Jembatan di Pedalaman Manggarai Timur Dibiarkan Rusak Bertahun-tahun, Warga Berharap Pemerintah Perbaiki Jelang Musim Panen

Menahun warga berswadaya membetulkan struktur jembatan di Sungai Wae Emas, Kecamatan Elat Selatan itu dengan menggunakan kayu ampupu. Kini mereka sulit memperoleh kayu sepanjang sembilan meter, sesuai ukuran sungai yang terus melebar

Baca Juga

Floresa.co – Seiring melebarnya sungai akibat gerusan arus, susunan batang ampupu yang melandasi sebuah jembatan di wilayah pedalaman Manggarai Timur lamat-lamat terlepas dari ujung tebing.

Jembatan di Sungai Wae Emas itu merupakan bagian dari ruas jalan kabupaten yang menghubungkan Kecamatan Komba Utara dan Kecamatan Elar Selatan.

Ketika dibangun pada 2016, jembatan itu dilengkapi gelagar baja. Namun, sejak gelagar roboh pada 2018 sebelum hanyut terbawa arus Wae Emas, warga swadaya memperbaikinya.

Pembangunan jembatan itu bersamaan dengan pengerjaan ruas jalan segmen Ladok-Koit-Taga-Watu para era kepemimpinan Bupati Yoseph Tote.

Kampung Watu tercakup dalam wilayah administratif Desa Golo Wuas di Elar Selatan. Tiga kampung lainnya berada di Desa Golo Nderu, Kota Komba Utara. Jembatan itu berada di perbatasan Watu dan Taga, yang terpaut dua kilometer.

Nyaris setiap tahun sejak 2020, warga bergotong rotong memperbaiki jembatan itu. Kini mereka kian kesulitan mencari kayu ampupu sepanjang sembilan meter yang pas dengan lebar sungai itu.

Membawa ampupu keluar dari hutan untuk kemudian diangkut truk menuju sisi jembatan tak selalu mudah. Butuh 20-30 lelaki untuk bersama-sama memikul setiap batang, lalu menaikkannya ke truk.

Tiga bulan lagi musim panen datang. Warga–yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani–bakal lebih sering hilir-mudik melintasi jembatan demi bisa menjual padi dan kopi. 

Mereka mulai mencemaskan jembatan itu sewaktu-waktu runtuh karena mereka mesti menyeberangi sungai sembari memikul berkarung-karung panenan.

Runtuh Terus

Jembatan itu merupakan satu-satunya akses keluar masuk menuju beberapa wilayah di Desa Golo Wuas.

Gerusan arus membuat Sungai Wae Emas melebar hingga satu meter per tahun, yang kian intens dalam tiga tahun terakhir. 

Selain petani dan pedagang, sejumlah pelajar Sekolah Menengah Pertama Satap Taga, Kota Komba Utara setiap hari melewati jalurnya dari rumah mereka di Watu.

Damasus Gagur, seorang warga Golo Wuas mengaku “sejak awal masyarakat sudah meragukan kualitas pengerjaan” proyek jalan dan jembatan itu.

Apalagi baru tiga bulan usai dikerjakan, telah tampak kerusakan di beberapa titik. 

“Saya menduga jalan dan jembatan ini dikerjakan asal jadi oleh kontraktor,” kata Damasus. 

Pernyataannya mengacu pada beberapa kali peristiwa ambruknya struktur jembatan, disusul serangkaian perbaikan swadaya oleh warga setempat.

Ia menjelaskan, warga awalnya berjuang membangun ulang gelagar dengan campuran semen, sebelum kemudian beralih menggunakan ampupu.

Lantaran hanya “berbahan seadanya,” kata Damasus, campuran semen itupun runtuh ke palung sungai.

Tahun lalu jembatan itu dua kali diperbaiki setelah sisi barat strukturnya jebol tergerus arus Wae Emas.

Sejumlah pengusaha dan pensiunan aparatur sipil negara patungan untuk menambah pendanaan pengerjaannya, selain dari warga setempat.

Sejak akhir 2023, kendaraan angkutan umum tak lagi dapat melintas lantaran papan alas jembatan sudah kembali lapuk.

Kondisi Jembatan Wae Emas Tahun 2018, usai runtuh. (Gabrin Anggur/Floresa.co)

Harga Barang Mulai Naik

Kepala Desa Golo Wuas, Kristianus Naba menyatakan ketiadaan angkutan umum masuk-keluar Golo Wuas turut “menghambat laju pembangunan desa.”

Aparatur desa “jadi kesulitan mencari kendaraan yang bisa mengangkut material yang dibutuhkan dalam proyek desa.”

Sebagian besar material, katanya, “dibeli dari Borong.” Jarak Golo Wuas dan Borong, ibu kota Manggarai Timur sekitar 51 kilometer.

Rutenya melewati beberapa ruas jalan provinsi yang bergeronjal. Perjalanan yang lazimnya dapat ditempuh kira-kira 3 jam, harus molor hingga 5-6 jam.

Ketika jembatan kembali rusak, biaya angkut material dari Borong ikut melonjak lantaran “mobil angkut harus lewat rute yang memutar dan cenderung makan waktu,” kata Kristianus.

Rute yang disebutkannya mengacu pada jalan provinsi jalur Bealaing-Mukun-Mbazang. Jalur itu terhubung ke Desa Sipi, yang berjarak sekitar 12 kilometer sebelah selatan Golo Wuas. 

Meski terpaut hanya beberapa kilometer, tetapi jalurnya masih berupa jalan batu [telford] yang rentan membuat pengendara tergelincir saat hujan turun deras.

Licinnya jalur memicu waktu tempuh dari Golo Wuas ke Desa Sipi menjadi 1-2 jam ketimbang 45 menit kala jalanan kering.

Kristianus mengaku kerusakan jembatan itu sudah berkali-kali dilaporkan ke pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, tetapi “tak pernah serius ditanggapi.”

Karena tak kunjung diperhatikan hingga era pemerintahan Bupati Andreas Agas berakhir bulan ini, Kristianus berencana mengerjakan ulang jembatan itu menggunakan dana desa tahun anggaran 2024.

Pemerintah desa, katanya, “sudah berdiskusi dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur” terkait mekanisme pengerjaan jembatan menggunakan dana desa, mengingat jembatan itu bagian dari jalan kabupaten.

Kristianus berharap lekas mendapat kabar dari pemerintah kabupaten, lantaran kerusakan jembatan mulai berdampak pada harga bahan pokok, selain bahan bakar dan ongkos angkut material yang sebelumnya ia keluhkan.

Setahun terakhir harga minyak tanah dibanderol hingga Rp40 ribu per jerigen bervolume lima liter dari sebelumnya Rp30 ribu untuk volume yang sama. 

Minyak goreng dijual hingga Rp105 ribu dari sebelumnya Rp90 ribu per lima liter dalam periode yang sama.

Tampak samping kondisi Jembatan Wae Emas. (Gabrin Anggur/Floresa.co)

Sebentar Lagi Panen

Kecemasan serupa mulai dikeluhkan Venisius Rabu, seorang pedagang perantara yang tinggal di Kampung Ndawang, Desa Golo Wuas. 

Ia mengaku harus “menyiapkan uang lebih untuk membayar ongkos angkutan” ketika memasarkan panenan petani setempat.

Butuh menyewa total dua mobil angkutan untuk memasarkan berkarung-karung padi dan kopi.

Pertama-tama, panenan dari Golo Wuas itu diangkut dengan satu mobil yang hanya mentok sampai di satu sisi jembatan. 

Dari situ, karung-karung dibawa berjalan kaki hingga sisi seberang jembatan. Di sana “sudah menanti satu mobil angkutan lain” menuju Borong atau Ruteng.

Sehari-hari di Ndawang, warga yang tak memiliki sepeda motor harus menumpang ojek hingga Taga ketika hendak bepergian ke Borong atau Ruteng. 

Jarak Ndawang dan taga sekitar 3 kilometer. Dari Taga, “kami baru sewa angkutan umum menuju kedua kota tujuan.”

Biaya ojek berkisar Rp20-30 ribu sekali jalan, sementara sewa mobil sebesar Rp50 ribu.

Sebentar lagi Mei, yang berarti “petani padi dan kopi akan mulai memanen,” kata Kristianus.

“Jangan sampai mereka tak bisa memasarkan panenan,” katanya.

Panen raya lumrahnya selesai pada Agustus. Pada bulan itu pula anak-anak petani memasuki tahun ajaran baru. 

Petani membutuhkan jembatan itu kembali diperbaiki sehingga menjual panen, demi bisa membiayai sekolah anak.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini