Floresa – Seorang anak di Kabupaten Sikka, NTT meninggal dunia karena rabies, yang menambah deretan kasus kematian akibat penyakit itu di kabupaten tersebut.
AD yang berusia 10 tahun asal Kolang Koja, Desa Watu Gong, Kecamatan Alok Timur meninggal di RSUD TC. Hillers Maumere pada Jumat pagi, 11 Agustus.
Defranky Theodorus, dokter spesialis anak di RSUD TC. Hillers Maumere mengatakan korban dirujuk dari Puskesmas Beru pada Kamis, 10 Agustus dengan gejala seperti takut air, kejang, takut angin, sering mencabut infus, dan gelisa, yang merupakan gejala orang yang terinfeksi rabies.
Ia mengatakan, korban sempat digigit anjing pada 1 Juni, namun keluarga tidak segera membawanya ke Puskesmas untuk mendapatkan vaksin anti rabies [VAR].
“Setelah digigit anjing, lukanya hanya dibersihkan menggunakan sabun di air mengalir,” kata Theodorus kepada Floresa, Jumat malam.
AD, kata dia, merupakan korban meninggal keempat di Kabupaten Sikka selama tahun ini akibat rabies – virus mematikan yang menyebar ke manusia dari air liur hewan yang terinfeksi, seperti anjing.
Sebelumnya, pada 27 Juli, seorang anak enam tahun di kabupaten itu juga meninggal karena positif rabies. Nyawa bocah perempuan itu tidak tertolong karena keluarga tidak membawanya ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan VAR usai digigit anjing pada Juni 2023.
Data yang dihimpun Floresa, sejak Januari hingga awal Agustus tahun ini, total 14 warga NTT meninggal karena rabies. Kasus kematian terbanyak adalah di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yakni 6 orang, disusul Sikka 4 orang, Ende dan Manggarai Timur masing-masing 2 orang.
Nyaris semua korban meninggal itu adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.
Jumlah ini meningkat dari 9 kematian yang tercatat selama 2022.
Secara nasional, kasus gigitan anjing rabies dan korban tewas terus mengalami peningkatan.
Tahun 2022, jumlah penularan rabies mencapai 104.229 kasus dengan 102 kematian, naik dari 57.257 kasus dengan 62 kematian pada 2021, menurut data Kementerian Kesehatan.
Sepanjang Januari-April 2023, terdapat 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies. Dari jumlah itu, 3.437 kasus gigitan terjadi NTT, yang menempatkannya sebagai provinsi dengan jumlah kasus gigitan terbesar kedua setelah Bali.
Hingga Juni, jumlah kasus gigitan di NTT tercatat 5.940 kasus atau meningkat hampir dua kali lipat, menurut data Dinas Kesehatan Provinsi NTT.
Kendati kasus gigitan terus meningkat, vaksinasi dan penertiban hewan penular rabies seperti anjing belum maksimal.
Dalam laporan yang diterbitkan pada 31 Juli, Floresa mengulas bagaimana morat-maritnya penanganan rabies di NTT.
Selain stok vaksin hewan penular rabies yang terbatas, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penyakit rabies juga menjadi pemicu banyaknya kasus kematian akibat penyakit itu.
Theodorus berharap agar masyarakat di Sikka selalu waspada dan segera mendatangi Puskesmas terdekat apabila digigit hewan penular rabies.
“Masyarakat yang memelihara hewan penular rabies agar selalu rutin melakukan pemeriksaan hewan itu ke dokter hewan atau ke Dinas Peternakan untuk mendapatkan vaksin,” ujarnya.