Polemik Kerangan dan Terungkapnya Berbagai Tipologi Kasus Tanah di Labuan Bajo

Floresa.co – Penetapan tersangka atas kasus lahan Kerangan di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Kejati provinsi itu mengungkap sejumlah fakta.

Selain munculnya sejumlah aktor dengan perannya masing-masing, juga terungkapnya berbagai tipologi kasus tanah yang marak dipraktekkan di kota pariwista Super Premium itu.

“Dalam kasus lahan Kerangan, yang terjadi ialah sengketa kepemilikan antar kelompok almarhum Haji Adam Djuje dan ahliwarisnya dengan Pemda Mabar,” kata Iren Surya, pembicara dalam diskusi virtual ‘Zoom in Flores” bertajuk, “Prahara Kerangan: Refleksi Kasus Tanah di Labuan Bajo – Flores” pada Kamis, 21 Januari 2021.

Iren sendiri berprofesi sebagai pengacara, yang sering menangani sejumlah sengketa tanah di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya.

Diskusi ini dihadiri oleh lebih dari sekitar 70 orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, akademisi, praktisi hukum dan pelaku wisata di Kota Labuan Bajo.

Selain itu, penetapan hak sengketa waris, tumpang tindih sertifikat dan salah pengukuran, jual beli berkali-kal dan penguasaan fisik tanpa dasar, tutur Iren, juga menjadi ciri lain yang jamak terjadi dalam sengketa lahan di wilayah itu.

“Semua hal itu bermuara pada penyelesaian di tingkat pengadilan,” ujarnya.

Menurutnya, hal itu terjadi karena lembaga-lembaga yang memiliki wewenang dalam mengadministrasi tanah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Mulai dari tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Lembaga terburuk di republik ini ialah BPN. Lembaga ini tidak pernah membangun suatu tata proses penetapan hak seseorang,” ujarnya.

Penilain Iren bukan tanpa dasar. Menurutnya, masyarakat mengalami banyak kesulitan saat berurusan dengan lembaga-lembaga ini, khususnya dengan BPN, Ia sendiri pernah mengalami kesulitan saat mengurus sertifikat tanah.

“Di depan kantor sangat tegas menulis melayani setulus hati. Pada implikasinya, masyarakat sendiri atau pemohon hak harus pro aktif,” tambahnya.

Pembicara lain dalam diskusi itu ialah Pembina Himpunan Pemuda Mahasiswa Manggarai Barat Jakarta (Hipmmabar-Jakarta) sekaligus Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) Yosef Sampurna Nggarang.

Yosef sendiri mengungkapkan garis besar persoalan lahan di Labuan Bajo yang juga terjadi atas lahan Kerangan.

Ia menemukan dua buah corak permasalahan lahan di wilayah itu, yakni corak vertikal dan horizontal. Di Kerangan sendiri, kata Yosef bercorak vertikal, yang mempertemukan antar pemodal dengan Pemda Mabar.

“Contohnya ialah Pulau Bajo dan Kerangan. Itu (Pulau Bajo) Pemda kalah gugatan di pengadilan. Lalu di Kerangan, pending sertifikatnya. Jadi, bukan tidak mungkin ada pemodal di belakangnya,” jelasnya.

Sementara itu, ada juga yang bercorak horizontal, yakni yang terjadi antar warga masyarakat, yang menurutnya potensial terjadi di wilayah Kecamatan Boleng, di sebelah utara wilayah kota Labuan Bajo.

“Ini menjadi PR kita untuk belajar dari Kerangan agar berbuka hati dan jujur. Kalua milik kita, katakana milik kita,” tegasnya.

Baca: Dari Kerangan ke Kejaksaan: Jejak Bupati Dula Hingga Menjadi Tersangka

Faktor yang mendorong masalah lahan di Labuan Bajo juga, kata Yosef ialah karena motif ekonomi. Ada orang yang melakukan berbagai macam cara, misalnya dengan melemahkan fungsionaris adat serta memanfaatkan kelambanan birokrasi agar kepentingan mereka dapat diloloskan.

Senada dengan Iren, Yosef juga sepakat, lembaga ATR BPN menjadi biang masalah tanah di Labuan Bajo. Menurutnya, terdapat oknum di dalam lembaga tersebut yang menjadi fasilitotor sehingga terciptanya berbagai macam konflik lahan, termasuk atas lahan Kerangan.

“Bayangkan, penyidik menyita uang dalam jumlah banyak pada salah satu tenaga honorer di ATR BPN Mabar,” katanya. Disebutnya, honorer tersebut memiliki hubungan khusus dengan atasnya di lembaga tersebut.

“Jadi, di institusi yang berkaitan dengan kepengurusan sertifikat ini, tidak melihat dokumen yang diajukan secara clear and clean, hanya melihat syarat formal saja. Itu kemudian terbit enam sertifikat (di Kerangan) itu,” tambahnya.

Menurut Yos, lembaga BPN syarat nepotisme. Perekrutan pegawainya tidak transparan hingga terdapat pegawai yang memiliki hubungan kekerabatan. Situasi tersebut, ujarnya, menjadi salah satu faktor yang membuat iklim kerja di lembaga itu tidak profesional.

“Orang NTT tidak pernah tau bagaiman pola rekrutmen calon pegawai BPN, kita tidak pernah tau,” ujarnya.

Pola lainnya ialah pendekatan kekuasaan. Oknum-okunum tertentu, ujarnya memanfaatkan pengaruh dari orang-orang tertentu agar mendapat kemudahan dalam memproses administrasi tanah di berbagai tingkatan di wilayah Mabar.  “Itu yang terjadi di lahan Kerangan,” ujarnya.

Bahkan, dengan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi Super Premium, ada juga pemodal atau investor yang memanfaatkan kedekatan dengan kekuasaan untuk menguasai tanah-tanah yang ada di Labuan Bajo, termasuk aset-aset publik.

“Ini yang saya sebut sebagai kerja-kerja ekstraktif. Memanfaatkan jaringan kekuasaan untuk melancarkan kepentingannya,” tambahnya.

Baca: Virus Babi Belum Terkendali, Kuliah Anak Pun Terancam

Sementara itu peserta diskusi yang lain, dengan berangkat dari Kasus Tanah Kerangan, merekomendasikan beberapa hal penting berikut, seperti pentingnya penataan seecara serius soal administrasi tanah di Labuan Bajo, mulai dari tingkat desa hingga ke tingkat Kabupaten.

“Kedua, agenda konsolidasi budaya yang mempertemukan segenap pemangku adat di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya perlu dilakukan dalam rangka memperjelas alas hak ulayat atas tanah-tanah,” kata salah satu peserta diskusi, Servas Ketua,

Ketiga ialah peran civil society dan lembaga negara seperti DPR untuk mengawas aset-aset tanah milik negara atau publik untuk tetap diperuntukan bagi kepentingan publik.

Mengingat masih terdapat banyak masalah tanah yang belum terselesaikan, Yosef mengajak kasus Kerangan menjadi momen untuk pembenahan di level pemerintahan, mulai dari desa, keluarangan, Pemda, BPN, dan publik tentunya agar menunaikan hak dan kewajibannya secara jujur dan terbuka.

“Ke depan, mari kita merefleksikan, Kerangan menegur kita semua supaya berbuka hati. Ini menjadi PR kita untuk belajar dari Kerangan agar berbuka hati dan jujur. Kalua milik kita, katakana milik kita, kalua tidak, katakana tidak,” pungkasnya.

 ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA