Kolaborasi Lintas Elemen, Warga Dusun Kerora di Taman Nasional Komodo Tak Lagi Krisis Air

Hampir setiap rumah mempunyai kran air, situasi yang jauh berbeda dari tahun-tahun silam

Floresa.co – “Walaupun belum ada listrik, air sudah aman,” kata Basir, Kepala Dusun Kerora, Desa Pasir Panjang pada 18 Maret.

“Kerora sudah jauh lebih sejahtera,” tambahnya, menjelaskan ketercukupan air di desa yang berada di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo itu, salah satu habitat utama binatang purba komodo.

Dusun Kerora mencakup dua kampung – Kerora dan Wae Rebo. 

Basir berkata, pembangunan fasilitas air bersih di Kerora rampung sejak tiga bulan lalu dan “sudah bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat.”

Di Wae Rebo, pembangunannya dilakukan melalui swadaya masyarakat dan bantuan dana dari Yayasan Perahu Kuning Harapan.

Ia berkata, dana tersebut dipakai untuk membeli selang agar dapat mengalirkan air dari mata air Wae Dese yang terpaut sekitar empat kilometer dari Kampung Kerora.

Air itu ditampung dalam dua unit toren, masing-masing berukuran 5.200 liter dan 3.800 liter dan selanjutnya dialirkan ke rumah-rumah warga.

“Di Wae Rebo, air disambung langsung ke rumah warga. Satu kran satu rumah,” katanya.

Di Wae Rebo, air disambung langsung ke rumah warga. Masing-masing rumah memiliki satu kran air. (Dokumentasi Meralda Adam)

Basir berkata, Yayasan Perahu Kuning Harapan juga membangun satu sumur sedalam sembilan meter di Wae Rebo.

Sumur itu sudah mengeluarkan air, kendati belum bisa dimanfaatkan karena “pipa dari sumur ke rumah warga belum ada.”

Pembangunan fasilitas air minum di Kampung Kerora menelan anggaran Rp239 juta yang bersumber dari dana desa.

Ia tidak tahu persis penggunaan dana itu karena pengerjaannya diserahkan ke pihak ketiga, Adrianus Yanto, teknisi air dari Manggarai Timur.

Ia hanya beberapa item pekerjaan yang dibiayai oleh dana desa, di antaranya “perbaikan bak di mata air Wae Dese.” 

Dana desa itu, kata dia, juga digunakan untuk penggantian selang sepanjang 1.000 meter dan pembuatan bak baru berukuran 2×2 meter.

“Air dari Wae Dese ditarik pakai selang. Sekarang di Kampung Kerora tiga rumah satu kran,” katanya. 

Ketua Yayasan Perahu Kuning Harapan, Meralda Adam berkata, selain mengandalkan Wae Dese, warga Wae Rebo juga menggunakan sumur.

Pengerjaannya dimulai sejak 18 Juli 2024 dan “warga bergotong royong menggali tanah sampai mendapatkan air.”

Penentuan titik air dilakukan oleh Djuhari, seorang warga yang mahir mencari sumber air dengan metode tradisional.

Djuhari, katanya, membentangkan ranting pohon hingga ujungnya kelihatan ditarik ke permukaan tanah.

“Di titik itulah diyakini adanya sumber air,” kata Merlda kepada Floresa pada 20 Maret.

Djuhari, seorang warga sedang mencari sumber air untuk pembangunan sumur di Kampung Wae Rebo dengan metode tradisional. (Dokumentasi Meralda Adam)

Setelah digali secara manual selama enam hari, “tanah sudah mulai terasa lembab.”

Sumber air baru ditemukan pada kedalaman delapan hingga sembilan meter, tepat satu minggu penggalian.

Merlada berkata, memang sepenuhnya fokus pada pengadaan dan pembangunan fasilitas di Wae Rebo, namun “kami support juga mata air yang sudah ada di Kerora.” 

“Kami bersihkan mata air itu sehingga ketemu beberapa mata air baru. Jadi debit air semakin banyak. Kami juga rehab bak di dekat mata air itu.” 

Pengerjaan bak di dekat mata air yang sudah ada tersebut melibatkan warga yang dipimpin Basir dengan kolaborasi bersama Adrianus Yanto. 

Lantaran ditemukan beberapa mata air baru, “mereka merenovasi dan memugar bak tersebut menjadi lebih besar” dengan kapasitas 8.000 liter.

Dari bak tersebut air dialirkan ke toren bekas untuk selanjutnya dialirkan ke pemukiman warga di Wae Rebo.

“Torennya kotor karena sebelumnya nggak tahu mau isi apa, akhirnya terbengkalai. Daripada mubazir dan beli baru, kami bersihkan,” katanya. 

Bak di sekitar Wae Dese saat direnovasi dan dipugar oleh warga dan Adrinaus Yanto, teknisi air dari Manggarai Timur. (Dokumentasi Meralda Adam)

Meralda berkata, untuk air minum “bisa menggunakan air dari mata air atau sumur yang kami bangun” namun harus pakai filter air-alat yang digunakan untuk menyaring air hujan sehingga layak dikonsumsi.

Pada Agustus 2023, Yayasan Perahu Kuning Harapan mendistribusikan 60 unit filter air kepada warga, dua unit ke SDI Kerora, dan satu unit ke pos Balai Taman Nasional Komodo.

Meralda berkata, pihaknya juga membantu mengalirkan air dari Wae Dese ke SDI Kerora dengan cara “membuat jalur air, menyedikan toren dan wastafel.”  Sejak didirikan pada 1 Juli 1999, sekolah tersebut memang tidak akses terhadap air.

Ia menjelaskan, anggaran Rp240 juta yang dialokasikan pemerintah desa “sebenarnya tidak cukup jika dirincikan dengan kebutuhan warga.” 

Setiap kali ke Kerora, Meralda membutuhkan biaya Rp1 juta dengan rincian Rp500 ribu untuk sewa mobil, sisanya untuk bahan bakar perahu.

“Namun, dengan semangat gotong royong, kami cukup-cukupin dana tersebut dengan spek yang minimalis, tapi tetap efektif,” kata Meralda.

Ia berkata, supaya lebih irit “kami pakai pasir dan batu yang tersedia di kampung” saat pembangunan bak.

“Begitupun dengan belanja pipa, selang, dan toren. Kami gunakan yang ada di kampung jika kondisinya masih layak pakai. Kami hanya perlu bersihkan lagi,” katanya.

Basir berkata, “kemungkinan kecil pemerintah desa akan mengalokasikan dana lagi untuk pengadaan selang sehingga air bisa masuk ke setiap rumah” di Kampung Kerora, seperti halnya di Kampung Wae Rebo.

Pesimisme itu muncul karena “proses untuk mendapat anggaran pembangunan fasilitas air minum dari pemerintah desa cukup rumit dan alot.”

Meralda menyebut Kepala Desa Pasir Panjang, Nurdin “sempat ngeyel” karena “lebih mengutamakan lampu jalan ketimbang air bersih.”

Karena itu, pada 28 Mei 2024, ia menginisiasi sebuah pertemuan yang melibatkan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Pius Baut dan Nurdin “sampai akhirnya Anggaran Pendapatan Belanja Desa [APBDes] Perubahan” di mana dana pengadaan lampu jalan dialihkan menjadi dana pembangunan fasilitas air bersih.

Saat itu, pemerintah desa berencana mengalokasikan Rp30 juta untuk program air minum bersih, sementara untuk program pengadaan lampu jalan Rp210 juta.

Meralda mengkritisi rencana itu, menyebut air adalah prioritas bagi warga, alih-alih lampu jalan.

Diskusi itu kemudian menghasilkan keputusan bahwa dana Rp240 juta akan digunakan program air minum dan tidak ada pengadaan lampu jalan.

Perlu Perawatan

Dalam percakapan via WhatsApp dengan Floresa, Basir berkali-kali berkata “sekarang air sudah aman.”

Ia mengaku kondisi sekarang sudah berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya, saat mereka harus membeli air galon di Labuan Bajo dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari memanfaatkan satu-satunya sumur di tengah kampung.

Lantaran kesulitan mengakses air, pada Mei 2024 putrinya yang berusia 10 tahun pernah jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Komodo di Labuan Bajo. 

Hasil tes di laboratorium rumah sakit itu menunjukkan anaknya menderita infeksi ginjal “karena kurang mengonsumsi air.”

Kini, ia berharap, air yang sudah tersedia “bisa dijaga dan dirawat oleh warga sampai kapanpun.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA