Kekeringan Ekstrem Tahun Ini ‘Baru Pendahuluan,’ Krisis Pangan Jadi Ancaman Serius

Pemerintah merekomendasikan untuk memperbanyak infrastruktur penampung air, terutama di wilayah seperti NTT

Baca Juga

Floresa.co – Kekeringan ekstrem yang terjadi pada tahun ini akibat El Nino, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] baru merupakan babak pembuka dari krisis akibat perubahan iklim.

Bila berbagai upaya mitigasi gagal, diperkirakan suhu muka bumi akan meningkat drastis dan memicu berbagai bencana seperti kekeringan dan banjir serta krisis pangan, demikian menurut BMKG.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan El Nino yang merupakan fenomena meningkatnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian timur menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang sejak Juli.

Situasi ini, kata dia, diperkirakan masih akan terjadi hingga Februari-Maret 2024.

Hal ini memicu kekeringan yang lebih panjang dan intensitas yang lebih kuat dibandingkan tahun 2020-2022, kata Dwikorita.

Ia menjelaskan, pada 2020-2022, Indonesia dilanda La Nina yang merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina merupakan fenomena suhu muka laut Samudera Pasifik bagian tengah yang mengalami pendinginan di bawah kondisi normal. Dampaknya, curah hujan di Indonesia lebih tinggi. Bahkan, pada musim kemarau tahun 2020-2022, hujan masih turun di sebagian besar wilayah Indonesia.

Meski dampak El Nino diperkirakan masih akan terasa hingga tahun depan, menurut dia, saat ini sebagian wilayah Indonesia sudah mulai diguyur hujan.

“Untuk wilayah Indonesia bagian khatulistiwa ke selatan, November sudah mulai hujan secara berangsur-angsur, tetapi wilayah Indonesia bagian khatulistiwa ke utara, sudah mulai turun hujan di beberapa wilayah mulai September-Oktober,” ujar Dwikorita dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 16 Oktober ini.

Meski hujan sudah mulai turun, Dwikorita mengingatkan bencana kekeringan yang terjadi pada tahun ini “baru bagian pendahuluan.”

Ia juga menyebut potensi kenaikan suhu bumi yang terus berlanjut.

Berdasarkan perhitungan BMKG, jelasnya, rata-rata kenaikan suhu dalam 10 tahun adalah 0,3 derajat Celcius.

Dari perkiraan para pakar, baik global maupun Indonesia, kenaikan suhu bumi bahkan bisa lebih cepat.

“Di Indonesia, kami memprediksi pada akhir abad 21 kenaikannya bisa mencapai 3,5 derat Celsius,” katanya.

“Bisa dibayangkan bagaimana frekuensi kejadian bencana akan melompat berapa kali. Durasi [kekeringan] akan lebih panjang dan intensitasnya lebih kuat,” ujarnya.

Dari Krisis Air ke Krisis Pangan

Kenaikan suhu bumi ini, jelas Dwikorita, memicu bencana kekeringan di berbagai negara di dunia, dengan dampak lanjutan krisis pangan.

“Diproyeksikan di tahun 2050 atau tahun 2045, di kala Indonesia mengalami masa emas, dengan asumsi kita gagal memitigasi perubahan iklim atau mengendalikan laju kenaikan suhu, diproyeksikan terjadi krisis pangan,” ujarnya.

Krisis ini bisa saja terjadi hampir seluruh dunia, kata dia, sehingga satu negara tidak bisa mengimpor pangan dari negara lain karena kondisi yang dialami sama.

Organisasi Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), kata Dwikorita, “memprediksi kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% sumber pangan dunia, akan terdampak paling rentan.”

Pada kesempatan yang sama, Endra S. Atmawidjaja, Juru Bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] mengatakan, “kita tidak bisa menilai bahwa tantangan perubahan iklim ini sesuatu yang masih menjadi perdebatan.”

Tantangannya, jelas dia, “memang sudah sangat riil dan dampaknya kita rasakan bersama.”

Dampak yang bisa disaksikan dan dirasakan langsung, tambahnya, adalah saat musim hujan terjadi, curah hujan dengan intensitas tinggi yang menyebabkan banjir, sementara pada musim kemarau, terjadi durasi musim kering tanpa air yang juga sangat panjang.

Efeknya, menurut Endra, menjadi sangat serius karena kemudian berimplikasi pada ketahanan pangan.

“Kita kehilangan momentum untuk bisa menanam bahan-bahan pokok, terutama padi, jagung, bawang dan lain-lain.”

Menghadapi kondisi perubahan iklim ini, jelasnya, Kementerian PUPR membangun infrastruktur untuk menjamin ketersediaan air.

“Artinya, kita perlu menambah tampungan-tampungan air yang memang digunakan untuk mensuplai air pada musim kemarau, sekaligus pada musim hujan bisa menampung kelebihan debit akibat hujan ekstrem,” ujar Endra.

Ia mengatakan, Indonesia perlu menambah banyak bendungan, embung dan memelihara tampungan yang sudah ada yang disediakan oleh alam, seperti danau dan situ.

Dalam 10 tahun terakhir, kata dia, pemerintah merencanakan pembangunan 61 bendungan baru. Sebanyak 36 bendungan sudah selesai dibangun, 10 lainnya diupayakan selesai pada tahun ini dan 15 selesai pada tahun 2024.

“Bendungan ini sangat penting sekali karena bisa meningkatkan ketahanan pangan kita,” katanya.

“Biasanya kita menanam, katakanlah hanya dua kali satu tahun, [dengan adanya bendungan] kita bisa tingkatkan menjadi tiga kali bahkan lebih kalau kita kombinasikan dengan palawija,” ujarnya.

Meski telah membangun 61 bendungan baru sehingga Indonesia kini memiliki 300 bendungan besar yang jika ditambah bendungan skala kecil, embung dan situ, totalnya antara 3.000-4.000, Endra mengakui jumlah tersebut pun masih jauh dari cukup. 

“Ini kelihatannya banyak, tetapi sebetulnya sama sekali tidak banyak kalau kita bandingkan dengan negara lain,” katanya.

Ia mencontohkan Korea yang hanya seluas Jawa Tengah memiliki 3.000an bendungan kecil, sedang dan besar dan China yang memiliki 98.000 bendungan.

“Artinya, kita membangun terlihat banyak, tetapi sebetulnya masih jauh dari cukup,” tambahnya.

Menurutnya, ke depan pembangunan infrastruktur penampung air harus terus dilakukan.

Ia secara khusus menyebut wilayah seperti Nusa Tenggara Timur [NTT] yang memiliki karakter alam yang kering.

“Di NTT, yang kita tahu prasyarat dari kesejahteraan masyarakat yang utama adalah ketersediaan air,” katanya.

Tanpa air yang cukup, kata dia, dampaknya makin parah, di tengah perubahan iklim saat ini.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini