Msgr Anton Pain Ratu, SVD, Uskup Tertua di Indonesia Tutup Usia, Dikenal Peduli dengan Isu Sosial

Uskup Pain Ratu meninggal di Atambua dalam usia 95 tahun pada 6 Januari 2024

Baca Juga

Floresa.co – Seorang tokoh Gereja Katolik senior di Nusa Tenggara Timur [NTT], Msgr. Anton Pain Ratu, SVD meninggal pada Sabtu, 6 Januari.

Pain Ratu – Uskup Emeritus Keuskupan Atambua, wilayah NTT yang berbatasan dengan Timor-Leste, merupakan uskup tertua di Indonesia, yang baru saja merayakan ulang tahun ke-95 pada 2 Januari.

Ia meninggal di RSUD Msgr. Gabriel Manek, SVD Atambua pukul 10.15 Wita, demikian informasi dari Pastor Vincentius Wun, Vikaris Jenderal Keuskupan Atambua dalam sebuah pengumuman resmi.

Kabar meninggalnya ramai dibicarakan di media sosial, seiring pesan-pesan dukacita disampaikan oleh umat Katolik yang dekat dan pernah mengenalnya. 

Lebih dari Dua Dekade Memimpin Keuskupan Atambua

Pain Ratu memimpin Keuskupan Atambua selama lebih dari dua dekade.

Ia ditunjuk sebagai Uskup Auksilier Atambua pada 2 April 1982 dan ditahbiskan pada 21 September 1982.

Bersamaan dengan dikabulkannya permohonan pensiun Msgr. van den Tillart, SVD, Uskup Atambua ketika itu, Pain Ratu ditunjuk meneruskan kepemimpinannya.

Ia diinstalasi sebagai Uskup Atambua pada 9 Mei 1984.

Pada 2003, saat ia berusia 75 tahun, usia pensiun bagi uskup dalam Gereja Katolik, ia mengajukan pengunduran ke Vatikan.

Butuh empat tahun kemudian permohonannya dikabulkan, ketika Paus Benediktus XVI memilih Msgr. Dominikus Saku sebagai penggantinya.

Penunjukan Dominikus yang ditahbiskan pada 21 September 2007, juga menandai peralihan kepemimpinan Keuskupan Atambua dari sebelumnya oleh para uskup SVD ke Diosesan atau Projo.

Lahir dari Keluarga Petani

Pain Ratu lahir di Lamawolo, kampung mungil di kaki Ili Boleng, gunung berapi sebelah selatan Pulau Adonara. Secara administratif, Lamawolo masuk Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur. 

Ayahnya, Kosmas Kopong Liat, seorang petani yang juga Kepala Suku Ratumakin, sementara ibunya, Maria Boli Beraya, anak Kepala Suku Atakela.

Maria merupakan pemimpin kelompok kerja perempuan di kampungnya, penjual tembakau dan dendeng paus.

Pain Ratu menjalani pendidikan dasar di SR Leworere, Tanah Boleng pada 1939 dan pendidikan lanjutan di Vervolgd School, Larantuka tahun 1940 hingga 1942.

Ia kemudian masuk ke Seminari St. Yohanes Berkhmans, Todabelu-Mataloko di Kabupaten Ngada sejak 1942 hingga 1950 dan juga Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero sejak tahun 1950 hingga 1958.

Pada 15 Januari 1958, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Msgr. Gabriel Manek, SVD, Uskup Larantuka ketika itu.

Setelah menempuh pendidikan lanjut antropologi budaya di Institut Pastoral Asia Timur dan melewati tahun-tahun pastoral, pada 12 April 1972 ia diangkat menjadi Regional SVD – yang sekarang disebut provinsial.

Ia mengemban tugas itu selama tiga periode berturut-turut, hingga penunjukannya sebagai uskup.

Keterlibatan Sosial

Selama menjadi Uskup Atambua, Pain Ratu dikenal karena keterlibatannya dalam isu sosial.

Sebagaimana dilukiskan oleh Pastor Steph Tupeng Within, seorang imam SVD, yang pernah memimpin koran Flores Pos di Flores, Pain Ratu terlibat dalam upaya membantu warga Timor-Leste yang eksodus ke wilayah Timor Barat saat konflik memanas pada 1990-an yang berujung kemerdekaan.

“Ia menggerakkan upaya bantuan darurat bagi mereka, sambil juga tetap menuntut tanggung jawab pemerintah atas kehidupan yang layak para pengungsi,” tulisnya.

Jika mereka dipulangkan ke Timor Leste pun, menurut Pain Ratu, “harus dipulangkan secara baik dan damai.”

Kala itu, lepasnya Timor Timur dari Indonesia memang memberikan alasan bagi militer untuk menempatkan pasukan dalam jumlah besar demi mengamankan lokasi perbatasan.

Kehadiran aparat melahirkan banyak aksi kekerasan oleh tentara dan pelanggaran hak asasi manusia.

Uskup Pain Ratu digambarkan tidak ragu-ragu mengecam keras dan meminta pengurangan kehadiran militer di wilayah perbatasan. 

Pada 2006, Pain Ratu juga berperan menyerukan penghentian kekerasan di Atambua saat aksi massa yang protes terhadap eksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva di Poso, Sulawesi Tengah.

Ketiganya adalah petani asal Flores, yang didakwa terlibat dalam kerusuhan di Poso.

Pastor Steph menggambarkan Pain Ratu ikut dalam aksi massa itu, lengkap dengan jubah, mempersoalkan hukuman mati.

Kala itu, saat eksekusi akhirnya terlaksana pada 22 September 2006, Atambua rusuh oleh aksi protes rakyat, disertai pembakaran gedung simbol penegakan hukum. 

“Siapa yang berani turun ke jalan untuk meredam gejolak massa? Siapa yang bisa didengar suaranya oleh para aktivis dan menjadi sandaran aparat keamanan yang gelisah? Hanya Uskup Anton Pain Ratu, SVD seorang,” tulis Steph.

“Ia dibonceng sepeda motor berkeliling Atambua sambil menyerukan penghentian aksi kekerasan dan pengrusakan. Atambua kembali tenang,” tulis Pastor Steph.

Pastor itu menyebut Pain Ratu telah menunjukkan keterlibatannya di tengah persoalan sosial kemanusiaan.

“Sebagai nabi,” katanya, Pain Ratu “telah memberikan contoh tentang keberpihakan Gereja kepada kaum kecil dan tertindas dengan corak Alkitabiah yakni perjuangan tanpa kekerasan.”

“Ketidakadilan memang harus ditolak tetapi kekerasan tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya,” tulisnya.

Bersahaja

Pain Ratu sempat kembali ke Lamawolo pada 2008, merayakan 50 tahun imamatnya dan 25 tahun sebagai uskup.

Pastor Steph menggambarkan Pain Ratu ketika itu sebagai sosok yang “sudah tua tapi masih gertak.”

“Suaranya menggeletar diselingi guyonan yang tajam, menyengat tapi bernada menghibur,” tulisnya.

Sejak pensiun, ia tinggal di dekat Tempat Ziarah Bitauni di Paroki St. Maria di Kiupukan.

Tempat itu ia minta sendiri dalam sebuah surat sebelum pentahbisan penggantinya, Uskup Dominikus.

Di tempat itu, sebagaimana ditulisnya dalam surat tersebut, ia ingin menggunakan sisa hidup “sebaik mungkin dengan berdoa, menulis dan membantu Keuskupan Atambua sejauh kemampuan dalam bidang pelayanan.”

Hingga kemudian mengembuskan napas terakhirnya, di tempat itu, Pain Ratu memang masih aktif membaca, menulis dan memimpin Misa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini