” pada 23 Oktober, ia menulis: “Kalau terlalu dapat kekerasan fisik ni apakah sebaiknya lapor polisi saja ka ? karena sudah terlalu lari lewat kaka ade anggap kita ini macam binatang. Sudah terlalu ulang-ulang saya kena kekerasan secara fisik dan mental saya terganggu sekali. Tolong bantu saya”

A berkata kepada Floresa, ia menulis itu karena “sudah tidak tahan dengan rasa sakit, campur amarah.”

Harapannya memang kemudian terwujud. Pesannya itu dibaca oleh Firmina Timuneno, seorang pemerhati isu perempuan.

Firmina adalah Ketua Kelompok Perlindungan Anak dan Perempuan di Desa Leguderu, Kecamatan Boawae, yang berada di bawah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak [P2TP2A] Kabupaten Nagekeo.

Firmina, kata A kepada Floresa pada 28 Oktober, “kontak saya melalui Facebook,” lalu berkomunikasi panjang lebar.

Dari komunikasi itulah, ia mendapat penjelasan bahwa kasus yang dialaminya bisa ditindaklanjuti dengan melaporkannya ke polisi.

Pada 24 Oktober, Firmina menemuinya. “Sorenya kami sama-sama lapor,” katanya.

A mengatakan, ia merupakan korban kekerasan fisik oleh kakak kandungnya sendiri sejak dia berumur 14 tahun. Mereka tinggal satu rumah bersama kedua orang tua yang sudah sepuh.

“Kakak saya itu tidak bisa kontrol emosinya. Saya sering dipukul, dikatain dengan kata-kata kasar,” katanya.

Ia mengatakan, selama belasan tahun ini bingung bagaimana cara meresponsnya.

Firmina yang dihubungi Floresa pada 31 Oktober mengakui langsung mengontak A usai membaca unggahannya di Facebook.

Ia meyakini A sedang membutuhkan bantuan, namun “sedang kebingungan.”

“[Karena itu], ia mencari solusi dengan mengangkat persoalannya ke media sosial,” katanya.

“Kebetulan saya anggota P2TP2A Kabupaten Nagekeo, saya langsung kontak dia,” tambahnya.

Firmina mengatakan, ia berkomunikasi via Facebook dengan A karena A tidak memiliki ponsel.

“Unggahan  di Facebook itu saja pakai ponsel milik orang lain,” katanya.

Ia mengatakan, sempat berkomentar di unggahan A, namun kemudian dihapus, menjaga kemungkinan akan dibaca oleh terduga pelaku.

Firmina mengatakan, setelah komunikasi dengan A, ia  berkoordinasi dengan Maria Anjelina A. Sekke Wea, Ketua P2TP2A Nagekeo.

Maria, jelasnya, menyuruhnya menemui A di kediamannya.

“Bertemu itu untuk memastikan apa benar ia mendapatkan kekerasan fisik, karena saya harus pegang bukti. Saya mau memastikan dengan mata dan kepala saya sendiri,” katanya.

Ia mengakui serba hati-hati ketika pada 24 Oktober ia berkunjung ke kediaman A supaya tidak diketahui terduga pelaku.

“Pada akhirnya, saya berhasil jemput korban. Sampai di tempat saya, saya cek badannya. Ternyata benar, ia mengalami kekerasan,” kata Firmina.

Ia mengatakan, pada bagian punggung A ada banyak memar, di kepalanya ada benjol bekas pukul.

“Di bagian lengannya ada memar. Korban akui karena dipukul pakai kursi,” katanya.

Firmina mengatakan, setelah memastikan bahwa pelakunya adalah kakak kandungnya dan A mau agar masalah ini dilapor ke polisi, ia langsung mengambil langkah.

“Karena dia bilang lapor, saya lalu mendampingi untuk lapor ke Polres Nagekeo,” katanya.

Maria Anjelina A. Sekke Wea, Ketua P2TP2A Nagekeo mengatakan, pada prinsipnya pihaknya hanya melakukan pendampingan “karena korbannya sudah dewasa,” sementara pelapornya tetap A sendiri.

“Kalau korban anak-anak, kami wajib kawal sampai proses hukum selesai, sampai pada proses pemulihan psikis dan fisik,” katanya.

Brigpol Muhamad Darmansyah, Kepala Sub Bagian Humas Polres Nagekeo mengakui telah menerima laporan kasus ini pada 24 Oktober dan “sekarang lagi proses sidik.”

Ia menjelaskan kepada Floresa, Kepala Unit Pidana Umum telah melimpahkan kasus ini ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak.

Bagi Mershinta Ramadhani, aktivis pemerhati perempuan dan anak dari Puanitas Indonesia, keberanian korban untuk bersuara dan melaporkan kasus ini ke polisi layak diapresiasi.

Dalam konteks masyarakat patriarki, seperti di Flores, katanya, kekerasan berbasis gender di ruang domestik rumah tangga, entah dalam konteks relasi suami istri, anak, saudara, memang masih dianggap sebagai urusan pribadi keluarga tersebut.

Hal ini pula, kata dia, yang membuat membuat para korban merasa susah untuk melapor ke aparat penegak hukum.

“Padahal, jika sudah mengandung kekerasan fisik, mental, verbal, itu sudah menjadi urusan semua orang karena yang dilawan bukan pelaku sebagai individu, tapi pelaku sebagai pion sistem patriarki,” katanya kepada Floresa.

Ia menjelaskan, relasi kuasa yang kuat dalam keluarga juga kerap membuat korban merasa tidak ada yang mendukungnya, bahkan meragukan apa yang dia alami, sehingga korban “tidak tahu harus mengadu kemana.”

“Rumah yang seharusnya tempat dia berlindung, malah menjadi sumber kesakitannya,” katanya.

Karena itu, ia mengapresiasi korban A dan mereka yang membantunya, yang “berani bertindak mengambil keputusan mencoba melepaskan diri dari rantai kekerasan berbasis gender.”

Keberanian untuk melapor seperti yang dilakukan A, kata dia, memang bukan tanpa resiko terutama karena terduga pelakunya orang terdekat.

“Untuk itulah diperlukan dukungan besar dari lingkungan dalam pemulihan mental dan fisik,” katanya, menambahkan bahwa hal itu “menjadi kekuatan terbesar bagi para korban untuk bangkit.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini