Polisi di Kupang yang Mabuk dan Berulah Saat Jaga Keamanan di Gereja akan Jalani Sidang Kode Etik

Sementara ia disangkakan pasal penistaan, yang hukuman terberatnya adalah pemberhentian dengan tidak hormat

Floresa.co –  Berkas perkara seorang polisi yang mabuk sopi, makan roti dan minum anggur lebih dari sekali dan belum diberkati saat perjamuan kudus, lalu cekcok dengan jemaat suatu gereja di Kupang sudah lengkap.

Sidang kode etik terhadap Iptu Dalfis Hadjo, polisi yang berulah dalam peribadatan di Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT] Kota Kupang itu akan segera digelar, demikian kata atasannya.

Berkas kasus ini telah dilimpahkan Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] Kepolisian Resor Kota [Polresta] Kupang ke Propam Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur [Polda NTT] pada 2 April.

“Yang bersangkutan sudah ditahan, dinonaktifkan dari jabatannya dan dua pekan lagi disidang kode etik,” kata Kapolresta Kupang, Kombes Polisi Aldinan R.J.H. Manurung kepada Floresa pada 2 April.

Ia menjelaskan, Dalfis disangkakan pasal 12 huruf e dan pasal 13 huruf k Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Kepolisian dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Huruf e pasal 12 mengatur tentang etika kemasyarakatan berkaitan dengan sikap, ucapan dan tindakan sewenang-wenang anggota Polri. Sementara huruf k pasal 13 peraturan tersebut mengatur tentang terkait perbuatan menista dan/atau menghina. 

Namun, substansi kedua pasal itu berbeda dengan pernyataan Aldinan, yang menyebut tindakan anak buahnya itu bukan penistaan agama, tetapi “mencemarkan tata cara perjamuan kudus.”

“Bila menghina, disebut penistaan. Tapi ini [tindakan Dalfis] adalah pencemaran tata cara perjamuan kudus,” katanya.

Penistaan atau Pencemaran?

Direktur Eksekutif Institut Transformasi Hukum Indonesia, Bonifasius Gunung berkata, polisi perlu mendalami dengan baik kasus ini. 

Ia mempertanyakan inkonsistensi antara pernyataan Aldinan dan pasal yang disangkakan terhadap Dalfis.

“Pencemaran dan penistaan itu dua hal yang berbeda,” katanya kepada Floresa pada 4 April. 

Bila perilaku Dalfis ditetapkan sebagai penistaan, kata Boni, “maka kejahatan itu akan berbuah hukuman yang lebih berat,” maksimal pemberhentian dengan tidak hormat.

Sebaliknya jika tindakannya diputuskan telah mencemarkan tata cara keagamaan, “polisi dapat menerapkan hukuman disiplin.”

Boni mengatakan polisi perlu menjelaskan jenis pelanggaran ini dengan baik kepada masyarakat.

“Secara faktual, kejadian ini dianggap penistaan atau pencemaran? Atau dua-duanya, pencemaran yang bersifat penistaan?”

Boni berpandangan tindakan Dalfis bukan suatu kejahatan/

“Ia mengambil roti dan anggur serta mengonsumsi sebelum waktunya. Kemudian ia mengambil lebih dari sekali. Jadi ini pelanggaran disiplin, bukan kejahatan,” katanya. 

Meski begitu, ia mengingatkan polisi menangani kasus ini secara transparan, serta menjatuhkan hukuman disiplin maksimal sesuai tingkat pelanggaran Dalfis.

Selain memberikan efek jera bagi personel kepolisian, penanganan kasus ini “diharapkan dapat memulihkan kepercayaan gereja dan jemaat terhadap institusi kepolisian.”

“Penegakan hukumnya harus tegas dan objektif,” kata Boni.

Sanksi Maksimal

Dalfis menjabat Kepala Seksi Hukum di Polresta Kupang. 

Pada 29 Maret, ia menghadiri ibadat Jumat Agung di GMIT Kota Kupang sembari bertugas mengamankan kegiatan di sana “dalam keadaan mabuk sopi,” kata Aldinan. 

Dalam ibadat Jumat Agung itu, sejumlah penatua berjalan ke bangku-bangku jemaat untuk membagikan roti dan minuman anggur.

Keduanya lebih dahulu diberkati sebelum dikonsumsi jemaat, yang hanya menerima sekali pembagian roti dan minuman anggur.

Ketika seorang penatua berjalan mendekati bangkunya, Dalfis tahu-tahu mengambil sepotong roti dan satu sloki berisi minuman anggur sebelum menyesapnya. 

Roti dan minuman anggur itu belum diberkati.

Tak lama lewat lagi seorang penatua yang lain. Ia mengambil kembali roti dan satu sloki minuman anggur–yang juga belum diberkati.

Majelis gereja lalu menegurnya. Tak terima ditegur, Dalfis marah-marah, yang berujung pada cekcok antara majelis gereja dan dirinya.

Terhadap perilaku Dalfis, Sekretaris Majelis Jemaat GMIT Kota Kupang, Harry Uly mengaku “tak terima atas tindakan pelecehan terhadap sakramen perjamuan, sehingga langsung kami laporkan.”

Harry menilai perilaku Dalfis tidak menunjukkan dirinya seorang perwira polisi. 

Saat ditegur, “ia justru tidak terima dan bertengkar dengan majelis,” bahkan “tak menunjukkan penyesalan saat berdiskusi antara gereja dan polisi.”

Anggota Komisi Kepolisian Nasional [Kompolnas], Poengky Indarti menyesalkan perbuatan Iptu Dalfis. 

Kepada Floresa pada 2 April, Poengky mengatakan, tindakan Dalfis menggambarkan “ketidakprofesionalan dan ketidakdisiplinan anggota Polri dalam menjalankan tugas sehingga mencemarkan nama baik institusi.”

Poengky “mendukung penahanan dan penonaktifan Dalfis dari jabatannya.”

“Saya berharap langkah itu diikuti pemberian hukuman yang tegas agar ada efek jera.”

Bila ditemukan kesengajaan dalam tindakan Dalfis, katanya, “ia patut dikenai sanksi maksimal berupa pemberhentian dengan tidak hormat.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA