Atambua, Floresa.co – Pastor Kristo Tara, OFM, merengkuh penghargaan Kalpataru, sebagai pengabdi lingkungan hidup, tingkat Kabupaten Balu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Wakil Bupati Belu, JT. Ose Luan bertempat di Kantor Bank Sampah Ai’Kamelin, Dinas Lingkungan Hidup kabupaten tersebut, pada Selasa, 27 November 2018.
“Tentu penghargaan ini merupakan sebuah pengakuan dari pemerintah atas perjuangan dan kerja keras dari setiap orang dalam menjaga, memelihara dan menyelamatkan lingkungan hidup,” katanya kepada Floresa.co, Rabu, 28 November 2018.
Menurut Pastor Kristo, penghargaan itu merupakan bentuk tanggung jawab atas kehidupan yang muncul dari beragam kesadaran.
Pertama, katanya, kesadaran genesis, di mana sejak awal mula, manusia hidup bersama dan tergantung pada entitas hidup yang lain lebih khusus lingkungan.
“Karena itu, kita mesti bertanggung jawab menjaga dan memelihara setiap entitas hidup, agar kehidupan terus berkelanjutan,” ujarnya.
Kedua, kata pastor yang aktif dalam gerakan sosial kemasyarakatan itu, ialah kesadaran global. Menurutnya, seluruh dunia tengah menghadapi kerusakan lingkungan hidup yang masif. Maka, menjaga dan memperjuangkan agar lingkungan tetap berkelanjutan harus selalu digalakkan.
“Bencana ekologis ini persis menusuk jantung kehidupan. Rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi, alih-alih memajukan dunia, justru semakin merusak kehidupan,” kata Pastor pendiri Formadda, organnisasi Pemuda NTT berbasis di Jakarta itu.
“Kesadaran etis global ini telah menggerakan banyak pribadi dan kelompok untuk bertanggung jawab menyelamatkan dunia dari laju kerusakan masif lingkungan hidup. Kualitas hidup yang baik dengan segala prasyaratnya tidak boleh berhenti pada generasi kita, tetapi harus diwariskan kepada generasi yang akan datang,” tambahnya.
Selanjutnya, kata Pastor Kristo, poin ketiga yang menjadi catatannya ialah kesadaran spiritual. Menurutnya, agama-agama juga memiliki tanggung jawab besar atas keberlangsungan hidup. Pasalnya, Allah telah memberi tugas dan tanggung jawab kepada manusia untuk merawat dan memelihara alam semesta agar tetap menjadi tempat yang layak bagi kehidupan.
“Agama-agama tidak boleh menyerahkan begitu saja alam semesta ini pada cara kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru harus memiliki peran dan tanggung jawab spiritual dan etis bekerja secara serius menyelamatkan kehidupan,” tegasnya.
Program
Aneka program dijalankan oleh Pastor Kristo di paroki tempat ia berkarya. Bersama umat, sejak 2014 lalu, ia konsen dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Misalnya, konservasi lahan kritis dengan menginventarisir lahan-lahan kritis, lalu ditanami berbagai jenis tanaman, misalnya, kayu gamal, jambu ari dan mahoni.
Selain itu, menginventarisir sumber-sumber air. Lalu, di sumber air tersebut, ditanami pohon jambu air serta program penghijauan kebun paroki dengan menanam mahoni, jambu air, sengon, kopi dan berbagai tanaman buah-buahan.
“(Juga) menganimasi, membangun kesadaran umat untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup,” katanya.
Namun, katanya, keberhasilan menjalankan program itu hingga dirinya merengkuh penghargaan butuh kesabaran karena melalui proses yang tidak mudah. Berbagai tantangan dihadapinya, terutaman sulitnya membangun kesadaran umat serta kesusahan mendapatkan bibit-bibit tanaman pilihan.
“Tidak semua umat memiliki kesadaran yang sama akan tanggung jawab memelihara dan melestarikan lingkungan. Justru ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk terus membangun kesadaran dan gerakan ekologis,” ujarnya.
“(Juga) kesulitan mendapatkan bibit tanaman konservasi. Selama ini kita mendapat bantuan anakan dr pemerintah Kab. Belu. Tapi tdk semua bibit tanaman konservasi tersedia. Biasanya kita sendiri cari anakan di hutan dan pembibitan sendiri,” tambahnya.
Pastor Kristo berharap, apa yang telah ia mulai itu berkelanjutan, sehingga alam tetap terjaga, terutama semakin banyak sumber air yang bisa diselamatkan.
“Karena itu, konservasi sumber air menjadi prioritas kami ke depan sehingga, semakin banyak lahan kritis yg diselamatkan dan dihijaukan,” ujarnya.
Ia juga berharap langkah yang telah ia mulai itu mendapat dukungan dan bisa menjadi inspirasi bagi pihak lain.
“Umat/masyarakat adat, pemerintah dan agama dapat bekerja sama secara lebih intensif untuk melestarikan lingkungan hidup,” harapnya.
“Setiap keluarga memiliki hutan keluarga. Selain untuk konservasi, hutan keluarga dapat menjadi stok bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga,” pungkasnya.
Spirit St. Fransiskus Asisi
Ia juga mengisahkan bahwa, dasar dari semua perjuangannya selama ini tidak terlepas dari spirit Santo Fransiskus Asisi, pendiri OFM. Sebagai pengikut Fransiskus Asisi, ia mengaku memiliki tanggung jawab membumikan nilai-nilai yang telah diteladani oleh pendiri ordonya itu.
“Kami mendapatkan amanat khusus dari Santo Fransiskus Asisi, pelindung ekologi untuk selalu peduli, berpihak pada mereka yang miskin dan terpinggirkan, termasuk alam ciptaan.”
“Spiritulitas Fransiskan mendorong setiap saudara dina agar terus bekerja keras menyelamatkan alama semesta, terus bergerak dan mengabdi lingkungan hidup,” pungkasnya.
“Kalpataru ini saya persembahkan untuk Persaudaraan OFM Indonesia, umat Paroki Laktutus dan para aktivis lingkungan,” tutupnya.
ARJ/Floresa