Floresa.co – Polisi di Kabupaten Lembata, NTT menetapkan tersangka kasus kekerasan terhadap anak yang dituding mencuri di rumah salah seorang kepala desa.
Penetapan tersangka terhadap lima orang orang itu terjadi usai pemeriksaan dan gelar perkara di Polres Lembata pada 7 April malam.
H, 14 tahun, menjadi korban penganiayaan pada 2 April di Desa Normal I, Kecamatan Omesuri, berjarak sekitar 63 kilometer dari Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata.
“Para pelaku diancam hukuman pidana tujuh tahun sesuai pasal 80 ayat 1 Juncto Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No 23 tahun 2021 dan Pasal 170 KUHP subsider pasal 351 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lembata, AKP Donatus Sare kepada Floresa pada 7 April.
Pasal 80 ayat (1) Juncto Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur pemidanaan pelaku kekerasan terhadap anak. Sementara, Pasal 170 KUHP subsider pasal 351 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP dapat digunakan untuk menjerat tindak pidana pengeroyokan dan penganiayaan.
“Para tersangka dalam kasus ini adalah Hasan, Polus, Aldin, Lukman, dan Mega,” katanya.
Mereka memliki peran kelima tersangka ini berbeda-beda, katanya, merujuk pada tindakan kekerasan menggunakan tangan, sandal, menendang, menampar, menelanjangi dan mengarak korban keliling kampung.
“Para tersangka mengaku melakukan penganiayaan karena spontanitas setelah mengetahui korban mencuri alat cukur listrik dan silikon handphone di rumah kepala desa,” katanya.
Usai penetapan tersangka proses selanjutnya “kami melengkapi administrasi, dilanjutkan penerbitan surat perintah penangkapan, dan melakukan pemeriksaan tersangka.”
“Malam ini para tersangka langsung ditahan di Polres Lembata,” katanya.
Bagaimana Kronologinya?
Siti Sara Jalil, orang tua korban, melapor kasus ini ke Polres Lembata pada 4 April, dengan Nomor Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor STILP/59/IV/2025/SPKT/RES Lembata.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh Floresa dari Polres Lembata, sebelum dianiaya korban tertangkap mengambil satu alat cukur listrik dan satu buah pelindung ponseldi rumah Kepala Desa Normal I, Sinun Saleh Taslim.
“Seorang bernama Mega kemudian berteriak, yang membuat korban ketakutan dan melarikan diri ke arah pantai melalui jendela belakang rumah,” kata Donatus Sare kepada Floresa pada 6 April.
Namun, katanya, setelah beberapa saat warga mulai melakukan pencarian dan menemukannya, korban kemudian dibawa ke rumah Sinun.
“Ketika korban hendak dibawa, ia ditabrak Husni Munir yang sedang mengendarai sepeda motor,” katanya.
Husni Munir adalah Ketua Badan Permusyawaratan Desa Normal I.
Tak sampai di situ, lanjut Donatus, pelaku lain bernama Polus ikut memukul korban menggunakan kayu.
“Mega juga datang, lalu menampar korban dan memukul korban menggunakan tali. Pelaku lain bernama Aldin datang langsung melempar korban menggunakan sandal dan menendang korban,” katanya.
Sementara Lukman yang menemui korban langsung menendangnya berulang kali dan menelanjangi korban sembari mengikat kedua tangannya.
“Korban diarak mengelilingi kampung Normal I sambil disuruh berteriak mengatakan ‘saya pencuri’ secara berulang-ulang,” kata Donatus.
Penganiayaan itu membuat “korban mengalami memar di kaki bagian kanan dan leher di bagian belakang.”
Tiga hari usai kejadian, Husni Munir membantah keterlibatan dirinya dan mengklaim “melerai massa ketika H dikerumuni dan dipukuli.”
“Saya sampai di lokasi massa sudah banyak. Tidak benar kalau saya ikut telanjangi anak itu. Informasi itu tidak benar”, kata Husni Munir sebagaimana dilansir SuluhNusa.com.
Sinun berkata kepada Floresa bahwa Lukman, petugas perlindungan masyarakat di desa itu, langsung diberhentikan usai terlibat menganiaya korban.
“Saya pastikan Lukman diberhentikan. Sementara, putusan pemberhentian Husni Munir ada pada kewenangan Camat Omesuri,” kata Sinun.
Bentuk Pelanggaran HAM
Siti Sara Jalil berkata “anaknya layak mendapat keadilan karena menjadi korban kekerasan dan penganiayaan.”
“Saya tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Anak saya harus dilindungi dan pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya,” kata Siti dalam rilis yang diterima Floresa pada 5 April.
Merespons kasus itu, Beka Ulung Hapsara, pegiat sosial dan hak asasi manusia berkata, tindakan penelanjangan terhadap H sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dan etika kemanusiaan.
Menentang prinsip dan etika kemanusian, kata Beka, “karena tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, apalagi dilakukan kepada anak di bawah umur yang sedang bertumbuh, baik fisik maupun psikisnya.”
“Kejadian itu bisa menimbulkan trauma berkepanjangan dan pengucilan si anak dari lingkungan sosial,” kata Beka kepada Floresa pada 6 April.
“[Perbuatan] mencuri memang salah, tetapi yang lebih penting adalah mencari latar belakang atau konteks kenapa si anak bisa mencuri, karena miskin, kelaparan atau hal lain,” kata Beka.
Menurutnya, pada situasi ini perlu dibuatk solusi jangka panjang dari aparat desa atau pemerintah daerah yang bisa mengurangi tingkat kriminalitas di Kabupaten Lembata.
Aksi “1000 rupiah” untuk Korban
Peristiwa penganiayaan itu menuai sorotan dari warga Lembata melalui media sosial.
Siti Sauda Purab, salah satu warga Lembata menulis di Grup Facebook “Bicara Lembata New”; “sangat sedih melihat anak H. Seandainya ibu itu punya anak, maka dia pasti punya hati. Tapi, entahlah [mungkin] hatinya sudah jadi beku.”
Di grup yang sama, Benedikta B.C. Da Silva, warga lainnya, menyayangkan sikap seorang ibu dan anggota Linmas yang terlibat langsung menelanjangi H. Ia juga mempertanyakan peran kepala desa setempat.
“Di mana [peran] kepala desa?”, tulis Bendekta.
Sementara itu, warga di Lewoleba menggalang donasi 1000 rupiah “untuk menggantikan barang yang diduga dicuri korban”, bentuk solidaritas dan kecaman untuk aksi penganiayaan itu.
Pantauan Floresa pada 6 April, penggalangan dana dilakukan relawan Komunitas Musisi dan Lintas Komunitas Lembata di sepanjang jalan menuju pasar Lewoleba.
“Kami melakukan ini karena merasa iba dengan korban dan berharap kasus ini menjadi perhatian seluruh warga Lembata,” kata Aslan Watun, salah satu relawan Komunitas Musisi dan Lintas Komunitas Lembata kepada Floresa.
Kasus penganiayaan H menambah deretan persoalan kekerasan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Lembata.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [P2PA] tahun 2023, angka kekerasan terhadap anak sebanyak 44,55 persen atau 45 kasus.
Sementara berdasarkan laporan LSM Permata, pada 2023 terdapat 30 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten itu, mencakup kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran.
Editor: Anno Susabun