Floresa – Keluarga seorang siswa sebuah Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, yang tangannya melepuh usai dihukum oleh guru dan pembina asramanya memilih mencabut laporan polisi setelah ada permintaan maaf dari pelaku.
Langkah itu ditempuh di tengah desakan sejumlah pihak untuk mengambil tegas terhadap guru itu, demi mengakhiri praktik pendisiplinan dengan kekerasan yang masih jamak dipraktikkan di lembaga pendidikan.
Damianus Demon, ayah dari salah satu siswa SMK Bina Karya Larantuka yang menjadi korban hukuman itu mengatakan telah mencabut laporan polisi pada 8 Agustus.
Ia beralasan langkah itu dilakukan karena anaknya masih mau sekolah di SMK itu.
“Jadi, kami memaafkan,” katanya kepada Floresa.
Damianus mengatakan “tidak menuntut apa-apa dari pelaku” karena “permintaan maaf yang disampaikan sudah cukup.”
Putra sulung Damianus dihukum oleh pembinanya di asrama St Yusuf yang dikelola lembaga Gereja Katolik, Serikat Sabda Allah [SVD].
Peristiwa kekerasan ini terjadi pada 2 Agustus.
Bruder Nelson, pelaku yang juga seorang biarawan Katolik memerintahkan sejumlah siswa mencelupkan tangan ke dalam air panas, diklaim sebagai bagian dari bentuk pembinaan.
Salah seorang di antara siswa itu kemudian tangannya melepuh. Foto-fotonya beredar luas di media sosial.
Perbuatan Nelson dilaporkan ke polisi oleh orang tua korban pada 3 Agustus.
Yoseph Geroda, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMK Bina Karya mengatakan peristiwa itu terjadi pada malam hari di asrama, bukan di lingkungan sekolah.
Bruder Nelson, katanya, memang juga seorang guru di SMK Bina Karya.
“Asrama itu di bawah naungan Rumah St Arnoldus Jansen,” kata Yoseph kepada Floresa pada 8 Agustus.
“Betul, anak-anak yang diasramakan itu sekolahnya di Bina Karya. Namanya asramanya, St Yusuf,” tambahnya.
Sekolah Bina Karya merupakan sekolah milik Yayasan St. Paulus Ende, yang bernaung di bawah SVD.
Yoseph mengatakan, ia ikut mewakili sekolah menemani Bruder Nelson saat bertemu dengan kelaurga Damianus di Desa Pandai, Kecamatan Wotan Ulumado pada 6 Agustus.
Sementara dari asrama, kata dia, hadir juga Pater Pit Tukan, SVD, pimpinan Rumah St Arnoldus Jansen.
“Intinya, kami ke sana minta maaf, mengaku salah dan siap bertanggung jawab atas perbuatan pelaku atau terlapor,” ujarnya.
“Dan keluarga sudah menerima baik dan memaafkan. Kami saling memaafkan,” ujar Yoseph.
Yoseph mengatakan pertemuan dengan orang tua siswa itu dimediasi oleh kepala desa setempat dan tanpa perwakilan dari aparat kepolisian.
Korban saat ini masih berada di rumah orang tuanya.
Menurut Yoseph Geroda, pihak asrama sudah menawarkan untuk dirawat di rumah sakit.
“Tetapi keluarga bilang, ‘Kami rawat saja karena lukanya juga sudah membaik, sudah mulai mengering karena oles dengan minyak ikan paus,’” katanya.
Ia juga menjelaskan, keluarga juga memberi obat antibiotik, mengolesnya dengan minyak yang diberi pihak biara dan Bruder Nelson.
“Kalau sudah sembuh baru sekolah,” ujarnya.
Damianus, ayah korban membenarkan bahwa ada tawaran untuk dirawat di rumah sakit dari pihak asrama.
Namun, kata dia, “bukan tidak mau,” tetapi khawatir anaknya sendirian di rumah sakit.
Damianus mengatakan kondisi tangan anaknya sudah membaik dan “tidak lama lagi dia sekolah.”
Tindakan Bruder Nelson sebelumnya mendapat kecaman karena dinilai sebagai bagian dari praktik pendisiplinan dengan kekerasan yang masih umum dipraktikkan di sekolah-sekolah.
Retno Listyarti dari Federasi Serikat Guru Indonesia [FSGI] kasus ini sebetulnya membuat sekolah dan guru bisa dijerat dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 54 dan 76c.
Pasal 54 menyatakan, bahwa selama di sekolah murid harus dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan pasal 76c mengatur tentang guru yang tidak boleh melakukan kekerasan terhadap murid.
Tindakan itu, kata dia, juga melanggar Permendikbud 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
“Polisi harus mengusut tuntas kasus ini agar ada efek jera terhadap para guru yang masih melakukan kekerasan dalam mendidik anak-anak,” kata Retno, yang juga mantan komisioner pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Dalam rangka pemutusan spiral kekerasan, Retno juga menekankan pentingnya pemulihan psikologi bagi korban. Hanya dengan pemulihan itu, kata dia, maka ada proses yang menyehatkan mental korban.
Dikonfirmasi terkait penyelesaian kekeluargaan antara korban dan pelaku, Kapolres Flores Timur, AKBP I Nyoman Putra Sandita mengatakan kepada Floresa pada 8 Agustus malam mereka masih terus memproses kasus ini.
“Belum ada permintaan mediasi dari korban. Penyidik masih melakukan pemeriksaan saksi-saksi,” klaimnya.
Sementara itu Damianus memastikan kepada Floresa bahwa ia telah mencabut laporan itu dan “polisi lagi proses pencabutannya.”