Pekan Air Sedunia, Walhi NTT Ingatkan Pemerintah Terkait Ketidakadilan Akses Terhadap Air

Rakyat yang tidak memiliki posisi tawar terpaksa pasrah dan mencari jalan keluar sendiri, yakni membeli air untuk memenuhi kebutuhan dasar, kata Walhi NTT

Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur [Walhi NTT] menyoroti masalah ketidakadilan akses terhadap air di tengah peringatan pekan air sedunia tahun ini.

Lembaga itu menyatakan, untuk konteks di NTT, terjadi “rendahnya pelayanan air bersih terhadap rakyat” karena pemerintah “lebih mengutamakan pelayanan air bagi pihak-pihak yang bergerak di sektor bisnis.”

Di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, kata Walhi, pelayanan air bersih kepada masyarakat lebih rendah bila dibandingkan kepada para pengusaha atau pebisnis air.

Dalam kondisi yang demikian, menurut lembaga advokasi lingkungan itu, rakyat yang tidak memiliki posisi tawar terpaksa “pasrah dan mencari jalan keluar sendiri” yakni membeli air untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Rakyat kota Kupang dipaksa memaklumi dalil ‘kita sedang krisis air,’” kata Walhi.

“Nyatanya persediaan air tanah di kota Kupang sangat melimpah karena berdiri di atas bentangan karts.”

Contoh lainnya di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat,  di mana “air bersih kerap menjadi masalah rakyat jelata,” sementara untuk bisnis di sektor pariwisata khususnya perhotelan, air selalu terpenuhi.

“Dari dua kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hak rakyat selalu diabaikan, walau mendesak sekalipun,” tulis Walhi NTT dalam pernyataan yang diterima Floresa dalam rangka peringatan hari air 20-24 Agustus.

Padahal, kata lembaga itu, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengatur bahwa perekonomian tidak hanya dikuasai oleh individu atau sekelompok orang tertentu, misalnya “praktik privatisasi air yang marak terjadi di negeri ini.”

“[Pasal itu] menegaskan hak sekaligus kewajiban negara dalam upaya kemakmuran rakyat dari sumber daya alam yang ada, termasuk air.”

Penguasaan sumber daya alam dalam pasal tersebut, lanjut Walhi, dapat ditafsir sebagai “langkah menuju keadilan yang distributif tanpa mengabaikan hak-hak rakyat.”

“Posisi negara dalam pasal ini tidak menjelaskan ownership atau kepemilikan melainkan ‘menguasai.’”

Pekan Air Sedunia merupakan peringatan berupa konferensi tahunan yang membahas cara mengatasi tantangan terkait air di dunia.

Tema yang diusung untuk peringatan tahun ini adalah ‘Seeds of Change: Innovative Solutions for Water-Wise World.’

Tema ini mengajak masyarakat dunia untuk sama-sama memikirkan kembali upaya pengelolaan air dengan bijak.

Bersamaan dengan momentum itu, Walhi NTT mendesak pemerintah untuk menghentikan obral izin usaha air bersih yang berujung pada privatisasi.

Lembaga itu juga mendesak pemerintah meningkatkan pelayanan dan memenuhi hak akses terhadap air kepada rakyat dan menetapkan langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Doni Parera, aktivis sosial yang selama ini memberi perhatian khusus terhadap isu lingkungan di Labuan Bajo, menguatkan pernyataan Walhi NTT terkait ketimpangan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di kota pariwisata super prioritas itu.

“Pelayanan kebutuhan dasar manusia [di Labuan Bajo] ini masih jauh dari yang diharapkan,” katanya.

Di beberapa pemukiman warga di kota Labuan Bajo, kata Doni, warga masih kesulitan air bersih, hal yang sangat kontras dengan “kondisi di hotel-hotel besar yang tidak kekurangan air, termasuk di kolam renangnya.”

Ke depan, kata dia, akses masyarakat terhadap air bersih akan semakin sulit karena mata air yang selama ini menopang kebutuhan warga di Labuan Bajo terus menyusut dan bahkan ada yang sudah mati.

Di sisi lain, lanjutnya, proyek instalasi air bersih yang menelan biaya 100 miliar rupiah dari Anggara Pendapatan dan Belanja Negara yang baru-baru ini diresmikan belum dapat memberikan pelayanan maksimal kepada warga Labuan Bajo.

“Belum ada keseriusan merawat daerah aliran sungai, area tangkapan air,  melindungi hutan dan mata air. Bahkan tidak terdengar rencana menertibkan penggunaan air tanah,” katanya.

Lebih miris lagi, lanjut Doni, saat ini di Labuan Bajo sudah tersiar informasi soal rencana pemberian izin mendirikan perusahaan air minum “yang menyedot langsung air tanah dari hulu di kaki Mbeliling, hutan penyangga Labuan Bajo.”

Doni berharap agar fungsi hutan di sekitar Labuan Bajo dikembalikan dan “rawat hutan-hutan lindung yang jadi hulu dari Wae Mese,” yang jadi penyuplai 70 persen kebutuhan air minum di Lab Bajo saat ini.

“Segera bikin aturan penggunaan air tanah,” ujarnya.

Selain itu juga, katanya, agar akses terhadap air betul-betul adil, maka pemerintah harus menaikkan tarif air untuk hotel-hotel besar, “supaya bisa subsidi untuk pengadaan air minum bagi saudara-saudara di pulau-pulau.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA