“Bupati Tote, Kami Ingin Bapak Sedikit Lebih Bijak Soal Tambang!”

Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote (Foto: Ist)
Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote (Foto: Ist)

Floresa.co – Para mahasiswa asal Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang menempuh kuliah di sejumlah kampus di Kupang mendesak Bupati Yosep Tote untuk berpikir bijak terkait kebijakannya menghadirkan industri tambang di Manggarai Timur.

Desakan kelompok mahasiswa ini yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Pelajar Manggarai Timur (HIPMMATIM) Kupang akan disampaikan kepada bupati dalam sebuah petisi “Gerakan Seribu Tanda Tangan untuk Tolak Tambang”.

Irvan Kurniawan, Ketua Umum HIPMMATIM Kupang mengatakan kepada Floresa, Selasa (15/7/2014), upaya ini dilakukan sebagai bentuk keperihatinan melihat tanah kelahiran mereka yang terus diobrak-abrik perusahan tambang, sambil menyisahkan warga kecil di kampung-kampung yang tidak berdaya.

“Bupati Tote harus bertanggung jawab terhadap situasi ini”, katanya.

Ia menjelaskan, petisi ini merupakan bagian dari upaya memperjuangkan tanah Manggarai Timur sebagai warisan budaya dan sumber kehidupan.

“Dan, kami merupakan generasi masa depan, alih waris tanah ulayat di Manggarai Timur”, kata Irvan. “Karena itu, kami ingin Bapak Tote sedikit lebih bijak soal kebijakan menghadirkan tambang”

Selain menggalang petisi, HIPMMATIM berencana akan mengadakan advokasi, membangun diskusi melalui pendekatan kekeluargaan di daerah lingkar tambangakan  memberikan penyadaran terhadap daerah lingkar tambang

Gerakan ini akan melibatkan mahasiswa dari beberapa kota selain Kupang, yaitu dari Malang, Suarabaya, Jakarta, Yogyakarta dan sejumlah kota lain.

Mereka juga akanmenekan Pemda Matim untuk segera meninjau kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan.

“Bila perlu menghentikan seluruh kegiatan tambang baik dalam bentuk eksploitasi maupun eksplorasi di daerah ini”, kata Eufrasius Edwin, Ketua Harian HIPMMATIM.

Edwin mengakui, sudah lama mereka prihatin pada sikap Bupati Tote terkait pertambangan.

Keprihatian itu makin besar, pasca mencuatnnya kasus di Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.

Ia menjelaskan, saat ini masyarakat setempat yang berjumlah 72 kepala keluarga telah terbagi menjadi dua kubu yakni kubu pro tambang yang berjumlah  20 keluarga dan telah dibayar perusahaan PT. Aditya Bumi Pertambangan sebesar 25 juta per KK dan 52 kepala keluarga yang tetap mempertahankan hak atas tanah ulayat dan  lingkungannya dengan tidak menerima uang pemberian investor.

“Sementara itu, sebanyak 21 warga tolak tambang yang sudah dipanggil Polres Manggarai karena dituduh oleh perusahaan mengganggu aktivitas eksplorasi di tanah mereka sendiri dengan mencabut pilar GPS yang sudah ditanam perusahan tambang.”, katanya.

Mengutip hasil investigasi JPIC SVD dan jaringannya, kata dia GPS yang dibangun perusahaan tambang persis ada di tanah milik masyrakat Tumbak.

“Pihak perusahan tidak pernah meminta izin kepada penguasa hak atas tanah tersebut untuk membangun GPS”, ungkapnya.

Pembagian masyarakat menjadi dua kubuh kata dia, memicu  perasaan saling curiga bahkan bermusuhan.

“Selain itu, telah terjadi sekat sosial antara kubu pro dan kontra di daerah lingkar tambang. Mereka yang dari kubu pro membuat perkumpulan sendiri dan yang kubu kontra juga bergaul sesama mereka”, jelas Edwin.

Gejala sosial ini, menurutnya, merupakan sinyal kuat akan adanya konflik di kemudian hari.

“Ibarat bom waktu yang suatu saat bisa meledak jika detonatornya dipencet. Pemicu ledakan tersebut adalah tindakan perusahan yang memakai berbagai macam cara termasuk memakai TNI dan Polisi untuk menakut-nakuti warga desa, seperti yang terjadi pada 17 Mei 2014 lalu”

Ia menegaskam, “Kita tidak mau tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat lokal dirampas, batu-batu hitam mangan menjadi batu-batu nisan, dan lubang galian mangan menjadi makam”.

Inkonsistensi Bupati Tote

Dalam catatan Floresa, kasus di Tumbak hanya salah satu dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahan tambang, pasca kabupaten itu pisah dari kabupten induk, Manggarai.

Sebelumnya, terjadi konflik serupa di Satar Teu, juga di Desa Golo Lijun, Elar dimana masyakat menolak kehadiran PT Manggarai Manganese.

Sejauh ini, belum ada langkah serius dari pihak pemerintah untuk menangani konflik yang terjadi.

Beberapa kali Floresa berupaya menghubungi Bupati Tote, serta Dinas Pertambangan Manggarai Timur untuk meminta penjelasan terkait situasi yang ada, namun belum mendapat respon.

Padahal, ketika Bupati Tote baru setahun menduduki kursi empuk di ruang jabatan, ia dengan lantang menegaskan, dirinya tidak akan menerima kehadiran tambang, sebuah komitmen yang menuai decak kagum dan optimisme publik akan hadirnya pola pemerintahan yang mau mendengarkan suara rakyat kecil.

Ia dianggap menghadirkan sikap berbeda dari Bupati Manggarai Christian Rotok, yang dikenal suka mengobral izin tambang.

Janji tolak tambang disampaikan Tote saat pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat 10 Desember 2010.

Sebagaimana dilansir Flores Pos, Selasa 14 Desember 2010, Tote menegaskan, “Secara pribadi saya tadinya melihat pertambangan berpotensi meningkatkan kesejahteraan penduduk, tetapi setelah ada penolakan dari masyarakat, apalagi air sungai jadi hitam dan beberapa dampak buruk terhadap lingkungan sekitarnya, maka saya tolak tambang. Jadi, saya tidak akan pernah mengeluarkan izin tambang.”

Pernyataannya kala itu disambut tepuk tangan meriah peserta diskusi.

Ia juga menambahkan sejumlah catatan, antara lain, akan meninjau kembali seluruh proses izin tambang dan tidak akan mengeluarkan izin baru, membentuk tim khusus mengkaji seluruh proses izin tambang dan memberdayakan masyarakat melalui pertanian organik, perikanan serta pariwisata.

Namun, apa lacur, faktanya kini, semua janji itu tak lagi diingat. Berdasarkan data JPIC-OFM, jumlah perusahan tambang yang kini beroperasi di Manggarai Timur, yaitu 3 perusahan (PT Aditya, Manggarai Manganese dan PT Arumbai Manganbekti), merupakan yang terbanyak dibanding dengan Manggarai, dimana saat ini hanya satu perusahan yang sedang beroperasi, yaitu PT Global Commodity Asia.

Sementara di Manggarai Barat, semua IUP yang diterbitkan bupati sebelumnya, Fidelis Pranda, hingga kini masih dibekukan, pasca penerbitan moratorium oleh Bupati Agustinus Ch Dula.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA