Floresa.co – Di tengah perlawanan warga yang kencang di berbagai lokasi di Flores dan Lembata, pemerintah terus berupaya meloloskan proyek-proyek geotermal.
Proyek-proyek itu diklaim sebagai bagian dari agenda transisi energi, sementara di sisi lain warga mempunyai basis argumentasi sendiri untuk menentangnya.
Gerakan perlawanan yang kian kencang, menurut pembicara dalam diskusi bertajuk “Proyek Geotermal di NTT: Berkah atau Petaka?” terjadi karena sarat dengan dominasi negara dan mengganggu ruang hidup warga.
Di sisi lain, menurut Fatih Gama Abisono Nasution, salah satu narasumber diskusi yang digelar pada 24 Juni di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta itu, proyek geotermal justru membawa persoalan sosial.
“Alih-alih menjadi Proyek Strategis Nasional, ini malah jadi Proyek Sengsara Nasional yang menyisakan air mata bagi warga desa,” katanya.
Diskursus Global dan Kepentingan Ekonomi Politik-Nasional
Ignatius Jaques Juru, peneliti isu sosial dan demokrasi yang juga menjadi pembicara berkata, pembahasan tentang geotermal harus diletakkan dalam konteks perkembangan diskursus di tingkat global, terutama terkait transisi energi dan perubahan iklim.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata dia, Indonesia menjadikan isu transisi energi sebagai bagian dari diplomasi luar negeri.
Pemerintah kemudian ikut meratifikasi perjanjian-perjanjian penting terkait hal tersebut.
Hal itu berlanjut pada upaya memberi jalan tol bagi pengembangan energi yang diklaim bersih, seperti geotermal. Cara yang ditempuh adalah mengubah undang-undang.
Sebelumnya, geotermal merupakan bagian dari pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2003.
Namun, UU Nomor 21 Tahun 2014 tak lagi mengkategorikannya sebagai pertambangan.
Ia berkata, regulasi ini menjadi kerangka dasar yang memungkinkan proyek geotermal menjadi “barang bebas” yang bisa dibangun di mana saja, baik di kawasan konservasi, hutan lindung, maupun tanah-tanah adat.
“Ini hanya gestur politik — bukan berdasarkan kebenaran objektif — untuk menjustifikasi geotermal sebagai energi baru dan terbarukan,” kata Rian, sapaannya.
Dalam konteks Flores, kata dia, pergeseran diskursus itu berjalan bersamaan dengan penetapannya sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.
Penetapan itu, bukan semata karena Flores menyimpan potensi panas bumi, tetapi di baliknya “ada konteks global dan kepentingan ekonomi-politik nasional.”
Karena itu, transisi energi atau energi hijau dikonstruksi sebagai kebutuhan strategis yang harus dibangun dalam skala besar, termasuk di Flores.
“Negara membangun narasi seolah-olah proyek ini adalah ‘berkat’ bagi warga,” katanya.
Rian berkata, dalam pidato-pidato elit nasional, warga Flores pun disebut “hidup di tanah surga yang diberkahi energi panas bumi.”
Karena itu, panas bumi harus dimanfaatkan “untuk kesejahteraan warga dan sebagai kontribusi dalam mengatasi perubahan iklim global.”

Lima Skema Dominasi di Flores
Di tengah perlawanan yang kencang di Flores, Rian menyebut negara menggunakan beragam skema dominasi untuk meloloskan proyek geotermal. Ia mengklasifikasinya ke dalam lima skema.
Salah satunya adalah kontrol narasi. Dalam skema ini, “banyak media baru muncul dan ada yang tiba-tiba jadi jurnalis untuk memberitakan tentang transisi energi.”
Ia berkata, kontrol narasi juga dilakukan melalui konstruksi pengetahuan di mana negara menghadirkan antropolog untuk menyatakan “tidak ada masyarakat adat di wilayah proyek.”
Rian menegaskan, kontrol narasi ini dilakukan untuk melemahkan perlawanan warga.
Kendati demikian, kata dia, warga tidak tunduk pada konstruksi pengetahuan kolonial tentang masyarakat adat.
“Bagi warga, masyarakat adat adalah ketika mereka hidup dengan cara tertentu seperti membangun relasi kosmologis dengan leluhur dan beraktivitas di kebun.”

Kontrol narasi juga diutarakan oleh Hans Hayon, analis media monitoring yang ikut menjadi narasumber diskusi.
Hans mencontohkan upaya menguasai narasi di ruang publik dengan argumentasi pakar panas bumi dari Universitas Gadjah Mada, Pri Utami yang diundang Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena ke Kupang pada April untuk memperkuat legitimasi proyek secara ilmiah.
Selain itu, topik berita berkisar tentang apresiasi Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai yang dianggap konsisten mendukung dan bersinergi dengan PLN untuk mendukung pengembangan geotermal.
“Narasi penolakan atau wacana tandingan dari warga atau dari gereja hanya muncul di media lokal, paling banyak di Floresa, media alternatif yang memberi ruang bagi suara warga yang menolak proyek ini,” katanya.
Menariknya, kata Hans, berdasarkan bot detection, sebanyak 67 persen isu geotermal tidak organik karena kontennya disebarkan dari akun cyborg serta dua persen menggunakan robot. Ia menyebut hanya 31 persen konten yang disebarkan manusia atau pengguna organik.
“Ini menunjukkan bahwa distribusi informasi sangat rentan dimanipulasi oleh jaringan tidak organik untuk memperkuat atau melemahkan narasi tertentu,” katanya.
Rian berkata, negara juga menjalankan dominasinya dengan menggunakan perangkat regulasi di mana “orang-orang yang melawan dianggap mengganggu pembangunan.”
Perangkat regulasi itu tidak memberi ruang terhadap protes dan suara politik resistensi warga.
“Ketika terjadi penolakan yang luar biasa, pemerintah menggunakan bahasa otoritatif untuk menjustifikasi legalitas pelaksanaan proyek.”
“Beberapa bahasa itu misalnya, ‘kalian tidak bisa menolak karena ini program pusat,’ ‘tanah ini sudah disetujui pemilik tanah,’ ‘kami bisa mengakses ini atas dasar kepentingan umum,’” katanya.
Lebih lanjut, menurut Rian, dominasi negara juga dijalankan melalui skema societal corporatism (korporatisme sosial).
Hal itu terjadi dengan melibatkan warga dalam proyek, menawarkan beasiswa, Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dan janji-janji kepada warga agar memberi dukungan.
Skema ini, kata dia, menyebabkan kontestasi dan konflik horizontal antara masyarakat yang mendukung dan menolak proyek.
Ia berkata, negara juga menggunakan kekuatan intimidatif dengan mengerahkan aparat keamanan untuk melakukan kekerasan fisik serta menghadirkan lembaga-lembaga yang punya otoritas untuk menekan warga secara psikologis.
Selain itu, katanya, negara melanggengkan dominasi dengan modal.
Ia mencontohkan proyek geotermal Wae Sano yang pada awal didanai World Bank atau Bank Dunia.
Lantaran warga menolak proyek itu, Bank Dunia memutuskan mengundurkan diri dan pendanaannya berasal dari APBN.
“Melalui cara ini, negara seakan-akan ingin menegaskan, ‘kalau negara yang mengelola proyek ini, tidak ada lagi suara yang berbeda,’” katanya.

Mengapa Penolakan Terus Muncul?
Rian berkata, beragam bentuk gerakan perlawanan terjadi karena agenda negara yang kontras dengan kepentingan dan aspirasi warga.
Ia mencontohkan soal narasi demi transisi energi untuk menguasai lahan-lahan warga.
Hal itu sangat jauh dari pikiran warga di mana mereka memandang “tanah bukan semata-mata tempat hidup, tetapi juga tempat berelasi secara kultural dan spiritual.”
Rian berkata, warga Flores melawan proyek geotermal dengan menggunakan narasi ruang hidup.
“Negara datang dengan narasi besar, yakni ‘pembangunan, energi hijau, dan transisi energi,’ tapi warga punya narasi sendiri yakni ‘ini ruang hidup kami,’” katanya.
Ruang hidup, katanya, bisa disandingkan dengan politics of belonging, yaitu politik yang selalu terhubung dengan sesuatu yang melekat dalam dirinya, entah hubungan dengan tanah, pekerjaan maupun dengan lingkungan sosial.
“Bagi warga, kehadiran proyek geotermal mendistraksi dan mengganggu cara mereka melihat ruang hidup,” katanya.
Karena itu, kata dia, kendati dalam kasus seperti proyek geotermal di Wae Sano, Manggarai Barat, negara dengan berbagai aparatusnya – tentara, polisi, ilmuwan, antropolog serta investor – “menentukan titik-titik pengeboran di dekat rumah dan kebun,” warga menentang.

Dalam budaya Manggarai, kata dia, warga memaknai kampung secara mendalam karena terkait dengan identitas mereka sebagai komunitas adat.
Di dalam kampung terdapat natas labar (tempat bermain), uma bate duat (kebun untuk bekerja), wae teku (mata air), boa (kuburan leluhur) dan compang (tempat memberi persembahan).
Ia berkata, warga yang menolak adalah mereka yang memang memiliki kedekatan dan menjadi bagian dari ruang untuk beraktivitas dalam mengakses mata pencaharian.
Karena itu, seberapapun meyakinkan kajian negara dengan justifikasi sains, warga tetap melihatnya sebagai praktik yang dominatif.
“Warga menganggap kedatangan aparatus negara tidak menghargai mereka yang menjadi penguasa teritorial di situ,” katanya.
Dalam konteks ini, kata dia, warga menolak bukan karena anti pembangunan, tetapi karena “negara datang tanpa menghargai relasi dan ikatan mereka dengan tanah.”
Ia berkata, karakteristik gerakan perlawanan juga dibangun dengan pola strategi multi-front, yakni melibatkan banyak pihak dan dilakukan dari berbagai arah.
Para pihak itu adalah masyarakat adat, gereja, organisasi masyarakat sipil dan warga diaspora.
Salah satu kekuatan besar dari gerakan perlawanan warga, jelasnya, adalah proses co-learning, yaitu belajar bersama untuk membangun kesadaran kritis.
Bagi warga, “belajar bukan hanya mengakumulasi pengetahuan, tetapi yang paling utama adalah membangun kesadaran kolektif untuk melawan dominasi negara.”
“Jika negara datang membawa pengetahuan satu arah berupa hasil riset yang memaksa warga untuk menerima proyek geotermal, maka warga membangun proses belajar kolektif dan kritis,” katanya.
Vansianus Masir adalah Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa TEROPONG di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD’ Yogyakarta
Editor: Herry Kabut