‘Terop’ Bermasalah hingga Pengurus yang Seolah Pajangan, Sengkarut Pengelolaan BUMDes Suatu Desa di Manggarai Timur

Campur tangan aparatur dirasa melampaui wewenang, memperkeruh sejumlah soal di desa

Baca Juga

Floresa.co – Warga suatu desa di Manggarai Timur menilai tata kelola Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] di wilayah mereka “sangat buruk.” 

Pengurusan desa yang mendongkolkan warga itu terungkap setelah sejumlah di antaranya mendapati kejanggalan dalam pengelolaan tarup, yang dalam bahasa setempat disebut terop.

Pengelolaan terop tercakup dalam unit usaha BUMDes di Desa Golo Lobos, Kecamatan Lamba Leda Selatan.

Blasius Oskar, warga Pelus – salah satu dusun di Golo Lobos – mengatakan terop itu dibeli antara 2016 dan 2017 saat Aloysius Darung menjabat sebagai kepala desa.

Pembelian diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Desa, sumber pendapatan tambahan yang terpisah dari Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.

Namun, yang terjadi sebaliknya. 

Warga menilai unit usaha BUMDes tak memberikan pendapatan yang signifikan kepada desa, buntut dari pengelolaan yang amburadul.

Bertukar Tempat dan Upah

Mula-mula terop bermasalah itu disimpan di rumah Daniel Tam, sekretaris desa kurun waktu 2016-2019.

Terop dititipkan di rumahnya lantaran “kantor desa tak memiliki gudang,” kata Blasius.

Daniel memiliki versi yang berbeda soal lokasi pencadangan terop

Kepada Floresa pada 4 Januari, ia berkata terop ditaruh di rumahnya karena saat itu “badan pengurus BUMDes belum terbentuk.”

Tak hanya menyediakan ruang penyimpanan, Daniel akhirnya menyewakan terop kepada warga setempat.

Ia membanderol sewa sekotak terop sebesar Rp150 ribu untuk kenduri, pesta nikah dan kelulusan.

Sementara dalam upacara kedukaan, kata Blasius, “penyewa dipersilakan bayar seikhlasnya.”

Terop belum lama tersimpan di rumah Daniel ketika Kepala Desa, Aloysius Darung memindahkannya ke rumah Blasius.

Daniel mengklaim “terop itu diambil tanpa sepengetahuan saya.”

Sementara Blasius mengatakan pemindahan terop terkait akses warga. Rumah Daniel, katanya, “jauh dari desa dan jalannya rusak parah.”

Atas permintaan Aloysius, Blasius lalu ikut mengurus penyewaan terop. Ia mengaku turut memasang dan membongkar terop dalam setiap acara, yang “dibalas dengan uang lelah.”

Ia menerima “uang lelah” Rp100 ribu dari total biaya sewa Rp150 ribu untuk sekotak terop. Sebanyak Rp50 ribu sisanya disetor ke Daniel, yang kemudian diserahkan ke desa.

Seiring waktu, warga tak lagi banyak-banyak menyewa terop dalam sekali penyelenggaraan acara. “Uang lelah” yang diterima Blasius lalu berkurang menjadi hanya Rp50 ribu. 

Pada 2019, terjadi pergantian kepemimpinan Desa Golo Lobos. Daniel tak lagi menjabat sekretaris desa. 

Nikolaus Nengko, kepala desa baru mereka, menunjuk Kepala Urusan Pemerintahan, Karolus Panding sebagai penerima setoran sewa terop.

Sejak saat itu “kami tak tahu uang itu ke mana perginya,” kata Blasius, “warga tak pernah diundang ikut rapat pelaporan keuangan terop.”

Pada 21 Februari 2021, Badan Permusyawaratan Desa [BPD] menyelenggarakan “Pengecekan dan Penghitungan Barang Aset Desa.” Kegiatan yang diikuti oleh pemerintah desa itu menghasilkan empat keputusan.

Pertama, pemerintah dan BPD bersepakat untuk menentukan terop sebagai aset desa. Kedua, penanggung jawab barang aset desa adalah pemerintah desa. Ketiga, uang sewa terop disepakati Rp150.000 per kotak di desa dan Rp200.000 di luar desa. Keempat, pengurus barang aset desa, termasuk terop, adalah Nikolaus sebagai penanggung jawab, Mateus Engkor sebagai ketua, dan Hilarius Santu sebagai bendahara.

Nikolaus meninggal pada Mei 2023, yang disusul pengunduran diri Hilarius sebagai bendahara terop.

Berita acara tentang pengecekan dan penghitungan Barang Aset Desa Golo Lobos. (Dokumentasi Floresa)

Menurut Blasius, keputusan itu diambil Hilarius setelah melaporkan pemasukan dan pengeluaran uang terop. 

“Saya cukup sampai di sini menjadi pengurus terop, khususnya yang terkait uang. Karena saya rasa sudah terlalu banyak pekerjaan saya,” kata Blasius menirukan ucapan Hilarius.

Ia bercerita terhadap pengunduran diri Hilarius, Mateus mengusulkan agar “unit usaha terop dibekukan” untuk sementara waktu, sambil menunggu bendahara baru terpilih. 

Timin Gesan, yang saat itu menjabat sekretaris desa, tidak sepakat. 

“Jangan pakai bahasa ‘dibekukan.’ Kita hanya perlu cari jalan keluar supaya terop ini masih bisa dipakai,” kata Timin seperti diceritakan kembali oleh Blasius.

Anggota rapat lalu menyepakati Timin sebagai penghubung warga yang hendak menyewa terop. 

“BUMDes Liar”

Pada 2022, pemerintah desa merekrut pengurus baru BUMDes.

Seorang pengurusnya diduga terpilih lantaran “faktor kedekatan dengan Panding, bukan karena kompetensinya.”

“Kami sempat tanya, ia nanti kerjakan apa?,” kata seorang pengurus BUMDes menanyakan tugas sejawatnya, yang dijawab perwakilan pemerintah desa, “nanti bisa sebagai pelaksana proyek.”

Selain itu, ia juga menyoroti pengangkatan pengurus tanpa pernah diberi tahu “tugas pokok dan fungsinya.”

Ia mengingat suatu kali pemerintah meluncurkan program pasar murah di setiap desa. 

Bersemangat menyambut informasi itu, ia lalu berkonsultasi dengan Timin, yang saat itu masih menjabat Operator Sistem Keuangan Desa.

Berikutnya pengurus tahu, “desa tak punya dananya.” Tak hanya itu, ternyata “surat pengangkatan kami, peraturan desa [Perdes] tentang BUMDes pun tak ada.”

Ia mengaku sempat berkonsultasi dengan aparatur Kecamatan Lamba Leda Selatan terkait legalitas BUMDes. 

Sebab, kata dia, kalau sudah terbentuk, maka BUMDes harus didaftarkan ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi [Kemendes PDTT] agar mendapat Surat Keputusan [SK]. 

“Kalau tidak ada SK, maka BUMDes dianggap liar,” katanya menirukan ucapan seorang aparatur kecamatan. 

Ia mengonsultasikan keterangan kecamatan ke pemerintah desa sehingga “terbit SK dari desa, tapi tanpa Perdes.”

Pernyataannya mengacu pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama.

Sejak pengurus dibentuk, kata seorang pengurus BUMDes, “pemerintah desa tidak pernah melakukan penyertaan modal meski kami sudah memintanya.”

Menurutnya, penyertaan modal merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah desa. Sementara “tugas kami mengelola dan mengembangkan modal agar menghasilkan pendapatan tambahan bagi desa.”

Ia menjelaskan pengurus BUMDes pernah berencana membuka kebun untuk ditanami sayur oleh Kelompok Tani. Selain itu, pengurus BUMDes juga pernah mengusulkan membuat kolam ikan di Dusun Lame dengan memanfaatkan air yang berkelimpahan di sana.

“Daripada air terbuang percuma, kenapa tidak dibuat kolam ikan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat?” katanya.

Merespons usulan tersebut, pendamping desa “malah mengusulkan program yang “tidak masuk akal, berupa pengadaan kendaraan pribadi.”

Ia juga mengeluhkan pengurus BUMDes yang akhirnya tak membikin apa-apa.

Ibarat “memenuhi kuota saja kami ini, supaya Golo Lobos bisa klaim punya BUMDes.”

“Kami seolah pajangan,” katanya.

Seorang warga yang meminta Floresa tak menyebut namanya mengaku sekitar awal April 2023, ia pernah ditawari Panding menjadi pengurus BUMDes, mengisi posisi sekretaris yang ditinggalkan Minus. 

Ia mengatakan, sampai saat ini, dirinya tak menjawab tawaran itu lantaran “merasa banyak kejanggalan dalam pengelolaan BUMDes.”

Ia menilai “pemerintah desa melampaui kewenangan karena terlibat terlalu jauh dalam pengelolaan terop.”

“Kalau pemerintah desa ikut kelola unit usaha BUMDes, tak  perlu bentuk pengurus,” katanya.

Selain itu, “tak ada payung hukum yang jelas tentang pendirian BUMDes.”

“Jangan-jangan,” katanya, “keberadaan BUMDes itu hanya klaim sepihak pemerintah desa.”

Berapa Jumlahnya?

Semenjak terbeli dan masuk ke Golo Lobos, berkotak-kotak paket terop terus saja menimbulkan silang-selimpat yang tak berkesudahan di desa itu.

Jumlah awal kotak terop pun tak luput dari perdebatan antarwarga.

Ada yang bilang, jumlah awalnya 30 kotak. Yang lain mengaku sempat menghitung kotak-kotak itu, yang berjumlah 24 buah.

AT, seorang warga yang meminta Floresa hanya menyebutkan inisialnya menyatakan “pokoknya sebagian terop sudah dijual Daniel.”

Sejumlah warga lain bilang, Daniel menjual beberapa di antaranya ke kepala desa Golo Wune.

Daniel membantah tudingan itu. Ia mengaku dirinya pernah menerima pesanan sewa terop dari Golo Wune, “tetapi itu terop punya saya, bukan milik desa.”

Ia menunjukkan kepada Floresa tiga buah foto yang menampilkan seorang pekerja sedang mendesain terop di samping rumahnya.

Daniel mengklaim “bentuk terop milik saya sangat berbeda dengan kepunyaan desa.”

Daniel mengatakan awalnya terop Desa Golo Lobos berjumlah 18 kotak. Sebanyak 14 kotak di antaranya dibeli menggunakan Dana Desa, sisanya dari Alokasi Dana Desa.

Ia tidak memerinci jumlah dana yang digelontorkan, karena “saya sudah lupa.”

Terop milik Daniel Tam, mantan Sekretaris Desa Golo Lobos. (Dokumentasi Daniel Tam)

“Mending Tidur, Hanya Habiskan Pulsa”

Blasius mengaku sekarang pengelolaan terop itu “tidak jelas”. 

Terlebih lagi, beberapa bulan terakhir dirinya tak lagi menerima uang sewa dari pengguna terop.

Padahal, “banyak warga yang sewa terop itu untuk acara kedukaan, kenduri, pesta nikah, maupun pesta sekolah.”

Prosedur sewa kian tak keruan ketika yang pinjam adalah aparatur desa. 

Mereka memang memberi tahu Blasius jika akan mengadakan suatu acara, tetapi “tak melibatkan saya dalam pemasangan, apalagi pembongkarannya.”

Alhasil, ia tak sepeser pun menerima “uang lelah.”

Ia menyebut Panding pernah memakai terop untuk keperluan acara keluarga tanpa sepengetahuannya.

Blasius mengklaim Panding belum memberikan uang sewa terop itu, baik kepadanya, maupun sekretaris desa.

Floresa meminta klarifikasi Panding. Namun, dalam sebuah pesan WhatsApp, ia menolak memberi komentar. 

“Silakan tuding, yang terpenting mereka punya data akurat.”

Ketika Floresa menunjukkan sejumlah data yang diperoleh dari Blasius dan sejumlah warga, ia merespons, “kalau ada waktu, datang ke rumah saya. Bawa orang yang laporkan saya.”

Saat Floresa kembali meminta klarifikasinya, ia menjawab diawali kalimat yang menunjukkan sedang tertawa: “Mending tidur. Hanya habiskan pulsa.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini