Andreas Wahyu: Mengayuh Sepeda dari Jakarta ke Flores

p1130847
Wahyu bersama anak-anak di Lembor

Floresa.Co-Tiba di Pa’ang Lembor, hari sudah gelap. Kakinya sudah capai. Ia ingin istirahat. Tetapi cukup lama ia duduk bengong di pinggir jalan karena tak satu pun orang-orang di sana yang ia kenal.

Tiba-tiba seorang anak kecil seusia anak SMP memanggilnya. “Mister mari minum kopi.” katanya, menirukan ucapan anak itu. Ia bercakap-cakap sebentar. Tak lama, anak itu membawanya ke rumah.

Ketika ia memasuki pintu rumah, ia terkejut sekaligus haru saat ibu anak itu tiba-tiba meneteskan air mata. “Kamu mirip anak saya.” kata ibu itu. Rupanya ada anak dari ibu itu yang sedang berada di tanah perantauan. Lalu ia istirahat di sana semalaman.

Perasaaan haru itu hanyalah sepenggal cerita yang dialami Andreas Wahyu ketika bersepeda dari Jakarta ke Flores dan menyusuri pulau Flores dari ujung barat hingga flores Timur, Alor, Lembata, dan Adonara dari bulan September  tahun 2014.

Jarak yang begitu jauh dari Jakarta ke Flores yang biasa ditempuh dengan pesawat, kapal laut, atau bus, tak sedikitpun menghantui pria kelahiran 4 April 1988 ini untuk mengayuh sepeda. Karena ia mengaku, ia tidaklah sendirian.

“Selalu ada tiga orang yang berjalan dengan saya. Saya, Sepeda, dan Tuhan,“ kata pemuda yang juga suka mendaki gunung ini.

Sepeda sudah lama ia anggap sebagai temannya sendiri. Bahkan ia sendiri yang merancangnya. Di antara berbagai alat transportasi canggih saat ini, ia tetap memilih mengayuh sepeda. Berkeringat, lelah, resiko lebih terlambat tetap memberikan sensasi keindahan yang tersendiri baginya.

Di jakarta, kemanapun ia pergi, sepeda adalah alat transportasinya.  Paling sering adalah ke kampus.  Sedangkan sebelum ke Flores, ia beberapa kali bolak-balik Yogyakarta dengan mengayuh sepeda.

Maka tak heran apapun bisa ia korbankan demi sepeda. Ia pun berkisah, suatu saat ia pernah menjual handphone demi membeli suatu alat untuk sepeda.

Menguji Spirit Manusia

Bersepeda sebagai hobby jarang ada yang mempertanyakan. Tetapi bersepeda sebagai passion, di mana ia mencurahkan hati dan pikirannya sering harus berhadapan dengan cemoohan dan kritikan.

Hal itu dialaminya ketika ia memutuskan bersepeda ke Flores. Jarak yang begitu jauh dan topografi yang kasar sudah pasti menuntut stamina yang kuat serta berbagai tantangan seperti setan dan perampok di jalanan adalah apa yang membuat ia ragu dan takut. Ia dihantui demikian oleh orang-orang.

p1140011
Di pinggir sebuah jalan di Lembor, Manggarai Barat

Sebenarnya memilih bersepeda Flores bukan tanpa sebab. Pemuda asal Jakarta ini pernah menjadi anggota tarekat Congregatio Immaculati Cordis Mariae (CICM). Setelah tamat dari Seminari Wacana Bhakti (Jakarta) tahun 2008, ia melamar ke biara CICM. Di sanalah ia kenal dengan banyak teman-teman dari Flores.

Apalagi sewaktu kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ia seringkali mendengar kisah tentang Flores. Ada banyak teman-temannya yang berasal dari Flores. Keindahan alam, keanekaragaman budaya, dll yang perlahan-lahan menumbuhkan hasrat dalam batinnya untuk kelak ia mengunjungi Flores.

Niat itu menemui kenyataannya setelah selesai kuliah pada tahun 2013. Namun pertama-tama yang ia lakukan adalah mengumpulkan keberanian.

“Saya mulai tak ambil pusing apa kata orang. Memang semula tidak gampang. Tetapi sebuah passion membutuhkan keberanian dan tekad yang kuat” kata mantan relawan yayasan kasih anak kanker di Bandung ini.

Begitu selesai kuliah pada tahun 2013, dengan modal uang berjumlah 800 ribu ia lantas bersepeda mengunjungi Flores.

Perjalanan Penuh Kejutan

Bukan uang yang menjadi modal terpenting, melainkan passion. Demikian apa yang menjadi prinsip utamanya. Hal itu terbukti bahwa hanya dengan modal 800 ribu, ia masih tetap bertahan dalam perjalanan berbulan-bulan, tanpa keluhan yang berarti. Malahan ia tak henti-hentinya bersyukur.

“Saya percaya pada prinsip Cor Unum et Anima Una (sehati-sejiwa)” paparnya.

Prinsip itu seolah menyata saat di Flores. Ia amat terkesan dengan keramahtamahan orang-orang Flores. Meskipun jauh sekali di bagian timur, dengan segala ketimpangan pembangunan, mereka tetap ramah dan bangga menjadi bagian dari Indonesia.

“Saya tidak menemui kendala yang berarti. Orang-orang di sana sangat ramah.” jelasnya.

p1150980
Wahyu bersama penduduk di Lembata

Soal penginapan dan makan ia tak ragu. Selama perjalanan, ia banyak berjumpa dengan orang-orang baru. Ia pun menginap di banyak tempat. Mulai dari tempat teman-teman yang ia kenal di Jakarta, seminari, rumah warga, dan gereja.

Ia juga mengaku perjalanan itu sangat kental dengan nuansa haru dan kekaguman. Tak henti-hentinya ia harus meneteskan air mata saat melihat pemandangan yang begitu indah. Hampir tak terhitung berapa kali ia menangis.

“Sewaktu menuruni jalan sekitar danau Ranamese, saya menangis. Keadaan begitu sepi tapi alam terasa begitu indah dan menyambut kehadiran saya dengan kehangatan. Saya percaya bahwa saya mengenal Allah melalui keindahan alam” katanya, menyebutkan peristiwa yang ia sangat ingat.

Tentu saja bukan hanya alam dan orang-orang yang ia jumpai yang membuat ia kagum. Pengalaman kesusahannya pun ia tak lupa syukuri. Ketika ia tiba di Lembata pada bulan November, ia kehabisan uang.

Tak habis akal, ia pun melamar kerja di sebuah hotel di Lewoleba. Namanya Hotel Lembata Indah. Ia rela menjadi tenaga serba guna. Mulai dari membersihkan bangunan, mengatur taman, menjadi guide, dan hingga membuat kopi dan teh untuk tamu, dan lain sebagainya.

“Saya jatuh cinta dengan pulau Lembata. Belajar banyak hal, bertemu dengan orang-orang hebat, juga merefleksikan banyak hal tentang segala sesuatu yang pernah saya alami. Saya diterima bekerja di sebuah hotel,” tulisnya pada blog pribadinya (saintwahjoe.wordpress.com)

Dari Flores Menuju Indonesia

Dari perjalanan ke Flores tersebut, tumbuhlah semangat yang menggelora dalam dirinya untuk terus menjelajah.

Setelah dari Flores, ia pun terus bersepeda ke pulau Timor. Dari sana, ia menuju Sulawesi, menyisiri Toraja, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Muna, dan terus ke Ambon (beberapa pulau di Ambon) dan sekarang di Papua, tepatnya di agast asmat.

img_0067
Menyaksikan dari dekat penangkapan ikan Paus di Lembata

“Rencananya saya akan keliling Indonesia.” katanya dari Agast, Asmat saat dihubungi Floresa.co pada Selasa (3/03).

Ia pun berencana suatu saat ia akanmenuliskan buku tentang perjalanannya. Bahkan ia bermimpi suatu saat ia bisa berbuat sesuatu bagi banyak orang. Menurutnya, terlalu besar ketimpangan pembangunan yang ada sehingga ia merasa sedih dan tersentuh.

“Jadi saya bukan seorang tourist. Saya hanya datang mengunjungi baranda dari rumah Indonesia.” katanya. (GD)

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA