Floresa.co – Dampak bencana alam longsor dan banjir pada 7 Maret lalu telah tidak hanya menorehkan kesedihan tetapi juga meninggalkan pesan penting bagi kita semua dalam dinamika pembangunan.
Pertama-tama kita sudah selayaknya bersedih atas kerugian material dan korban nyawa dalam bencana alam di hari itu. Di Kampung Culu di kecamatan Mbeliling, 8 orang meninggal karena tertimpa longsor. Sungai Wae mese meluap dan menggenangi sawah yang hampir panen di Satar Walang dan Merombok. Pemukiman warga di Gorontalo, Nanga Nae, dan Weor ikutan teredam banjir yang membuat sekitar 200 keluarga mengungsi.
Rasanya duka dan trauma yang ditinggalkan juga amat mendalam. Saat penguburan 4 korban terakhir pada 10 Maret lalu di Culu dapat memberikan kita gambaran apa yang mereka sedang alami. Saat penguburan itu, hujan deras kembali turun. Warga terburu-buru dan berhamburan melarikan diri ke lokasi aman. Mereka dibayang-bayang ketakutan dan trauma.
Kita berharap keadaan berangsur pulih dan rasa trauma bisa segera terobati. Karena itu, perhatian dan penanganan yang dimulai berbagai pihak sejak bencana seperti pemda, polisi, tentara, Basarnas, relawan, dan berbagai komunitas orang muda diharapkan tidak hanya bersifat impulsif dan reaktif tetapi juga senantiasa berkelanjutan.
Sementara itu, dalam jangka panjang, kita mesti memikirkan langkah-langkah yang lebih antisipatif. Tidak hanya terkait bencana tetapi juga upaya bagaimana dinamika ekonomi sekurang-kurangnya masih bisa berjalan dengan baik di tengah bencana.
Pasalnya, dampak bencana pada hari raya Nyepi itu adalah juga melumpuhkan aktivitas ekonomi di Labuan Bajo. Mobilitas melalui trans-Flores hingga sekarang tersendat. Padahal, jalur tersebut adalah urat nadi bagi pergerakan ekonomi di Kota Labuan Bajo, destinasi wisata terkemuka di Indonesia timur dan pintu mask untuk mobilitas kegiatan wisata di daratan Flores.
Karena minimnya alternatif, banyak orang yang terpaksa jalan kaki melewati jalur longsor yang masih berbahaya selama hampir sepekan. BBM juga langka yang berujung pada mandegnya aktivitas ekonomi secara umum. Padahal ada 300 kapal wisata yang setiap harinya diharapkan berlayar di dalam Kawasan TNK dan ribuan kendaraan bermotor yang bergerak di kota Labuan Bajo. Apalagi dalam kenyataannya, semakin banyak warga di kota Labuan Bajo yang bergantung pada sektor wisata.
Dalam situasi bencana saat ini, mirisnya pula, kendati misi kemanusiaan di lokasi bencana masih sangat mendesak dan diperlukan di satu pihak, namun kelangkaan BBM juga menghambat di pihak lain.
Bertolak dari kenyataan itu, beberapa poin evaluasi berikut yang mesti digarisbawahi terutama oleh pemerintah daerah/desa dan selebihnya juga oleh masyarakat, LSM, gereja, dan komunitas-komunitas. Pertama, mitigasi bencana yang teknis semakin mendesak dilakukan. Manggarai Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya tidak hanya daerah rawan gempa tetapi juga rawan banjir dan longsor.
Soal mitigasi teknis, pemerintah daerah dan pemerintah desa mesti pro-aktif dalam menerjemahkan UU nomor 24 tahun 2007 menjadi kebijakan daerah/Peraturan Daerah atau desa sebagai upaya mengurangi resiko bencana. Secara teknis, mitigasi bencana bisa meliputi banyak hal antara lain mulai dari upaya pencegahan, pengetahuan atas gejala alam, petunjuk evakuasi, dan tindakan pemulihan pasca bencana.
Kedua, memberdayakan jalur alternatif. Kendati selama ini jalur alternatif sudah ada, namun kondisinya sempit, rusak, dan berbahaya karena tidak diperhatikan. Padahal, jalur alternatif melalui Manggarai Barat Daya tidak hanya potensial karena melewati sentra pertanian tetapi juga lebih landai ketimbang jalur trans-Flores.
Menariknya, tuntutan perhatian terhadap jalur tersebut selama ini lebih dikarenakan tuntutan pemerataan pembangunan dan keadilan. Sayangnya, tuntutan tersebut tak kunjungan mendapat perhatian. Akses jalan masih susah dan komodoti pertanian sulit dimobilisasi. Dari Pacar, misalnya, yang berjarak sekitar 50-km dari Labuan Bajo membutuhkan waktu lebih dari 4 jam untuk tiba di kota Labuan Bajo.
Kini, adanya bencana di jalur trans-flores bisa menambah alasan agar jalur-jalur ini segera diperhatikan dan diberdayakan. Minimal tidak hanya untuk memberdayakan perekonomian masyarakat di daerah tersebut, tetapi juga menciptakan jalur alternatif untuk kegitan wisata atau distribusi BBM dan barang kebutuhan lainnya.
Ketiga, memperkuat desain pembangunan yang berbasis lingkungan hidup. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi ditambah oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang menuntut adanya ruang pemukiman baru, pemerintah mesti memperkuat dan mengontrol desain pembangunan yang berbasis lingkungan.
Karena itu, pemerintah daerah tidak hanya memperhatikan potensi ekonomi semata, tetapi juga mesti bertindak lebih gesit dan pro-aktif dalam mengkaji elemen lingkungan hidup dalam pembangunan. Di Labuan Bajo, misalnya, perlu ditekankan penerapan rencana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memperhatikan kondisi geografis, kontur tanah, daerah sepadan pantai, area publik, dan area hijau.
Sementara itu, kajian teknis dari sisi lingkungan yang mendalam dan nilai-nilai kebudayaan setempat juga sangat diperlukan. Selain peta potensi ekonomi masing-masing daerah, sangat mendesak untuk mendesain peta tanah, misalnya, sebagai rujukan dalam arsitektur, pengembangan pemukiman, atau pemilihan jenis tanaman yang menjadi komoditi wilayah setempat.
Penguatan regulasi, kebijakan, dan kontrol juga dapat berlangsung di tingkat desa. Karena itu pemerintah desa tidak hanya mendorong dana desa untuk pembentukan Bumdes semata tetapi juga membantu penerapan berbagai kebijakan yang berbasis pada lingkungan hidup.
Bencana di Mbeliling sebetulnya membuka kontak pandora. Jangankan kebijakan atau regulasi yang berbasis lingkungan hidup, RTRW kabupaten saja belum ada. RTRW yang ada masih merujuk pada RTRW yang dirilis pada tahun 2012, dimana Mbeliling masih bergabung dengan kecamatan Sanonggoang. Padahal sejumlah desa di Kawasan Mbeliling sudah mekar menjadi kecamatan Mbeliling pada tahun 2013.
Keempat, dalam jangka panjang, kesadaran dan advokasi tentang lingkungan hidup diharapkan menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan, kebijakan, penyelenggaraan festival dan penyelenggaraan program-program dari pemerintah, berbagai instansi, LSM, gereja, maupun komunitas-komunitas.
Mesti digarisbawahi bahwa orientasi pengembangan ekonomi mesti mengintegrasikan nilai-nilai yang menghargai dan menjunjungi tinggi pada lingkungan hidup dan budaya.
Akhirnya, semoga korban bencana bisa bangkit dari keterpurukan bencana dan berbagai pihak memikirkan pembangunan dalam terang lingkunga hidup secara memadai.
Hasil diskusi redaksi Floresa.co dengan beberapa komunitas di Labuan Bajo, antara lain, Serikat Pemuda Manggarai Barat, Kopearad, Sant’Egidio, Gereja, Pelaku Pariwisata, Sunspirit serta aktivis dan relawan bencana pada Kamis, 14 Maret 2019 di Rumah-Kreasi-Baku Peduli.