Sehari Usai Ketua Diberhentikan karena Kasus Pelecehan Seksual, KPU Manggarai Barat Pilih Pimpinan Baru

Ferdiano Sutarto Parman menggantikan Krispianus Bheda

Floresa.co – Sehari setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu [DKPP] menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum [KPU] Manggarai Barat, Krispianus Bheda, para komisioner lembaga itu langsung memilih pimpinan baru.

Dalam rapat pleno yang digelar pada 29 Mei, lima orang komisioner memilih ketua baru Ferdiano Sutarto Parman secara aklamasi.

Ferdiano – sebelumnya Anggota Divisi Hukum dan Pengawasan – menggantikan Kris yang diberhentikan oleh DKPP pada 28 Mei setelah dinyatakan terbukti melakukan pelecehan seksual kepada staf perempuan.

“Pleno ini dilakukan [sebagai] tindak lanjut dari putusan DKPP yang memberikan sanksi kepada saya,” kata Kris kepada para wartawan.

Berita acara rapat pleno itu, kata dia, akan diserahkan ke KPU RI.

Krispianus merupakan Komisioner KPU Manggarai Barat periode 2019-2014, yang terpilih kembali untuk periode 2024-2029. Ia juga didapuk sebagai ketua.

Dalam sebuah pernyataan, Kris berkata, sebagai penyelenggara Pemilu, “saya wajib tunduk dan mengikuti proses hukum yang berlaku” di DKPP.

Ia mengaku dua kali mengikuti sidang kasus itu, “dengan tanpa beban, bahkan teman-teman media mendatangi saya.”

“Saya sampaikan dengan sangat gamblang. Karena selama saya benar, saya tidak akan mundur,” katanya.

Namun, mendengar pembacaan putusan DKPP, “saya kemudian berpikir dan mengevaluasi bahwa persoalan etik dan moral jauh melampaui fakta hukum.”

Ia berkata, persoalan ini tidak hanya dilihat pada fakta, tetapi “nilai-nilai kepublikannya,” sebagaimana disampaikan majelis hakim DKPP bahwa “etika berlayar di samudera hukum.” 

Ia juga mengaku “menerima dengan penuh tunduk putusan DKPP,” namun “bukan karena fakta hukumnya, tetapi perihal pengawasan atas moralitas publik.”

Ia berkata tetap memberi apresiasi terhadap semua penilaian publik karena “saya tidak bisa membendungnya dan itu adalah hak mereka apalagi teman-teman pers/media.” 

Media, kata dia, berkewajiban mempublikasikan penilaian itu, sebagai mekanisme kontrol yang “harus saya hargai dan tunduk.” 

Kris menerima sanksi setelah ia diadukan ke DKPP oleh seorang staf perempuan berstatus Aparatur Sipil Negara yang bekerja di Sekretariat KPU Manggarai Barat.

Dalam pengaduannya, staf itu mendalilkan bahwa Kris melakukan kekerasan seksual secara fisik dan non fisik.

Kekerasan seksual fisik pertama kali terjadi sekitar Juli 2019 di kamar kos pengadu saat pengadu izin tidak bekerja karena sakit.

“Pengadu mendalilkan bahwa teradu yang mengetahui kondisi pengadu yang sedang sakit, lantas datang ke kos pengadu dengan alasan mengantar minyak oles untuk mengobati pengadu,” menurut putusan DKPP.

Berdasarkan keterangan pengadu, kedatangan Kris disebut tidak ia inginkan.

“Bahwa di kos pengadu tersebut kemudian teradu memaksa untuk mengoles minyak ke wajah pengadu yang bengkak. Pada saat yang bersamaan teradu berupaya mencium secara paksa dan berupaya memperkosa pengadu.”

“Namun, pengadu berhasil menghindar dan teradu melarikan diri. Pengadu sempat mengejar teradu, namun teradu berhasil meninggalkan kos pengadu menggunakan sepeda motor,” sebut DKPP.

Menurut pengadu, setelah peristiwa di kos itu, Kris melakukan beberapa tindakan kekerasan seksual non fisik, antara lain “menghubungi pengadu melalui panggilan video atau video call, meminta pengadu mengirimkan foto tidak senonoh dan cerita yang mengarah kepada pelecehan seksual.”

Pengadu, sebut DKPP, juga mendalilkan bahwa Kris berusaha meyakinkan pengadu dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk, di mana status perkawinannya dinyatakan belum kawin. 

Selain itu Kris juga didalilkan sering menyampaikan niatnya untuk mengatur perjalanan dinas bersama pengadu. 

Selain kekerasan seksual yang terjadi di kos pengadu, dalam dalilnya, pengadu juga menyampaikan terjadi kekerasan seksual secara fisik pada saat perjalanan dinas di Kecamatan Lembor pada 18 Desember 2019. 

Pengadu menyampaikan bahwa dalam perjalanan dinas itu Kris menemuinya di penginapan dengan alasan sedang sakit dan memerlukan obat. 

Akan tetapi, sebut DKPP, Kris justru menemui pengadu dalam keadaan mabuk karena pengaruh minuman beralkohol. Ia lalu melakukan pelecehan seksual.

Kris membantah semua tudingan itu, sebagaimana dibacakan dalam putusan DKPP.

Namun, menurut DKP “dalil aduan pengadu terbukti dan jawaban teradu tidak meyakinkan.”

Karena itu, DKPP menyatakan, Kris terbukti melanggar ketentuan sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedomaan Perilaku Penyelenggara Pemilu.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA