Cara Kerja Pemerintah di Manggarai Barat: Bangun Pasar dengan Dana Rp4 Miliar, Dibiarkan Mubazir karena Bingung Cara Pemanfaatannya

Pemerintah daerah dan desa menyalahkan pemerintah pusat yang membangun pasar itu tanpa perencanaan matang, dianggap warga hanya menghabiskan uang negara

Floresa.co – Abubakar Sidik mengaku ragu ketika pada 2019 utusan pemerintah pusat meninjau lokasi untuk pembangunan sebuah pasar di Desa Nggorang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

Sebelumnya, kata dia, pemerintah kabupaten juga merencanakan hal yang sama, tetapi mereka menilai lokasi di desanya yang berjarak 20 kilometer arah timur Labuan Bajo “tidak layak” untuk dibangun sebuah pasar. 

Karena itu, katanya, pemerintah daerah memindahkan lokasi pembangunan pasar itu ke Translok, Desa Macang Tanggar, sekitar 25 kilometer ke arah selatan dari desanya.

Namun, dengan berbagai pertimbangan, Sidik yang kala itu menjabat sebagai kepala desa menunjuk sebuah lahan kosong di depan kantor desa kepada “orang pusat” untuk lokasi pembangunan pasar itu.

“Kami bilang bahwa kalau tanahnya memungkinkan, silakan. Tetapi, kalau tidak memungkinkan, kami tidak paksa,” kata Sidik kepada Floresa pada 13 Agustus.

Lahan yang berjarak sekitar 500 meter dari Jalan Trans Flores itu merupakan tanah milik desa.

“Soal layak atau tidak, itu bukan urusan kami karena dana pembangunannya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara,” katanya.

“Kami hanya menyediakan lokasi saja, tetapi pembangunan pasar itu sepenuhnya menjadi urusan orang pusat,” tambah Sidik.

Dengan anggaran Rp4 miliar, proyek pasar yang digagas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu dikerjakan oleh PT Karang Teguh Abadi, kontraktor yang berbasis di Kecamatan Oebobo, Kupang.

Gudang, salah satu fasilitas pendukung Pasar Nggorang. (Mikael Jonaldi)

Tidak Ada Pembeli

Sidik berkata, desa tidak terlibat dalam proses pengerjaan pasar itu.

Usai dibangun, pemerintah pusat melalui Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana Permukiman Wilayah II NTT menyerahkan “hak kelola sementara” pasar itu ke Dinas PUPR Manggarai Barat. 

Tak lama setelahnya, Dinas PUPR menyerahkan hak pengelolaan pasar itu ke pemerintah desa.

“Kami membentuk panitia pengelola pasar dengan melibatkan kaum muda dan orang tua” yang juga merupakan pengurus Badan Usaha Milik Desa [BUMDes], kata Sidik.

“Waktu itu mereka [anggota panitia] mempromosikannya lewat media sosial agar orang datang meramaikan pasar ini, tetapi usaha itu tidak berhasil,” tambahnya.

Ia berkata, aktivitas di pasar itu sempat berjalan sekitar satu bulan di mana sejumlah perempuan menjual sayur pada setiap Selasa dan Jumat.

Namun persoalannya, “pembeli tidak ada,” sehingga sampai sekarang “tidak ada lagi aktivitas di pasar itu.”

“Di sini kan daerah penghasil sayur juga, sehingga pada akhirnya, warga sendiri yang jual dan mereka sendiri juga yang beli,” katanya.

Sidik mengaku beberapa kali berkonsultasi dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah [Perindagkop] yang saat itu dipimpin oleh Fransiskus Danggur Gayetanus terkait “masa depan pasar itu.”

Pada 2021, Fransiskus dan beberapa stafnya menggelar sosialisasi tentang pemanfaatan pasar itu di kantor desa.

Dinas menginginkan agar pasar itu dijadikan sebagai “pasar tumpah” di mana “semua barang kebutuhan pokok dari wilayah lain dijual di sini,” katanya.

“Tetapi hanya sebatas sosialisasi, tindakannya tidak ada. Pasarnya tidak berkembang,” tambah Sidik yang masa jabatannya berakhir pada 2023.

Bonifasius Mansur, Kepala Desa Nggorang pengganti Sidik berkata, pasar itu sebetulnya dikelola oleh BUMDes dengan harapan bisa menambah pendapatan asli desa. 

Namun, sama seperti klaim Sidik, kelemahannya adalah “produk yang dijual merupakan barang-barang yang juga diproduksi oleh warga di sini.”

“Saya selalu berkomunikasi dengan Dinas Perindakop untuk mencari solusi agar pasar itu tidak mubazir,” katanya.

Pemanfaatan pasar itu “membutuhkan sentuhan dinas itu, dengan cara melibatkan pelaku usaha atau penjual di Labuan Bajo untuk menjual barang-barang di sini.” 

“Tidak semua hal di desa bisa kami handle, kemampuan kami terbatas,” kata Bonifasius.

“Kami meminta dinas supaya mendatangkan penjual sehingga ada aktivitas jual-beli di pasar. Tetapi, harapan itu belum terealisasi,” tambahnya.

Bonifasius mengaku pernah mencoba berkomunikasi dengan “pedagang rombengan agar menjual barang-barangnya di pasar itu, namun mereka tidak mau.”

Padahal, “saya memberitahu bahwa mereka tidak perlu menyewa stan karena masih dalam tahap uji coba.”

Saat ini ia memberi akses kepada seorang warga untuk mendirikan kios di pasar itu.

“Konsepnya, dia pasarkan barang  di situ sekaligus menjaga pasar itu,” katanya.

Pos jaga, salah satu fasilitas Pasar Nggorang, yang sudah mulai rusak. (Mikael Jonaldi)

Apa Tanggapan Dinas?

Dikonfirmasi Floresa, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Gabriel Bagung menyalahkan pemerintah pusat yang membangun pasar itu tanpa perhitungan cermat.

Saat pasar itu dibangun, kata dia, pemerintah pusat memang berkoordinasi dengan pemerintah daerah, tetapi “kami tidak tahu, seperti apa studi kelayakannya.”

Ia menjelaskan, “pasar itu dibangun dengan dana dari pusat, tetapi tidak tercatat sebagai aset pemerintah daerah.”

Gabriel mengaku tahun lalu, pihaknya pernah berusaha merangsang penjual untuk mengaktifkan kembali Pasar Nggorang dengan cara menyelenggarakan “program pasar murah” di situ. 

Namun usaha itu tidak membuahkan hasil karena usai kegiatan itu “tidak ada pedagang yang menjual barang di situ.”  

Ia mengaku sudah berbicara dengan Kepala Desa Nggorang, Bonifasius agar mengelola pasar itu dengan mempertimbangkan potensi warga terutama “yang mempunyai jiwa usaha.” 

“Kalau ada, kasih ruang dulu ke mereka. Jangan dulu tagih berapa biaya untuk pendapatan desa. Intinya dia berusaha saja dulu,” katanya.

“Ketika sudah ditemukan siapa yang punya potensi untuk berdagang, dibuat jadwal pasar dan diumumkan kepada warga,” tambahnya.

Uang Negara Disia-siakan

Saat Floresa mendatangi Pasar Nggorang pada 13 Agustus, tampak di sekitar bangunan tersebut rumput-rumputan tumbuh subur setinggi lutut. 

Pasar itu dilengkapi dengan sarana pendukung di antaranya dua unit stan, pagar besi, tempat parkir kendaraan, empat unit toilet, pos jaga, gudang, listrik dan air.

Fasilitas-fasilitas itu tampak sudah mulai rusak dan di dinding-dindingan bangunan dihiasi tulisan-tulisan “yang tidak sopan.”

Sidik berkata, “gudang itu direncanakan BUMDes untuk menampung pupuk bagi petani.”

Floresa juga menemukan sebuah rumah sekaligus kios yang berhimpitan dengan bangunan pasar itu. 

Rumah dan kios itu merupakan milik Suin, seorang warga yang diberi akses oleh Bonifasius untuk menjaga pasar itu.

Suin dan beberapa kerabatnya menjadikan halaman pasar itu sebagai tempat untuk menjemur padi.

Seorang warga yang diberi akses untuk menjaga pasar menjadikan halaman pasar sebagai tempat untuk menjemur padi. (Mikael Jonaldi)

Kepada Floresa, Suin mengaku “baru beberapa bulan tinggal di situ dan diminta Bonifasius menjaga pasar itu karena beberapa pemuda kerap menjadikan pasar itu sebagai tempat nongkrong dan menulis “kata-kata yang tidak senonoh” di dinding bangunan.

Seorang warga yang meminta Floresa tak menyebut namanya berkata, “saya tidak heran jika pasar itu mubazir karena pembangunannya tidak berbasis pada aspirasi warga.”

Ia mengaku “tidak tahu alasan pembangunan pasar itu” dan menyebutnya sebagai “proyek yang hanya menghamburkan uang negara.”

“Sangat disayangkan pasar yang dibangun dengan dana miliaran justru mubazir,” katanya.

Ia berkata, pemerintah pusat semestinya terlebih dahulu melakukan kajian yang memadai tentang situasi warga sebelum membangun pasar itu.

Sebagian besar warga, kata dia, cenderung menjual hasil panennya di sekitar jalan Trans Flores karena mudah dijangkau pembeli. 

“Kalau beli di pasar, para pembeli  harus masuk lagi ke dalam agar bisa membeli barang,” katanya.

Beragam Proyek Mubazir

Pasar Nggorang hanyalah salah satu dari sejumlah proyek infrastruktur di Manggarai Barat yang dibangun pemerintah dengan dana miliaran, lalu kemudian dibiarkan telantar.

Proyek-proyek infrastruktur memang masif di Labuan Bajo dan sekitarnya usai kawasan itu ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional [KSPN].

Pada tahun lalu, Floresa juga melaporkan tempat pengolahan limbah bahan berbahaya beracun yang dibanguan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pada 2021 dengan dana Rp7 miliar yang juga tidak dimanfaatkan.

Bangunan yang berada di atas lahan 2,65 hektar di Hutan Bowosie itu sudah rusak, dipenuhi rumput liar.

Proyek lainnya yang bermasalah dan diusut Kejaksaan Tinggi NTT adalah persemaian modern milik KLHK yang membabat bagian lain di kawasan Hutan Bowosie. 

Dalam proyek yang dikerjakan sejak Agustus 2021 dengan anggaran Rp42 miliar itu, Kejaksaan menaksir kerugian negara mencapai Rp12,7 miliar.

Proyek bermasalah lainnya adalah fasilitas budi daya sayuran hidroponik yang dibangun Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores [BPOP-LBF] dan dibiarkan telantar usai panen perdana pada pertengahan 2021.

Seorang staf lembaga itu telah diperiksa oleh penyidik Tindak Pidana Korupsi Polres Manggarai Barat pada Juni 2023, namun hingga kini kelanjutan proses hukumnya tidak jelas.

Sementara itu, proyek lainnya adalah bangunan homepod di Kampung Cecer,  yang semula diklaim bagian dari upaya pemberdayaan para pelaku wisata komunitas melalui jasa akomodasi berupa penginapan. 

Homepod, yang juga dikenal sebagai rumah telur dan dikerjakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif rusak para dan tidak sempat digunakan sama sekali.

Herry Kabut dan Mikael Jonaldi berkolaborasi mengerjakan laporan ini.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA