Sambungan dari: Motang Rua: Kisah Heroik Pahlawan Manggarai (1)
Floresa.co – Mendapat perlawanan, Belanda tak tinggal diam. Sebuah ekspedisi bersenjatakan 12 karabin pun dilakukan ke Beo Kina, tempat Motang Rua berada.
Namun, pasukan Motang Rua menghadang serdadu Belanda di Ngalor Sua (dekat sekolah Santu Klus Kuwu).Sebanyak 10 serdadu Belanda tewas dan senjata mereka dirampas. Sementara, sebanyak 2 orang melarikan diri ke jurang yaitu Dong dan Jakob. Dari dalam jurang mereka menembakan senjatanya sehingga dua teman Motang Rua, yaitu Rumbang dan Ulur tewas.
Belanda kemudian meminta bantuan ke Ende dan Kupang. Bantuan pasukan Belanda dari Ende dibawa pimpinan Letnan Sepandau tiba di Ruteng tengah malam pada 9 Agustus 1909. Setelah pasukan Belanda tiba, penyerangan ke Beo Kina kembali dilancarkan dengan perencanaan yang matang.
Tanggal 10 Agustus 1909 terjadilah pertempuran di Benteng Kuwu (Watu Toge) antara serdadu Belanda dan pasukan Motang Rua. Pasukan Belanda datang dari arah Selatan Ruteng – Wae Lerong Tuke Nikit dan sampailah di Kuwu.
Kekuatan Belanda dengan perlengkapan modern itu dengan sekejap menghancurkan pasukan Motang Rua. Ratusan pejuang rakyat tewas dan luka-luka. Beberapa yang tewas dari pasukan Motang Rua saat itu adalah Latu, Santung, Corok, Unduk, Rampak, Tubi Melubir.
Motang Rua bersama pasukan yang hidup pun mundur ke Beo Kina. Sampai di Beo Kina, Motang Rua mendirikan bendera putih (tuntul bakok) sebagai tanda takluk. Karena ada tanda takluk, kampung Beo Kina tidak dibakar Belanda. Sementara, beberapa kampung di sekitar Beo Kina seperti Kondong, Lenteng dan Poka dibumihanguskan Belanda.
Selanjutnya, Motang Rua melakukan perang gerilya. Dia melakukan perlawanan dari gua “Cunca Wene” di Raka Ndoso. Akibatnya, meletuslah perang perlawanan pasukan Wetik yang dipimpin oleh pasukan Rengge Ame Cences.
Perlawanan lain juga terjadi di Longka Pacar dibawah pimpinan Dalu Pacar yaitu Macang Pacar. Dalam pertempuran itu, 35 pejuang rakyat tewas, termasuk Macang Pacar yang kepalanya dipenggal Belanda dan dibawa ke Reok untuk dipertontonkan dihadapan rakyat.
Belanda pun gusar dan ingin mendapatkan Motang Rua baik dalam keadaan hidup maupun mati. Untuk itu, Belanda menyandera dan menyiksa keluarga Adak Pongkor di Puni (Ruteng). Belanda mengancam melakukan pemusnahan terhadap seluruh keluarga Adak Pongkor, dengan tuduhan sebagai “penjahat perang“.
Perlu diketahui, Motang Rua adalah “anak wina” dari Adak Pongkor. Menurut Wily Grasias, Ibu Motang Rua yang bernama Wakung adalah saudari weta (saudari) dari Adak Pongkor, Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Mangir.
Menghadapi ancaman Belanda ini, Kraeng Wanggur Laki Tekek, Laki Mangir bereaksi. Atas inisiatif Kraeng Baso, salah satu putra Kraeng Wanggur Laki Tekek, diupayakan pencarian terhadap Motang Rua. Kraeng Baso tahu di mana Motang Rua bersembunyi.
Berangkatlah Kraeng Baso ke Raka Ndoso, tempat dimana Motang Rua menjalankan taktik perang gerliyanya.
Kraeng Baso pun menceriterakan penyiksaan keluarga Adak Pongkor. Iba mendengar cerita mengenai penyiksaaan keluarga adak Pongkor, Motang Rua pun meminta agar Kraeng Baso melepas seekor ayam jantan putih hidup-hidup di Pongkor. Ini merupakan cara menghilangkan kekuatan supra natural yang dimiliki Motang Rua. Kakuatan itu yang membuat ia tidak dapat dilihat oleh sesama manusia (mbeko pepot).
Kraeng Baso pun melakukan apa yang dimintakan itu. Setelah itu dilakukan, Motang Rua akhirnya dapat dilihat oleh Belanda maupun sesama secara kasat mata. Motang Rua lalu menyerahkan diri ke Markas Belanda di Puni (Ruteng).
Setelah menyerahkan diri, Belanda mengadili Motang Rua dan juga kawan-kawannya. Melalui pelabuhan Reo, Motang Rua dan kawan-kawan dibawa ke Ende, lalu ke Kupang dan terakhir di Makasar untuk diadili……..(bersambung) (PDB/Floresa)
Selanjutnya:
Motang Rua: Ikut Perang Aceh, ke Thailand, Hingga Balik ke Manggarai (3)