Floresa.co – Ratusan warga dari Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok menggelar aksi penanaman tanaman pangan lokal dan komoditi di beberapa titik lahan ulayat dalam wilayah adat mereka pada Senin, 25 September.
Aksi tersebut, yang diadakan dalam rangka Hari Tani Nasional [HTN], yang diperingati setiap tanggal 24 September, mengangkat tema “Pertanian/Pangan Lokal Sumber Kehidupan, Geothermal Racun Kehidupan.”
Dalam pernyataan yang diterima Floresa, warga menanam beberapa jenis tanaman pangan lokal, seperti umbi-umbian dan pisang, dan komoditi seperti cengkeh dan kopi.
“Tanaman-tanaman tersebut telah menjadi penopang perekonomian warga Poco Leok selama bertahun-tahun,” kata mereka.
Aksi massal tersebut berlangsung di tiga titik lahan ulayat [lingko], yakni Lingko Tanggong milik Gendang Lungar, Lingko Mesir milik Gendang Mesir, dan Lingko Lapang milik Gendang Mocok.
“Selain dalam rangka HTN 2023, aksi ini juga digelar sebagai bentuk kampanye kaum tani Poco Leok dalam rangka memperkenalkan sekaligus mendorong minat terhadap aneka ragam pangan lokal yang menjadi komoditi andalan penopang perekonomian warga sehari-hari,” demikian menurut pernyataan warga.
Dalam aksi tersebut, yang berlangsung sejak pukul 08.00 Wita, warga memenuhi tiga wilayah lingko yang sudah disepakati bersama sebagai lokasi kegiatan, dengan membawa serta bibit dan peralatan kerja.
Lawan Perampasan Tanah Ulayat
Aksi penanaman tanaman pangan lokal tersebut berlangsung di tengah konflik antara warga dari empat belas kampung adat di Poco Leok dengan pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN], terkait proyek geothermal perluasan PLTP Ulumbu di wilayah itu.
Setelah diterbitkannya SK Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 Tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok pada 1 Desember 2022, PT PLN dan Pemda Manggarai yang dikawal ketat aparat keamanan secara rutin beraktivitas di beberapa lahan ulayat, seperti welpad D di lingko Tanggong, welpad E di lingko Lelak, welpad F di lingko Mesir dan Ncamar, dan welpad G di lingko Lapang.
Lahan ulayat tersebut, demikian pernyataan warga, adalah “lahan pertanian yang menopang perekonomian”, juga di dalamnya terdapat bekas perkampungan, kuburan leluhur, mata air, altar persembahan, juga rumah-rumah warga.
“Semuanya terikat dan terhubung dengan filosofi Lampek Lima, seperti Mbaru Kaeng (rumah), Natas Labar (halaman), Uma Duat (kebun), Wae Teku (mata air), dan Compang Takung (altar persembahan),” tulis warga.
Karena itu, aksi penanaman tanaman pangan lokal dan komoditi tersebut juga menjadi “bentuk perlawanan warga atas tindakan sepihak pemerintah dan perusahaan dalam upaya merampas tanah ulayat dan ruang hidup warga untuk kepentingan proyek geothermal.”
Pada kesempatan tersebut, warga juga menyatakan beberapa tuntutan bersama, “sebagai kaum tani yang terus terancam kehilangan ruang hidupnya” akibat proyek geothermal, yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional.
Tuntutan tersebut yakni mencabut SK Penetapan Lokasi oleh Bupati Manggarai yang tidak melibatkan masyarakat adat, menghentikan aktivitas PT PLN dan aparat keamanan di wilayah adat Poco Leok, dan menghentikan aksi intimidasi dan upaya memecah belah warga oleh perusahaan dan aparat kepolisian.
Tuntutan lainnya ditujukan kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KwF], untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek tersebu dan kepada Kementerian ATR/BPN untuk menghentikan proses sertifikasi lahan ulayat milik warga.
Warga juga menuntut pemerintah untuk mencabut kembali SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi.
Proyek geothermal Poco Leok, perluasan dari PLTP Ulumbu menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Beragam upaya dilakukan warga untuk menolak proyek ini, di antaranya pengiriman surat aduan kepada Bank KfW, menulis surat kepada pihak pemerintah dan ATR/BPN Manggarai, juga berbagai aksi penghadangan terhadap aktivitas perusahaan dan unjuk rasa di berbagai lokasi, seperti di Ruteng, Kupang dan Jakarta.
Pada 17 Agustus, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-78, warga Poco Leok mengadakan upacara bertajuk ‘Merdeka Tanpa Geotherma,” di mana mereka menegaskan penolakan terhadap proyek itu.