Penyidik Polda NTT Didesak Periksa Kapolres Manggarai terkait Kasus Dugaan Kekerasan di Poco Leok

Sebagai alat negara, “mereka telah melakukan cara-cara tidak beradab pada warga dan jurnalis,” menurut Komite Keselamatan Jurnalis

Floresa.co – Penyidik Polda NTT yang kini sedang mengusut kasus kekerasan di Poco Leok didesak untuk memeriksa Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh yang dinilai ikut bertanggung jawab terhadap tindakan anak buahnya.

Erick Tanjung dari Satgas Anti Kekerasan terhadap Jurnalis di Dewan Pers dan Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ] mendesak penyidik tak hanya memproses anggota Polres Manggarai yang dilaporkan melakukan penganiayaan dan salah satu korbannya adalah Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.

Pemeriksaan Edwin, kata Erick, penting karena dia sebagai “pemberi perintah.”

“Penganiaya dan komandannya harus diperiksa dan diadili sesuai undang-undang yang berlaku,” kata Erick, Koordinator KKJ.

Pernyataan Erick disampaikan saat diskusi daring pada 21 Oktober, dengan tema “Kekerasan pada Jurnalis dan Warga Adat di Lokasi Proyek Strategis Nasional.” 

Dalam diskusi yang digelar oleh Katolikana, sebuah media Katolik itu, ia  merespons pertanyaan seorang audiens tentang perkembangan proses hukum kasus Herry dan warga Poco Leok.

Pernyataannya sejalan dengan siaran pers yang diterbitkan Floresa pada 7 Oktober, merespons konferensi pers yang digelar Edwin pada dua hari sebelumnya.

Saat itu Edwin membantah anggotanya melakukan kekerasan terhadap warga dan jurnalis. Sebaliknya, ia menyebut anggotanya bertindak sesuai SOP pengamanan di lokasi proyek.

Edwin juga mengklaim institusinya melakukan pengamanan terhadap masyarakat yang dinilai melakukan provokasi.

Floresa menilai pengakuan Edwin bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai SOP menunjukkan tanggung jawab dan garis komando dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di Poco Leok.

Selain itu, Floresa memandang keseluruhan pernyataan Kapolres menunjukkan institusinya tidak saja menyangkal kebenaran di lapangan, tetapi juga sedang berusaha mengkriminalisasi korban.

Mewakili KKJ, Erick mengingatkan “tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan pada warga dan jurnalis, sekalipun dilakukan aparat kepolisian.”

KKJ merupakan gabungan dari organisasi jurnalis, media dan masyarakat sipil. 

Kesepuluh anggotanya antara lain Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen [AJI], Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia [IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI], Southeast Asia Freedom of Expression Network [SAFEnet], Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi [SINDIKASI], Persatuan Wartawan Indonesia [PWI], serta Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia [FSPMI].

Dalam diskusi daring itu, Erick menegaskan proses hukum terhadap semua yang terlibat dalam penganiayaan harus dilakukan karena “sebagai alat negara, mereka telah melakukan cara-cara tidak beradab terhadap warga dan jurnalis.”

Herry dan perwakilan warga Poco Leok melaporkan kasus dugaan pelanggaran etik dan kekerasan oleh anggota Polres Manggarai dan seorang jurnalis berinisial TJ ke Polda NTT.

Kekerasan itu terjadi pada 2 Oktober saat Herry meliput aksi protes warga terhadap proyek geotermal. Ponselnya ikut dirampas dan dicek isinya oleh polisi.

Herry mengaku dianiaya karena tidak membawa kartu pers, kendati ia telah menunjukkan surat tugas dan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa.

TJ, seorang wartawan yang ikut dalam mobil polisi saat kembali dari Poco Leok juga dilaporkan ikut menganiaya Herry.

Saat penganiayaan terjadi, menurut pengakuan warga, aparat melarang dan mengejar mereka saat berusaha mendokumentasikannya.

Laporan Herry diajukan pada 11 Oktober, baik untuk tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] maupun etik di Propam.

Sedangkan laporan warga Poco Leok diajukan pada 11 Oktober untuk etik dan 14 Oktober terkait tindak pidana umum.

Dalam pelaporan, warga Poco Leok yang diwakili Karolus Gampur mengadukan tindak kekerasan terhadapnya dan warga lain saat aksi “Jaga Kampung” pada 2 Oktober di Lingko Meter, bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.

“Penyidik tak perlu ragu memproses mereka karena sudah ada yurisprudensinya,” kata Erick. 

Yurisprudensi, atau keputusan hakim dalam kasus serupa terdahulu yang menjadi acuan Erick terkait dengan penganiayaan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi. 

Nurhadi dianiaya dua anggota kepolisian ketika menjalankan penugasan jurnalistik pada 27 Maret 2021 di Surabaya, Jawa Timur.

Sepuluh bulan kemudian, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis 10 bulan penjara terhadap kedua polisi penganiaya Nurhadi. 

Keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai unsur-unsur yang tercakup dalam Pasal 18 ayat [1] Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juncto Pasal 55 ayat [1] KUHP.

Sementara itu, Siprianus Edi Hardum, Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Edwin.

Polisi, katanya, tentu tidak boleh menyimpang dari tugas sebagaimana diamanatkan UU Polri yakni melindungi masyarakat, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum. 

“Kalau polisi menganiaya warga apalagi wartawan karena kritis dalam menyajikan berita, sesungguhnya polisi sedang merusak demokrasi dan hukum,” katanya. 

Edi juga menyayangkan keterangan Kapolres bahwa Herry diamankan karena tidak menunjukan kartu pers, sementara Herry menunjukan surat tugas dan keterangan statusnya di web Floresa.

“Keterangan Kapolres seperti ini menunjukan beliau kurang paham UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik serta pedoman media siber,” tegas mantan wartawan dan redaktur Harian Umum Suara Pembaruan ini.

Edi menjelaskan, dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik dinyatakan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran bunyi pasal cara-cara yang profesional salah satunya adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber. 

“Jadi menunjukan identitas itu bukan hanya terpaku pada kartu pers, tetap juga surat tugas. Bahkan surat tugas lebih tinggi posisinya dari kartu pers,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini. 

Desakan pencopotan Kapolres juga sebelumnya disampaikan oleh sejumlah elemen lain.

Dalam aksi protes di depan Mabes Polri dan kantor PLN di Jakarta pada 7 Oktober, massa membawa sejumlah poster mendesak pencopotan Edwin.

“Copot Kapolres Manggarai atas Tindakan Kekerasan terhadap Masyarakat Poco Leok dan Intimidasi kepada Jurnalis,” bunyi salah satu poster dalam aksi itu.

Dikonfirmasi Floresa soal responnya terhadap langkah Herry dan warga melapor kasus ini ke Polda NTT, Edwin menolak berkomentar, mengklaim sudah memberi klarifikasi tentang kasus ini, merujuk pada pernyataannya pada 5 Oktober.

“Kita tunggu hasil tim yang turun berdasarkan laporan yang sudah dibuat,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA