Floresa.co – Pemerintah mengumumkan peningkatan status Gunung Berapi Ile Lewotolok yang naik ke level “waspada”, menyusul meningkatnya aktivitas di sekitar mulut gunung berupa gemuruh dan letusan yang mengeluarkan lava.
Pemerintah juga mengimbau warga untuk tidak berada di sekitar area beradius dua kilometer dari gunung dan menjauhi aliran lava.
Pengumuman ini disampaikan pada 27 Februari oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi [PVMBG], lembaga di bawah Badan Geologi yang rutin memantau perkembangan Gunung Ile Lewotolok.
Dalam laporannya, PVMBG mengamati sebanyak 173 kali letusan dengan ketinggian abu 200-600 meter dan warna asap kelabu.
Sementara, asap kawah teramati berwarna putih dengan intensitas sedang hingga tebal dan tinggi 50-400 meter di atas puncak kawah.
“Letusan disertai lontaran lava pijar dan dentuman lemah,” kata Fajaruddin M. Balido, petugas PVMBG dalam rilis yang diterima Floresa pada 27 Februari.
Pengumuman terkait peningkatan kegempaan dan aktivitas erupsi Gunung api Ile Lewotolok juga disampaikan Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid.
Dalam keterangannya yang diterima Floresa pada 27 Februari, Wafid menjelaskan, visual selama tanggal 1-24 Februari 2025, “teramati asap kawah utama berwarna putih dan kelabu dengan intensitas tipis hingga tebal yang tinggi sekitar 5-300 meter dari puncak.”
Selain itu, jelasnya dalam surat bernomor: 35 /KM.05/BGL/2025, teramati erupsi dengan tinggi 100-400 meter dari puncak, kolom erupsi berwarna putih hingga kelabu.
“Saat terjadi erupsi di malam hari, teramati lontaran material pijar di sekitar kawah,” kata Wafid.
Hingga 24-25 Februari, katanya, gempa hembusan dan letusan masih mendominasi rekaman kegempaan, sedangkan gempa Erupsi berkisar 3-4 kejadian perhari dan gempa letusan yang diikuti dengan rekaman tremor harmonik.
Tremor harmonik adalah getaran berkelanjutan yang memiliki frekuensi puncak yang berulang, biasanya berkaitan dengan aktivitas magma di bawah tanah dan menandai adanya erupsi gunung api.
“Gempa letusan meningkat sejak 25 Februari hingga 26 Februari pukul 12.00 WITA, mencapai 167 kali kejadian,” lanjutnya.
Peningkatan aktivitas seismik ini tidak teramati secara signifikan dari data deformasi, merujuk pada data yang menunjukkan perubahan bentuk, posisi, atau dimensi suatu benda.
Data deformasi dapat digunakan untuk menganalisis apakah perpindahan yang terjadi sudah signifikan atau belum.
“Hal ini mengindikasikan tidak adanya perubahan deformasi baik itu inflasi [penggembungan] maupun deflasi [pengempisan] pada tubuh Gunung Ile Lewotolok,” kata Wafid.
“Dapat diduga bahwa sumber tekanan berada di bagian atas atau pada kedalaman dangkal G. Ile Lewotolok,” tambahnya.
Warga Diimbau Menjauh
‘Waspada’ merupakan level II dari empat tingkat status aktivitas gunung api. Level III adalah ‘siaga,’ sementara level IV atau tertinggi adalah ‘awas.’
Pada level I atau ‘normal’, tidak terdapat perubahan aktivitas secara visual, seismik, dan kejadian vulkanik sedangkan level ‘waspada’ menandai adanya peningkatan aktivitas tersebut.
Letusan utama biasanya terjadi pada level ‘siaga’, mengikuti peningkatan aktivitas vulkanik yang semakin tinggi.
Sementara saat level ‘awas’, kemungkinan gunung berapi akan meletus selambat-lambatnya dalam kurun waktu 24 jam.
Melalui pesan WhatsApp, Fajaruddin mengimbau masyarakat di sekitar, termasuk pengunjung, pendaki dan wisatawan agar “tidak memasuki dan tidak melakukan aktivitas di dalam wilayah radius 2 kilometer dari pusat aktivitas Gunung Ile Lewotolok.”
Ia juga mengingatkan warga Desa Lamatokan dan Desa Jontona agar selalu mewaspadai potensi ancaman bahaya guguran atau longsoran lava dari bagian timur puncak kawah.
Kedua desa tersebut, yang terpaut sekitar 8 kilometer, terletak di Kecamatan Ile Ape Timur, 18 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Fajarudin berkata, selain area timur, warga kedua desa tersebut mewaspadai bahaya dari guguran atau longsoran lava dari bagian selatan dan tenggara puncak atau kawah gunung tersebut.
Apa Kata Warga?
Laurensius Laba Halimaking, warga Desa Jontona berkata kepada Floresa bahwa informasi tentang perubahan status gunung itu ke level “waspada” menjadi penting karena rumahnya termasuk berada dalam zona merah.
Namun, ia menyebut warga di desa itu masih menganggap “biasa” terhadap fenomena perubahan status Gunung Ile Lewotolok.
“Mungkin karena belum ada kejadian luar biasa,” kata Laurensius pada 27 Februari.
Meski demikian, katanya, warga tetap mengindahkan imbauan dari pemerintah desa untuk menjauhi wilayah yang berada di radius dua kilometer dan tidak berada di area aliran lava.
Menurutnya, warga sudah mengantisipasi bahaya dari Gunung Ile Lewotolok dengan berjaga-jaga sepanjang waktu.
Sementara Kepala Desa Jontona, Nikolaus mengaku merasakan getaran disertai gemuruh yang terdengar dari puncak gunung.
Kepada Floresa pada 27 Februari, ia berkata, selama sepekan warganya berulang kali mendengar letusan.
“Bunyi gemuruh terus terjadi, yang disertai getaran kuat dan deras. Getaran atap rumah terdengar seperti merasakan gempa,” kata Nikolaus, yang menyebut desa itu berjarak 4 kilometer dari puncak Gunung Ile Lewotolok.
Dalam bahasa Lamaholot yang sebagian penuturnya tinggal di Flores Timur, Solor, Adonara, dan Lembata, “Ile Lewotolok” berarti “gunung kampung atau negeri runtuh.”
Ia juga dikenal dengan sebutan “Ile Ape”, yang berarti “Gunung Api.”
Selain Desa Jontona, beberapa desa lainnya di Kecamatan Ile Ape Timur juga telah ditetapkan berada di zona merah, yakni Desa Waowala, Desa Lamagute, Desa Waimatan, Desa Aulesa, Desa Lamaau, Desa Bola Liduli, Desa Lamawolo dan Desa Todanara.
Sementara Desa Tanjung Batu, Desa Amakaka, Desa Lamawara, Desa Bungamuda dan Desa Napasabok termasuk zona merah untuk Kecamatan Ile Ape.
Nikolaus berkata, untuk mengantisipasi bencana letusan, pihaknya sudah menyiapkan armada laut, kendaraan roda dua, dan truk.
“Desa juga membentuk tim siaga, terdiri atas perangkat desa dan Linmas serta warga,” katanya.
Warga, kata dia, memang kerap menganggap biasa fenomena gemuruh dan letusan dari Gunung Ile Lewotolok.
Meski demikian, katanya, pemerintah desa selalu mengimbau untuk selalu waspada, hal yang rutin diingatkan melalui pengeras suara oleh staf Desa Jontona pada malam hari.
“Kami tentu menyampaikan itu ke warga,” kata Nikolaus.
Ia mengharapkan tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kabupaten Lembata merespons situasi tersebut dengan mendatangi warga Desa Jontona.
“Kami butuh penjelasan mengenai bahaya letusan dan cara antisipasi bahaya erupsi,” katanya.
Nikolaus menyebut tim BPBD terakhir mengunjungi desa itu pada 2024.
Floresa menghubungi kepada BPBD Lembata Andris Koban pada 27 Februari, menanyakan rencana sosialisasi mitigasi bencana erupsi Gunung Ile Lewotolok.
Hingga berita ini diterbitkan, ia tidak merespons pesan Whatsapp meski sudah bercentang dua, tanda pesan terkirim.

Diapit Gunung Berapi
Wilayah kepulauan Lembata diapiti beberapa gunung berapi aktif, salah satunya Gunung Ile Lewotolok.
Dalam buku Ata Kiwan yang terbit pada 1984, ahli etnografi Jerman, Ernst Vatter menulis pulau kecil di sebelah timur Flores itu “ibarat disabuki empat gunung api,” masing-masing Ili Lewotolok, Iliwerung, Batutara dan Hobal.
Bahasa Lamaholot yang sebagian penuturnya tinggal di bagian timur Flores dan Lembata mengenal “ata kiwan” sebagai “orang gunung.” Sementara “ili” atau “ile,” sesuai pelafalan warga setempat berarti “gunung.”
Ile Lewotolok di barat laut Lembata tercatat lebih dari 200 kali erupsi dalam setahun belakangan.
Hanya dalam sepekan saja menjelang akhir April 2024, gunung api setinggi 1.455 meter di atas permukaan laut itu mencatatkan 173 kali erupsi.
Sebelumnya, erupsi pertama gunung itu terjadi pada 27 November 2020 yang diawali dengan erupsi dengan tinggi kolom mencapai 500 meter di atas puncak.
Puncaknya pada 29 November 2020 dengan tinggi kolom erupsi lebih dari 4.000 meter di atas puncak. Akibat bencana itu, tercatat lebih dari 6.237 dievakuasi, namun tidak ada korban jiwa.
Sementara di tenggara pulau itu “Ile Werung terakhir meletus besar pada 1948.”
Ile werung telah 17 kali meletus besar, sejak sejarah erupsinya mulai tercatat pada 1870. Periode letusan terpendek gunung yang menghadap Laut Sawu itu adalah selama satu tahun. Rentang letusan terpanjang hingga 40 tahun.
Letusan Ile Werung turut membentuk kubah-kubah baru, seperti Ile Petrus, Ile Gripe, Ile Mauraja, Ile Kedang, Ile Pohara serta kawah Adowajo.
Kerucut-kerucut api Ile Werung dilatari Tanjung Atadei yang langsung terhubung dengan Laut Sawu.
Editor: Anno Susabun