BerandaREPORTASEPERISTIWAPMKRI Sebut Pungutan Rp500...

PMKRI Sebut Pungutan Rp500 Ribu untuk Seminar oleh Kejari Manggarai Sebagai ‘Praktik Korupsi’

Alih-alih memperkuat upaya pencegahan korupsi oleh kepala desa dan kepala sekolah sebagaimana tujuan seminar, kata PMKRI, yang terjadi malah mempertontonkan korupsi.

Floresa.co – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Ruteng menyebut pungutan dana Rp500 ribu dalam seminar yang digelar oleh Kejaksaan Negeri Manggarai sebagai “praktik korupsi.”

Laurensius Lasa, Ketua PMKRI Ruteng mengatakan pungutan itu justru berkebalikan dengan tujuan seminar dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa itu.

Alih-alih memperkuat upaya pencegahan korupsi oleh kepala desa dan kepala sekolah sebagaimana tujuan seminar, kata dia, yang terjadi malah mempertontonkan korupsi.

“Seminar itu sebenarnya menargetkan tidak adanya tindak pidana korupsi oleh kepala sekolah dan kepala desa. Namun, sayangnya praktik yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Negeri Manggarai bersama dinas terkait mempertontonkan tindak pidana korupsi,” kata Laurensius dalam pernyataan tertulis Rabu, 26 Juli.

Seminar yang digelar pada 17-18 Juli itu menjadi ramai dibicarakan setelah beberapa dari ratusan kepala desa  dari Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur yang menjadi peserta mengungkap adanya setoran Rp500 ribu untuk bisa mengikuti kegiatan tersebut.

Meski pihak Kejari Manggarai membantah, namun Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa [PMD] Manggarai, Yoseph Jehalut dan beberapa kepala desa yang mengikuti kegiatan itu membenarkan soal pungutan dana tersebut.

Laurensius mengatakan, berdasarkan perhitungan pihaknya, jika diakumulasi dari jumlah SD dan SMP serta jumlah desa di dua kabupaten itu, maka total uang yang dikumpulkan sebesar Rp614.500.000.

“Bukan tidak mungkin kepala sekolah dan kepala desa menggunakan uang yang bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah [BOS] dan dana desa,“ ujarnya.

“Artinya, untuk melaksanakan seminar yang digagas oleh Kejari Manggarai, memakan uang negara yang jumlahnya lebih dari setengah miliar rupiah. Bukankah ini bagian dari praktik korupsi?”

Laurensius mempertanyakan kegunaan dana ratusan juta tersebut.

“Apakah dijadikan mahar untuk Kejari Manggarai selaku pemateri pada seminar itu? Ataukah diperuntukkan bagi dinas terkait?,” ujarnya.

Ia mengatakan, kegiatan seminar tersebut diduga menyalahgunakan wewenang kejaksaan yang diatur pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Pungutan dalam seminar itu, kata dia, “diduga menjadi praktik penyalahgunaan wewenang” karena memerintahkan kepada kepala sekolah dan kepala desa mengumpulkan uang yang “berpotensi mengalami kerugian negara.”

Ia  meminta Kejaksaan Agung untuk segera mencopot Bayu Sugiri, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai, ”karena telah mempertontonkan praktik yang di luar tupoksinya sebagai aparat penegak hukum.”

Laurensius juga meminta Kepala Dinas PMD Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur untuk memberikan klarifikasi kepada publik supaya tidak menimbulkan ansumsi liar di tengah masyarakat.

Bayu Sugiri, Kepala Kejari Manggarai, sempat menampik tuduhan pengumpulan dana untuk membiayai kegiatan seminar yang digelar dalam rangka menyambut Hari Bhakti Adiyaksa ke-63 itu.

“Terlalu bodoh kalau saya lakukan itu. [Sudah] dua tahun enam bulan saya [bertugas] di sini,” katanya kepada wartawan.

Kepada Floresa, ia juga mengatakan: “saya pastikan tidak ada kaitannya sama saya dan jajaran.”

Sementara Yoseph Jehalut, Kepala Dinas PMD Kabupaten Manggarai membenarkan soal permintaan setoran Rp500 ribu untuk kegiatan seminar itu dan berharap kejaksaan mengakui itu.

Menurutnya, kesepakatan pengumpulan dana tersebut telah dibahas dalam suatu pertemuan yang digelar di kantor Kejaksaan Negeri Manggarai.

“Saya lupa persis tanggal kami rapat di kantor Kejaksaan itu. Yang hadir saat itu empat kepala dinas dari dua kabupaten,” kata Yoseph.

Yoseph Jehalut, Kepala Dinas PMD Kabupaten Manggarai. (Foto: Engkos Pahing/Floresa.co)

Ia merinci pejabat yang hadir itu antara lain Kadis PMD Manggarai Timur, Gaspar Nanggar, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga [PPO] Manggarai Timur, Flavianus Gon, Sekretaris Dinas PPO Manggarai, Wensislaus Sedan dan salah satu asisten Bupati Manggarai Timur.

Ia menyebut, dana Rp500 ribu yang disepakati dalam acara itu adalah untuk makanan dan minuman, sewa keamanan dan perlengkapan lain selama acara.

Yoseph mengatakan, dari hasil rapat itu, Kepala Dinas PMD kemudian mengadakan rapat dengan para camat, lalu antara para camat dengan kepala desa.

“Intinya, rapat di kecamatan itu sesuai dengan arahan saya,” jelasnya kepada Floresa di kantornya pada 24 Juli.

Pungutan seminar ini terjadi saat Kejari Manggarai tengah menjadi fokus sorotan publik, terutama dalam penanganan kasus korupsi pembangunan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.

Kejaksaan dikritik karena memproses hukum masalah pengadaan tanah terminal hingga berujung penjara bagi pemilik lahan, Gregorius Jeramu dan seorang staf di dinas terkait, Benediktus Aristo Moa. Namun, masalah pembangunan terminal yang tidak dimanfaatkan sejak selesai dibangun 2015 itu tidak ditindaklanjuti.

Terminal itu dibangun pada saat Fansialdus Jahang, kini Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Informatika Kabupaten Manggarai Timur, dan Gaspar Nanggar sebagai Kepala Bidang Perhubungan Darat di dinas itu.

Doni Parera, seorang pegiat sosial mengatakan, kasus pungutan seminar ini menambah deretan citra buruk Kejari Manggarai.

“Setelah penjarakan petani yang jual tanah miliknya kepada pemerintah,” katanya merujuk pada Gregorius Jeramu, “kini ada pungutan untuk kegiatan seminar yang besarannya hingga ratusan juta.”

“Lucunya lagi, kegiatan seminar itu membicarakan soal melawan korupsi. Publik yang kritis dibuat tersenyum kecut dengan situasi ini,” katanya.

Ia mengatakan, mestinya ketika persoalan dugaan pungutan ini mencuat ke publik, inspektorat internal kejaksaan turun tangan untuk melakukan penindakan.

Ia menjelaskan, korupsi yang “merupakan kejahatan luar biasa dan menjadi laten di NTT, salah satu dari provinsi termiskin di Indonesia, tidak dapat ditangani oleh orang-orang yang tidak bersih.”

“Bagaimana kita bisa bangkit dari ketertinggalan, keterpurukan dari kondisi provinsi termiskin, namun dengan tingkat korupsi paling tinggi, jika aparat yang tangani korupsi adalah oknum seperti ini? Apa yang mau diharapkan?,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga