Rektor IFTK Ledalero Setuju Penilaian Romo Magnis terkait Pelanggaran Etik Jokowi dalam Pilpres

Meski ‘mustahil’ mengubah hasil pemilihan, gugatan terhadap hasil Pilpres ini penting bagi pembelajaran demi perbaikan demokrasi

Baca Juga

Floresa.co – Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero di Flores, Pastor Otto Gusti Madung, SVD menyatakan setuju dengan penilaian Romo Franz Magnis-Suseno, SJ yang menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan pelanggaran etik berat karena menyalahgunakan kekuasaannya dalam pemilihan presiden [Pilpres] 2024.

“Saya sepakat dengan pendapat Romo Magnis,” kata Otto kepada Floresa.

Pelanggaran etika mendasar yang dilakukan oleh Jokowi adalah abuse of power [penyalahgunaan kekuasaan] yang terungkap lewat pembagian bantuan sosial dengan melabrak semua prosedur, pengerahan aparat, kepala desa, dan lain-lain,” tambahnya.

Jika abuse of power seperti itu dibiarkan, kata Otto, yang juga pengajar filsafat di Ledalero, “akan menciptakan preseden ke depan bahwa siapa saja yang berkuasa boleh melakukan apa saja.”

Apa yang Dikatakan Magnis?

Otto menanggapi pernyataan Magnis saat hadir dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi pada 2 April.

Guru besar filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta itu menjadi saksi ahli bagi tim hukum pasangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD yang menggugat hasil pemilihan pada 14 Februari.

Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sebagai pemenang dalam keputusan pada 30 Maret.

Magnis menyebut pelanggaran etik berat oleh Jokowi terjadi dengan meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.

“Ini membuktikan orang tersebut tidak mempunyai wawasan seorang presiden yang mendedikasikan hidup 100 persen untuk rakyat, melainkan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya,” katanya.

Gibran menjadi calon wakil Prabowo setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pada Oktober bahwa kandidat berusia di bawah 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden jika pernah menjabat sebagai kepala daerah hasil pemilihan umum.

Putusan itu menjadi karpet bagi Gibran yang berusia 36 tahun dan sedang menjabat sebagai Wali Kota Solo di Provinsi Jawa Tengah. 

Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengambil putusan itu sembilan orang, yang diketuai Anwar Usman, saudara ipar Jokowi. Anwar sudah dinyatakan melanggar etik berat karena putusan itu.

Magnis dalam paparannya juga menyoroti keberpihakan Jokowi yang memakai kekuasaan untuk memberi petunjuk pada Aparatur Sipil Negara, polisi dan militer demi mendukung salah satu kandidat serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan dalam rangka memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu.

“Dia secara berat melanggar tuntutan etika bahwa dia tanpa membedakan-bedakan adalah presiden semua warga negara, termasuk semua politisi,” kata imam Katolik kelahiran Jerman yang sudah menjadi warga Indonesia sejak 1977 itu.

Magnis juga menyoroti pembagian bantuan sosial menjelang pemilihan, mengingatkan bahwa bantuan itu bukan milik presiden, tapi milik bangsa Indonesia yang pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian terkait dan ada aturan pembagiannya. 

Dia mengibaratkan presiden yang memanfaatkan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral dengan karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. 

“Jadi, itu pencurian, ya pelanggaran etika,” kata Magnis, “itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika.”

Ia menyebut seorang presiden yang memakai kekuasaan untuk menguntungkan keluarganya sendiri sebagai “hal yang amat memalukan.”

Merespons pernyataan Magnis, Yuzril Ihza Mahenda, salah satu kuasa hukum Prabowo-Gibran menyatakan ada perbedaan etik dalam filsafat dan etik dalam hukum.

Ia berkata, etik yang dibicarakan dalam sidang itu adalah yang mengacu pada hukum seperti undang-undang dan bersinggungan dengan kewenangan lembaga seperti Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan.

Lembaga demikian, kata dia, “melakukan pemeriksaan suatu etik” dan “etik seperti itu agak berbeda dengan etik dalam filsafat.”

Menanggapi itu, Magnis berkata etika dalam filsafat berkaitan dengan etika hukum, yang juga menjadi penyatu masyarakat Indonesia.

“Tentu bagi Indonesia, etika, kesadaran atas nilai sejak permulaan merupakan salah satu unsur yang mempersatukan suatu masyarakat yang amat majemuk,” katanya. 

“Apakah ada perbedaan etika dengan etika dalam kerangka hukum? Tentu tidak,” lanjutnya.

Menurutnya, tidak semua aturan tertulis dalam praktik hukum dan tata negara, termasuk soal etika.

“Suatu ketentuan etis yang tidak dirumuskan dalam hukum memang tidak bisa ditindak oleh yudikatif,” katanya.

Namun, jelaskan, ketentuan etis itu merupakan “unsur-untuk menilai, unsur bagaimana seseorang atau lembaga dinilai.”

Otto: Jokowi Merusak Demokrasi

Otto menyatakan praktik Jokowi sebagaimana yang disorot Magnis “tidak baik untuk demokrasi” yang terus diperjuangkan di Indonesia pasca runtuhnya rezim otoritarian Soeharto pada 1998.

Demokrasi, kata Otto, lahir dari ikhtiar dan perjuangan umat manusia untuk membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang.

“Demokrasi adalah sebuah mekanisme kontrol agar kekuasaan digunakan untuk menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial,” katanya.

Rektor IFTK Ledalero, Otto Gusti Madung, SVD. (Situs IFTK Ledalero)

Ia mengkritisi Jokowi yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan membagi-bagi bantuan sosial menjelang pemilihan “yang hanya menciptakan relasi paternalistik antara negara dan warga negara.”

Ia menambahkan, salah satu prinsip penting dalam demokrasi adalah prinsip negara hukum [the rule of law] untuk melindungi setiap warga negara dari praktik kekuasaan yang sewenang-wenang.

Prinsip itu, kata dia, juga menegaskan bahwa hukum berlaku untuk setiap orang secara setara, termasuk bagi para pemangku kekuasaan.

The rule of law memastikan bahwa hukum berlaku secara fair dan setara serta menjamin bahwa tak seorang pun berdiri di atas hukum,” katanya.

Otto menyatakan jika pelanggaran yang dilakukan Jokowi dibiarkan berlalu begitu saja, tanpa ada tindakan terhadapnya, hal itu “dapat merusak prinsip negara hukum dan juga menghancurkan demokrasi.”

Kecil Kemungkinan Mengubah Hasil Pilpres, Apa Manfaat Gugatan Ini?

Sidang sengketa hasil Pilpres ini diajukan oleh dua kandidat yang kalah, termasuk pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Lucius Karus, seorang pengamat politik asal Manggarai Barat menyatakan, sengketa ini kecil kemungkinan akan mengubah hasil Pilpres, mengingat Prabowo-Gibran unggul jauh 58 persen dari dua kandidat lainnya.

“Bahkan bisa dikatakan mustahil untuk mengubah hasil,” katanya, “kecuali kalau Mahkamah Konstitusi bisa mengambil putusan revolusioner dengan mempertimbangkan berbagai bentuk pelanggaran yang diajukan pemohon.”

Meski demikian, kata dia, berbagai tudingan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi selama pemilihan penting untuk dibicarakan dan diuji dalam persidangan “sebagai bahan pembelajaran bagi bangsa Indonesia ke depan.”

Pengamat politik, Lucius Karus. (Facebook)

“Kalau itu dibiarkan saja, maka sama saja dengan menormalisasi pelanggaran yang bisa jadi akan direpetisi oleh penguasa lainnya dalam pemilihan berikut,” tambahnya.

Ia juga berharap Mahkamah Konstitusi bisa melahirkan putusan yang bisa berdampak bagi perubahan regulasi, misalnya terkait pemilihan umum maupun bantuan sosial.

Ia mencontohkan perlu adanya ketentuan yang melarang pembagian bantuan sosial menjelang proses elektoral, tidak hanya menjelang pemilihan presiden, tetapi juga pemilihan kepala daerah dan legislatif.

“Hal ini penting untuk mencegah upaya penyalahgunaan kekuasaan yang secara vulgar kita saksikan dalam pemilihan tahun ini,” katanya.

Ia juga menyatakan setuju dengan pandangan-pandangan etis seperti disampaikan Romo Magnis demi memperbaiki proses demokrasi di Indonesia, mengingatkan bahwa etika penting untuk suatu bangsa yang beradab.

“Saya membayangkan kalau praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan itu tidak dipersoalkan, taruhannya amat besar,” katanya.

“Demokrasi Indonesia akan mengalami kemunduran serius karena mereka yang berkuasa ke depan bisa menggunakan pola serupa. Ini tentu bahaya besar bagi demokrasi,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini