Floresa.co – Tuntutan penjara tujuh bulan terhadap tokoh adat Besipae yang dituding menganiaya Bernadus Seran, petugas dari Dinas Peternakan Provinsi NTT merupakan arogansi penegak hukum, kata pegiat sosial yang mengawal kasus ini.
Tuntutan terhadap Nikodemus Manao tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum [JPU] dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Soe pada Rabu, 12 Juli 2023.
Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 351 KUHP terkait penganiayaan.
Fransisco Tukan, Koordinator Aliansi Solidaritas Besipae mengatakan tuntutan hukuman tersebut menunjukkan bahwa “ada upaya membenarkan bahwa Nikodemus bersalah.”
Ia mengatakan, sejak awal, proses hukum kasus ini penuh kejanggalan.
Salah satunya, kata dia, adalah penyidik, JPU maupun hakim yang tidak pernah meminta keterangan saksi yang berada di Tempat Kejadian Perkara [TKP] yakni pemilik rumah yang menurut keterangan Bernadus menjadi tempat penganiayaan oleh Nikodemus.
“Mereka pakai saksi ‘mendengar’ yang hanya sebatas mendengar informasi bahwa dia [Bernadus] ini dipukul,” katanya dalam sebuah pernyataan yang dikirim kepada Floresa.
Ia menjelaskan, dalam sidang pada 10 Juli, saksi di TKP yang dihadirkan oleh pihak pengacara Nikodemus, membantah keterangan Bernadus.
“Keterangan dari tuan rumah bahwa tidak pernah terjadi hal seperti itu [penganiayaan terhadap Bernadus oleh Nikodemus],” ujarnya.
Selain itu, kata dia, penyidik dan JPU juga tidak pernah melakukan pemeriksaan lokasi atau melakukan olah TKP.
“Ini sengaja untuk menghilangkan fakta,” katanya, “sehingga menurut saya, tuntutan penjara tujuh bulan terhadap Bapak Nikodemus oleh JPU menunjukkan arogansi penegak hukum, khususnya JPU.”
Nikodemus ditangkap pada Februari 2023 oleh aparat gabungan dari Polda NTT dan Polres TTS, terkait dengan dugaan penganiayaan yang terjadi pada 19 Oktober 2022 terhadap Bernadus Seran dan rekannya, sehari sebelum penggusuran belasan rumah warga Besipae.
Ketika itu, Bernadus dan rekannya mengantar surat kepada warga, meminta mereka untuk meninggalkan lahan konflik.
Nikodemus, tokoh adat Besipae yang selama ini berjuang di garis depan mempertahankan hak komunitas adatnya dalam konflik lahan dengan Pemerintah Provinsi NTT, kemudian dituding sebagai pelaku dan diamankan pada Senin, 13 Februari.
Kasus Nikodemus menambah pelik konflik antara warga adat Besipae dengan Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut sejumlah dokumen yang diakses Floresa.co, ditarik ke belakang, polemik ini terjadi sejak 1982 ketika Pemprov NTT membangun kesepakatan dengan mereka untuk proyek percontohan Intensifikasi Peternakan, bekerja sama dengan Pemerintah Australia.
Pada saat itu, karena luas hutan adat Pubabu yang hanya 2.671,4 hektare, para tetua adat setempat sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan, sehingga luas tanah yang dialokasikan untuk proyek tersebut menjadi 6.000 hektar.
Dalam prosesnya, setelah proyek itu tidak dilanjutkan, pemerintah provinsi memperkenalkan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan [Gerhan] di atas lahan 6.000 hektar tersebut, dengan skema Hak Guna Usaha [HGU] yang berlangsung dari 1988 hingga 2008.
Namun, selama proses ini, pada tahun 1995 pemerintah mengubah status hutan adat Pubabu menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.
Selama rentang waktu 2003- 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS juga melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu seluas kurang lebih 1.050 hektare.
Karena rangkaian kebijakan tersebut, pada tahun 2008 masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan.
Di tengah penolakan warga, pada April 2008, pemerintah melalui sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan TTS kembali membabat sebagian wilayah hutan di Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan.
Aksi pembabatan hutan sepihak ini selanjutnya dilaporkan oleh masyarakat adat ke Komnas HAM pada 2009.
Dua tahun kemudian, Komnas HAM mengeluarkan surat himbauan agar menjaga situasi aman dan kondusif dan menghindari intimidasi terhadap warga sampai adanya solusi masalah tersebut.
Kendati gelombang protes terus terjadi. Pada Oktober 2012 pemerintah dituding mengkriminalisasi 17 masyarakat adat, di mana mereka dijebloskan ke dalam tahanan untuk beberapa bulan.
Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat yang meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan pertanian yang telah dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang kontraknya telah berakhir pada 2012.
Alih-alih menanggapi gelombang desakan masyarakat ini, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektar.
Sertifikat inilah yang diklaim Pemprov NTT sebagai dasar atas penguasaan hutan adat saat ini, yang membuat konflik dengan warga terus memanas.
Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam beberapa tahun terakhir Pemprov NTT berulang kali melakukan penggusuran terhadap pemukiman warga.
Penggusuran terakhir pada 20 Oktober 2022, sehari sebelum kasus dugaan penganiyaan yang dituduhkan kepada Nikodemus, tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.
Konflik lahan di Besipae hanyalah salah satu dari ratusan konflik agraria di Indonesia.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], lembaga yang fokus pada riset dan advokasi isu agraria, terdapat 212 konflik agraria sepanjang tahun 2022, yang mencakup 1.03 juta hektar lahan dan berdampak terhadap 346.402 keluarga.
Data ini meningkat dari 207 kasus tahun 2021, yang mencakup 500 hektar lahan.
KPA juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah, meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020.