Warga di Manggarai Timur Dibui terkait Perdagangan Orang yang Hendak Dikirim ke Kalimantan, Aparat Diminta Tak Hanya Garang dengan Pelaku Lapangan

Terpidana ditangkap pada Juni 2023 saat berusaha memberangkatkan lima orang lewat Pelabuhan Ende untuk bekerja pada perusahaan sawit di Kalimantan Tengah

Floresa.co – Seorang warga Kabupaten Manggarai Timur mendapat vonis penjara karena terlibat kasus perdagangan orang yang hendak dipekerjakan di perkebunan sawit di Kalimantan.

Aktivis peduli praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] menyoroti kinerja aparat yang dinilai hanya garang dengan pelaku lapangan, sementara jaringan dan otak intelektual dibiarkan, termasuk perusahaan yang diduga membekingi perekrutan.

Dalam putusan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Ruteng pada 2 April, majelis hakim yang diketuai Syifa Alam, dengan anggota Carisma Gagah Arisatya dan Indi M. Ismail memvonis Leonardus Jangkur lima tahun penjara dan denda Rp 350 juta, subsider empat bulan kurungan, demikian menurut pernyataan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri [Kejari] Manggarai, Zaenal Abidin.

Hakim menyatakan Leonardus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Pasal 2 ayat 1 UU antara lain mengatur tentang perekrutan dengan pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan untuk tujuan mengeksploitasi orang tertentu di wilayah negara Indonesia, sementara pasal 10 mengatur tentang praktik TPPO.

Hakim juga mewajibkan Leonardus membayar restitusi Rp1.725.000 maksimal 30 hari sesudah putusan berkekuatan hukum tetap.

“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar restitusi, maka diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan,” demikian isi putusan, sebagaimana dijelaskan Zaenal.

Merespons vonis itu, Jaksa Penuntut Umum [JPU] dan Leonardus menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding.

Vonis itu lebih rendah dari tuntutan JPU yang meminta hakim memvonis Leonardus enam tahun penjara dan denda Rp 350 juta, subsider kurungan enam bulan.

Ditangkap Saat Hendak Berangkatkan Korban ke Kalimantan

Polisi di Manggarai Timur menangkap Leonardus pada Juni 2023 saat ia hendak memberangkatkan satu keluarga asal Kampung Mondo, Desa Bangka Kantar, Kecamatan Borong ke Provinsi Kalimantan Tengah.

Mereka terdiri dari pasangan suami istri bersama anak mereka.

Sesuai dokumen dakwaan dari Kejari Manggarai yang dipublikasi di situs Pengadilan Negeri Ruteng, Leonardus menjalankan aksinya karena diminta oleh orang bernama Edu untuk mencari tenaga kerja yang akan bekerja untuk perusahaan sawit.

Dalam dokumen tersebut, nama perusahaan hanya disebut sebagai PT Sampurna.

Atas permintaan Edu, Leonardus mendatangi rumah korban pada 3-7 Juni 2023 “untuk menjelaskan bahwa terdakwa merupakan perwakilan dari PT. Sampurna.”

Dalam dokumen itu, jaksa menyatakan, PT Sampurna tidak terdaftar sebagai perusahaan yang memiliki izin perekrutan tenaga kerja, baik di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT maupun di dinas di Kabupaten Manggarai Timur.

Leonardus menjanjikan korban akan digaji oleh PT Sampurna Rp3.000.000 per bulan, sementara persyaratan bekerja “hanya perlu menyiapkan berkas Kartu Tanda Penduduk [KTP] dan Kartu Keluarga.”

“Sedangkan untuk biaya transportasi ke Kalimantan Tengah sudah ditanggung oleh PT. Sampurna,” menurut dokumen itu, demikian juga untuk biaya hidup serta fasilitas selama bekerja.

Setelah para korban menyanggupi ajakan tersebut, Leonardus melaporkannya kepada Edu serta mengirimkan foto KTP dan Kartu Keluarga melalui WhatsApp.

Selanjutnya Edu menghubungi saksi Vinsensius Ndoi agar menyiapkan kendaraan yang mengantar korban ke Pelabuhan Ende di Kabupaten Ende, tempat mereka akan berangkat ke Kalimantan Tengah.

Perjalanan dari Borong pun dilakukan pada 8 Juni, di mana mobil dikendarai saksi Yohanes Kanafor.

Di tengah perjalanan, Leonardus “sempat memberitahu kepada calon tenaga kerja dengan mengatakan ‘Nanti ketika sampai di Wae Rana baru ganti mobil untuk ke Ende.’” Wae Rana berjarak sekitar 20 kilometer arah timur Borong.

Setelahnya, ia turun dari mobil sembari memberi tahu saksi lainnya, Narsisius Madi yang ikut dalam kendaraan, agar menelepon Edu sesampai di Wae Rana.

Dalam perjalanan, Vinsensius Ndoi meminta Yohanes Kanafor “memutar balik kendaraan agar pulang karena keberangkatan mereka dibatalkan,” demikian menurut dokumen itu.

Vinsensius memberitahu para korban bahwa “ada telepon dari Ende, kita tidak jadi berangkat ke Kalimantan karena di Pelabuhan Ende sedang ada pemeriksaan oleh kepolisian.”

Saat itulah, menurut dokumen itu, tiba-tiba ada panggilan lewat ponsel dari seorang polisi, Wilfridus Buja kepada Narsisius, menyuruhnya bertahan di rumah saksi Dionisius Maryono Medang di Rana Meti, Kelurahan Rongga Koe, Kecamatan Kota Komba, “karena akan ada anggota kepolisian yang akan datang.” Dionisius merupakan pemilik mobil yang mereka tumpangi.

Beberapa saat setelahnya, Wilfridus meminta Dionisius mengantar para korban ke Polsek Borong.

Pada hari yang sama, polisi meringkus Leonardus dari kediamannya di Jawang, Desa Golo Kantar, Kecamatan Borong.

Dalam dokumen itu, jaksa menyatakan Leonardus “merekrut dan membawa tenaga kerja tidak mengantongi atau membawa surat persetujuan penempatan tenaga kerja,” yang seharusnya didapat dari Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Jaksa juga mengutip keterangan Zem Takaeb dari Dinas Ketenagakerjaan Provinsi NTT bahwa Leonardus tidak melaporkan Surat Persetujuan Penempatan Tenaga Kerja Antar Kerja Antar Daerah [SPP-AKAD] ke dinasnya. Surat itu menjadi dasar untuk menerbitkan rekomendasi perekrutan tenaga kerja ke dinas di Manggarai Timur.

Hanya Pelaku Lapangan yang Sudah Dijerat

Dalam kasus ini, hanya Leonardus yang sudah diproses hukum. Sementara Edu yang memintanya merekrut para korban, menurut dokumen kejaksaan, telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang [DPO] pada 16 November 2023.

Dihubungi Floresa pada 3 April, Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto mengonfirmasi soal status DPO Edu, yang berposisi di Kalimantan.

“Calon penerima di Kalimantan adalah perorangan,” katanya merujuk pada Edu.

Para korban, kata dia, “akan disalurkan [untuk] kerja di sebuah perusahaan.”

Ia meminta Floresa meminta penjelasan lebih lanjut ke Kepala Satuan Reserse dan Kriminal, Iptu Jeffry D.N. Silaban. Namun, lewat pesan WhatsApp, Jeffry berkata sedang di luar kota dan baru bisa memberi penjelasan usai libur lebaran.

Aparat Perlu Kejar ‘Otak Intelektual’

Gabriel Goa Sola, Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia [Padma Indonesia], lembaga yang fokus pada isu TPPO di NTT berharap aparat penegak hukum bisa mengusut tuntas otak intelektual di balik kasus ini.

“Sangat disayangkan,” katanya kepada Floresa,“jika aparat penegak hukum hanya menyasar pelaku lapangan.”

“Dalam proses penegakan hukum TPPO seharusnya Leonardus bisa dijadikan sebagai justice collaborator untuk mengungkap jaringan dan aktor intelektual kasus ini,” katanya.

Justice collaborator merujuk pada pelaku kejahatan yang bisa bekerja sama dengan aparat penegak hukum demi mengungkap tindak pidana tertentu.

Ia berkata, di Indonesia, termasuk NTT, “aparat penegak hukum membiarkan para mafia perdagangan orang berkeliaran bebas, tanpa tersentuh jerat hukum TPPO.”

Padahal, kata dia, pasca penerbitan Peraturan Presiden No .49 Tahun 2023 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO dengan ketua hariannya Kapolri di tingkat pusat, Kapolda di tingkat provinsi dan Kapolres di tingkat kabupaten/kota, aparat diharapkan bisa bekerja maksimal.

Mereka, kata dia, perlu membongkar tuntas jaringan mafia TPPO, termasuk dalam kasus di Manggarai Timur agar “menimbulkan efek jera dan memenuhi rasa keadilan korban.”

Ia berkata, mengingat NTT sudah masuk kategori darurat perdagangan orang, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan berkolaborasi dengan semua pihak terkait untuk melobi dan mendesak presiden menerbitkan peraturan khusus terkait justice collaborator TPPO.

Selain itu, kata Gabriel, presiden juga perlu segera membentuk Badan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sementara itu, Suster Laurentina Suharsih, PI, biarawati Katolik berbasis di Kupang yang terlibat dalam advokasi kasus perdagangan orang berkata, aparat penegak hukum perlu memberi hukuman yang maksimal kepada setiap pelaku.

Vonis yang sangat ringan, katanya kepada Floresa, membuat “tidak ada efek jera” dan kasus perdagangan orang “akan selalu terulang lagi.”

Ketidakseriusan aparat penegak hukum dalam menindak para pelaku, kata dia, membuat mereka akan terus bekerja, apalagi di daerah pedalaman, dimana warga tidak memahami prosedur migrasi yang legal sehingga mudah dikibuli.

NTT dikenal sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia, pemicu warga mudah dirayu untuk bekerja di daerah lain, termasuk luar negeri, kendati tanpa dokumen yang legal.

Dengan populasi 5,5 juta, penduduk miskin provinsi itu mencapai 19,96 persen, dua kali lipat dari 9,36 persen secara nasional.

Data Kepolisian Daerah Provinsi NTT menunjukkan terjadi 185 kasus perdagangan orang, dengan korban 256 orang pada 2023.

Belum tersedia jumlah kasus pada tahun ini.  

Kasus terakhir terjadi pada 30 Maret, di mana polisi di Kupang menangkap 12 orang pekerja migran tidak berdokumen yang hendak berangkat ke Malaysia.

Editor: Ryan Dagur

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Polisi di Manggarai Timur Amankan Ayah yang Diduga Perkosa Putri Kandung Hingga Lahirkan Dua Anak

Korban masih dalam kondisi kurang sehat pasca melahirkan anak kedua 

Keuskupan Ruteng Janji Serius Tangani ‘Dugaan Perbuatan Tercela’ Imam yang Tidur dengan Istri Umat, Klaim Akan ‘Jaga Nama Baik’ Semua Pihak

Umat yang mengaku imam Keuskupan Ruteng tidur dengan istrinya meminta imam itu tanggalkan jubah

Bersatu Usung Perubahan pada Pilkada 2020, Hery Nabit dan Heri Ngabut Berpisah pada Pilkada 2024

Menyongsong Pilkada 2024, keduanya sudah mendaftar sebagai calon bupati di sejumlah partai politik 

‘Saya Sudah Telanjur. Kasus Ini Diam-Diam Saja. Kalau Dibongkar, Saya Hancur,’ Imam Katolik di Keuskupan Ruteng Mohon kepada Suami yang Istrinya Ia Tiduri

Umat Katolik yang istrinya tidur bersama imam Katolik, pastor parokinya memberi klarifikasi, membantah klaim-klaim imam itu