Penjelasan BTNK Perihal Rencana Penutupan TN Komodo: Dari Soal Kawasan Perlu Istirahat, Curhat Anggaran Pengelolaan yang ‘Terlalu Kecil,’ Hingga Salahkan Wartawan

Penutupan TN Komodo masih menanti hasil kajian dari peneliti Institut Pertanian Bogor, kata BTNK

Floresa.co – Balai Taman Nasional Komodo [BPNK]  menggelar sebuah pertemuan bersama berbagai elemen di Labuan Bajo pada pekan ini, menjelaskan soal rencana penutupan Taman Nasional [TN] Komodo yang memicu keresahan publik.

Dalam acara yang digelar pada 19 Agustus itu, BTNK menyebut pemicu rencana yang masih akan dikaji itu salah satunya karena kawasan TN Komodo perlu istirahat di tengah lonjakan kunjungan wisatawan.

Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga berkata, sosialisasi tersebut bertujuan membangun pemahaman publik terkait “rencana yang sebenarnya.”

Ia mengklaim isu penutupan yang diperbincangkan di ruang publik “jauh dari apa yang kami bayangkan dan menciptakan polarisasi pemahaman.”

“Ada yang bilang penutupan ini sampai satu tahun. Bahkan, ada yang bilang penutupan ini untuk melindungi kepentingan tertentu,” katanya.

“Kami perlu merespons isu yang tersebar di publik,” tambahnya.

Kawasan dengan luas 173.300 hektare yang berada di sebelah barat Pulau Flores mencakup tiga pulau besar – Komodo, Rinca dan Padar. Kawasan ini merupakan habitat bagi 3.000 binatang langka komodo.

Acara sosialisasi rencana penutupan TN Komodo di Labuan Bajo pada 19 Agustus 2024. (Mikael Jonaldi/Floresa)

Alam Perlu Istirahat

Hendrikus menjelaskan, “latar belakang penutupan ini salah satunya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo semakin melonjak,” bersamaan dengan pengembangan daerah itu sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.

Tahun lalu, wisatawan yang ke Labuan Bajo mencapai 423.847, dua kali lipat dari target 260 ribu. Jumlah itu naik dari 170.352 orang pada 2022.

Hendrikus berkata, sebagian besar wisatawan ini “berkunjung ke TN Komodo.” 

Hal itu membuat tekanan terhadap kawasan TN Komodo menjadi sangat tinggi.

Karena itu, kata Hendrikus, salah satu upaya yang dilakukan adalah menerapkan kebijakan soal pembatasan kunjungan sehingga “memberikan kesempatan kepada alam untuk beristirahat.”

Dengan pembatasan itu, wisatawan yang ke Labuan Bajo juga “tidak hanya fokus berkunjung ke TN Komodo, tetapi juga bisa bergeser ke destinasi wisata lainnya di Manggarai Barat.” 

Ia menyebut destinasi  lain, seperti di Desa Batu Cermin, Gua Rangko dan juga desa wisata lainnya di luar Labuan Bajo.

“Pemda sudah punya program untuk menghidupkan desa-desa wisata, sehingga harusnya kita dukung penutupan TN Komodo ini,” katanya.

Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga. (Mikael Jonaldi/Floresa)

Nandang Prihadi, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi di Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkata, penutupan TNK merupakan kewenangan BTNK.

Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Peraturan tersebut, katanya, terkait penutupan kawasan, baik “terencana maupun tidak terencana.” 

Hendrikus menambahkan,  rencana penutupan TN Komodo akan melewati sejumlah tahap.

Salah satunya adalah kajian yang ditargetkan selesai Desember tahun ini, kendati “bisa lebih cepat dan bisa juga lambat.” 

Kajian itu dilakukan oleh pakar ekowisata dari Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, yang mencakup pengumpulan data lapangan, analisis serta konsultasi dan sosialisasi publik. 

Keputusan baru diambil usai hasil kajian itu.

“Kalau hasil kajiannya ternyata tidak perlu ditutup, tetapi hanya perlu langkah alternatif, maka itu yang menjadi keputusan kita,” kata Hendrikus. 

Ia juga menepis dugaan yang beredar bahwa “penutupan TNK terjadi karena adanya pembangunan di kawasan itu,” terkait dengan sejumlah izin korporasi untuk pembangunan hotel dan resor. 

Sampai hari ini, tidak ada pembangunan resor karena penutupan ini “murni untuk konservasi dengan tujuan penyelamatan ekosistem.”

Anggaran Pengelolaan TN Komodo ‘Terlalu Kecil’

Dalam kegiatan itu, Hendrikus juga menyebut alasan lain penutupan, yakni  “anggaran tahun ini untuk pengelolaan TN Komodo terlalu kecil” dan akan menurun drastis tahun depan.

Anggaran tahun ini hanya Rp24 miliar, sedangkan untuk tahun depan hanya Rp12 miliar, katanya. Padahal, Rp10 miliar dari anggaran itu akan digunakan belanja pegawai.

“APBN tidak sanggup membiayai pengelolaan TN Komodo,” katanya.

Ia mengklaim “kebutuhan ideal untuk pengelolaan TN Komodo mencapai Rp35-40 miliar.”

Di sisi lain, kata dia, “dukungan publik sangat minim” di mana “asosiasi wisata tidak turut serta dalam memikirkan perbaikan fasilitas yang ada kawasan TN Komodo.” 

“Apakah ada asosiasi yang memikirkan fasilitas dermaga yang rusak parah, mooring buoys yang tidak berfungsi? Silakan bertanya pada diri sendiri,” katanya.

Ia menambahkan, selama ini pihaknya juga “menghadapi perburuan liar dan pembakaran hutan.”

Ia lantas meminta pengusaha yang bergerak di bidang pariwisata berkontribusi, meski tidak merinci model dukungan yang ia harapkan.

Hendrikus menekankan, taman nasional hanya mempunyai dua fungsi, yaitu  “perlindungan dan pengawetan,” sementara “pariwisata itu menjadi poin yang kesekian.”

Karena itu, ia mengingatkan pelaku usaha agar “tidak hanya fokus mengurus bisnisnya sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam pengelolaan TN Komodo yang merupakan penyangga utama perekonomian di Labuan Bajo.”

“Jangan lupa, penyangga utama dari perekonomian masyarakat di Labuan Bajo sedang mengalami masalah atau  keropos,” ungkapnya. 

Hendrikus mengatakan “dukungan publik adalah salah satu hal yang paling penting untuk keberlanjutan TN Komodo.” 

Publik “mesti memiliki kesadaran kolektif untuk melakukan upaya manajemen pengelolaan TN Komodo sebelum komodo punah.” 

“Yang terjadi kalau punah pasti menyalahkan pemerintah. Lalu, muncul pertanyaan pemerintah buat apa?”, katanya.

Peserta sosialisasi penutupan TN Komodo di Labuan Bajo pada 19 Agustus 2024. (Anjany Podangsa/Floresa)

Tuding Wartawan Salah Tulis Berita

Dalam sosialisasi itu, Nandang Prihadi, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi berulang kali mengingatkan wartawan agar “tidak membuat berita yang bias kepada publik,” termasuk soal rencana penutupan TN Komodo. 

Selama ini, kata dia, “wartawan membuat berita yang memicu emosi publik” dan menuding “media memelintir pernyataan Hendrikus.”

“Wartawan jangan menulis yang tidak-tidak, itu membuat masyarakat emosi,” katanya.

Ia pun meminta peserta yang hadir dalam sosialisasi itu agar turut memberikan pemahaman kepada media yang merilis berita “yang membuat publik panas.”

Ia juga meminta wartawan agar “tidak memberitakan tentang penutupan TN Komodo dengan diksi yang berbeda di luar penjelasan kami.”

Ia menambahkan, “media hanya mencari klik ketika menulis berita terkait penutupan TN Komodo.”

Martinus Warus, anggota DPRD Manggarai Barat yang hadir dalam acara itu  mengkritisi Nandang.

Menurutnya, pelintiran istilah justru dimulai oleh BTNK sendiri karena judul rapat hari itu berbeda dengan “pembahasan.”

BTNK memberi judul rapat itu dengan “Sosialisasi Penutupan Taman Nasional Komodo,” padahal, yang dibahas adalah “rencana penutupan,” kata Martinus.

“Mestinya dilengkapi saja bahwa Sosialisasi Rencana Penutupan TN Komodo. Dengan demikian, ruang penafsirannya sempit,” kata Martinus yang merupakan mantan wartawan itu.

Marianus Marselus, seorang wartawan ikut mengomentari pernyataan Nandang yang menuding “media telah memelintir pernyataan Hendrikus.”

“Kami tidak pernah mengarang apa yang dikatakan Hendrikus, tolong tarik pernyataan itu,” katanya kepada Nandang. 

“Kami bukan provokator di sini. Apa yang kami tulis, itu yang dikatakan Hendrikus. Kalau Anda tidak puas, tanya ke Hendrikus. Apakah dia mengatakan itu atau tidak,” katanya.

Menanggapi protes itu, Nandang meminta maaf kepada para wartawan dan menarik kembali semua tuduhannya.

Nandang Prihadi, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi. (Mikael Jonaldi/Floresa)

Bagaimana Respons Warga?

Ridwan, pemuda perwakilan warga adat Ata Modo yang mendiami Pulau Komodo – berkata, mereka trauma dengan kata “penutupan” sehingga bereaksi ketika wacana ini muncul di publik. 

Ia berkata, pada 18 Agustus, mereka sudah beraudiensi dengan pihak Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, Lukman Hidayat.

Mereka diberitahu soal rencana penutupan ini, tetapi “kami tidak diinformasikan berapa lama waktunya.”

Ia berkata, warga akan setuju jika penutupan itu hanya berlangsung satu hari dalam satu minggu, sehingga “memberikan ruang kepada alam dan kami untuk rehat sejenak dari aktivitas pariwisata.” 

Selain itu, kata dia, warga juga sepakat dengan rencana pembatasan wisatawan yang berkunjung ke Kampung Komodo dan Loh Liang agar tidak membludak karena “setiap hari, jumlah kunjungan di dua tempat itu hampir sama.” 

“Kami berharap ada langkah-langkah yang lebih baik supaya TNK tetap bertahan sampai anak cucu kita,” katanya.

“Kami juga berharap supaya selalu dilibatkan dalam berdiskusi dan berpartisipasi dalam menjaga kawasan TNK,” tambahnya.

Sementara itu, Christian Fenie, seorang pengamat lingkungan hidup menyatakan, pemerintah perlu secara serius memikirkan model pengelolaan TN Komodo yang tidak hanya mengutamakan ekonomi karena pada akhirnya berdampak pada kerusakan alam, yang sebenarnya adalah objek paling utama. 

Kalau objek itu hilang, kata dia, maka “otomatis sumber ekonomi juga pasti hilang.”

TN Komodo, kata dia, mempunyai ikatan dengan alam yakni komodo, ikan, terumbu karang dan “pariwisata yang terikat dengan alam mempunyai tiga syarat utama yaitu konservasi, carrying capacity, dan ekonomi.”

“Ekonomi seharusnya menempati posisi ketiga,” kata Christian yang pada 40 tahun yang lalu menjadi konsultan pembuatan master plan pembangunan NTT.

Karena itu, katanya, permasalahan dalam TN Komodo bukan merupakan “persoalan tawar-menawar mau tutup satu hari atau mau tutup satu jam atau tutup berapa lama saja.” 

“Mau tutup hari Jumat atau Sabtu tetap sama saja, tidak ada efeknya. Karena setelah itu tamu yang datang juga pasti banyak,” katanya. 

Sebaliknya, kata dia, “permasalahannya adalah siapa yang bikin rusak, bukan bicara hari penutupan.”

Christian mengatakan sekarang, “kalau kita melihat Teluk Komodo dari Puncak Waringin, ada lebih banyak kapal daripada air di situ.” 

Semua kapal itu, kata dia, pasti membawa kerusakan terhadap terumbu karang karena banyaknya limbah dan jangkar.

Karena itu, katanya, jalan keluarnya hanya satu yaitu mengutamakan carrying capacity atau daya dukung kawasan, bukan menutupnya.

“Kita perlu membuat strategi dalam melihat persoalan ini. Bisa saja kita berkaca dari tempat wisata lainnya di Indonesia yang memiliki ikatan dengan alam,” katanya.

“Membawa tamu dengan jumlah yang keterlaluan banyaknya berdampak pada kerusakan ekosistem itu sendiri,” tambahnya.

Rentetan Polemik Kebijakan di TN Komodo

Polemik terkait rencana kebijakan pemerintah di kawasan TN Komodo terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2018, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat mewacanakan kenaikan tarif ke Pulau Komodo sebesar 1000 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp14 juta, sesuai kurs saat itu.

Setahun setelahnya, ia juga mengumumkan rencana relokasi warga adat Ata Modo ke pulau lain, mengklaim Pulau Komodo hanya boleh dihuni oleh komodo.

“Karena namanya Pulau Komodo, maka kami harus mengatur agar pulau itu betul-betul hanya terisi komodo, tidak boleh ada manusia,” pernyataan Laiskodat kala itu yang memantik kemarahan Ata Modo.

Pada 2022 Laiskodat juga mendatangkan PT Flobamor, BUMD Provinsi NTT.

Selain mendapat Izin Usaha Pengelolaan Jasa Wisata Alam [IUPJWA] di atas lahan seluas 712,12 hektare yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya, perusahaan itu juga memicu polemik karena langsung mematok angka tiket sebesar Rp3.75 juta atau Rp15 juta per empat orang dalam sistem keanggotan yang berlaku selama setahun.

Kebijakan yang memicu perlawanan warga dan pelaku wisata itu kemudian dibatalkan sebelum penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara anggota ASEAN atau ASEAN Summit pada Mei 2023.

“Pulau Komodo Bukan Pulau Kosong,” kata warga Kampung Komodo saat menggelar aksi unjuk rasa di Labuan Bajo, 17 Juli 2019 menolak rencana penutupan pulau itu. (Dokumentasi Floresa)

PT Flobamor kemudian angkat kaki tahun dari dari TN Komodo pada 22 Mei 2024, karena mengaku rugi. Penggantinya adalah PT Pantar Liae Bersaudara dan PT Nusa Digital Creative.

Terdapat beberapa perusahaan swasta lain yang mengantongi izin usaha wisata di TN Komodo, lewat skema Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA].

PT Komodo Wildlife Ecotourism yang mendapat IUPSWA melalui SK.796/Menhut-II/2014 memiliki konsesi seluas 274,81 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Pulau Komodo.

Sementara PT Segara Komodo Lestari memiliki konsesi seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca.

Mulanya, pemilik perusahan ini adalah David Makes, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ia merupakan adik dari Yozua Makes, pemilik Grup Plataran yang menguasai berbagai bisnis pariwisata, termasuk di Labuan Bajo. Pada 2022, Yozua Makes mengakuisisi PT Segara Komodo Lestari.

Grup Plataran dikenal dekat dengan Presiden Joko Widodo. Dalam sejumlah kunjungan ke Labuan Bajo, presiden menginap di resor Grup Plataran dan mengunjungi TN Komodo dengan memakai fasilitas perusahaan ini. 

Perusahaan lainnya yang mengantongi IUPSWA adalah PT Synergindo Niagatama yang memiliki konsesi seluas 15,32 hektare di Pulau Tatawa. 

Hingga kini, belum ada dari perusahaan-perusahaan yang mengantongi IUPSWA itu yang beroperasi.

Pada 2018, PT Segara Komodo Lestari sempat mulai melakukan pembangunan di Pulau Rinca, namun berhenti setelah diprotes kelompok sipil.

Herry Kabut, Mikael Jonaldi dan Anjany Podangsa berkolaborasi mengerjakan laporan ini

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA