Ombudsman Sebut Akses dan Kualitas Layanan Jadi Soal Besar Sektor Kesehatan di NTT

Dari hasil kunjungan di lima kabupaten di Flores, Ombudsman mencatat puluhan ribu warga yang kepesertaan BPJS Kesehatannya tidak aktif

Floresa.co – Ombudsman menyoroti masalah akses dan kualitas layanan sebagai dua isu krusial dalam bidang kesehatan di wilayah Nusa Tenggara Timur [NTT] yang menuntut respons segera pemerintah.

Temuan itu merujuk pada hasil kunjungan Tim Ombudsman RI dan perwakilannya di NTT dalam beberapa hari terakhir di lima kabupaten di Pulau Flores.

Kunjungan itu fokus pada upaya reaktivasi dan optimalisasi kepesertaan BPJS Kesehatan serta membuka gerai pengaduan layanan publik.

Berbicara kepada para wartawan di Ruteng pada 19 Juli, Robert Na Endi Jaweng, salah satu anggota Ombudsman RI yang memimpin tim berkata, pihaknya menemukan masih ada kabupaten yang belum memenuhi target UHC serta cukup banyak warga di hampir semua kabupaten yang tidak lagi menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan.

UHC, singkatan dari Universal Health Coverage atau cakupan kesehatan semesta, merujuk pada jaminan seluruh masyarakat mengakses pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas dan efektif.

“Masalah akses dan kualitas layanan di faskes masih jadi pekerjaan rumah besar di NTT,” kata Robert.

Ia juga menemukan tendensi pemerintah yang terkesan fokus mengejar persentase UHC, namun abai terhadap kepesertaan yang non aktif.

Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Manggarai Timur yang kendati capaian UHC  tinggi, namun ribuan warga tidak mendapat layanan BPJS Kesehatan.

“Cakupan UHC memang telah mencapai 101%, namun masih ada 29 ribu warga yang kepesertaannya tak lagi aktif. Mereka menjadi peserta terdaftar, namun tidak terlindungi,” katanya.

Sementara di Kabupaten Ngada, kata dia, bahkan belum mencapai UHC, di mana cakupan kepesertaan baru 86,14% dan sekitar 38 ribu warga dengan kepesertaan BPJS yang tidak aktif.

“Ombudsman bersama BPJS Kesehatan sudah melakukan audiensi dengan Bupati Ngada,” katanya.

“Ada sinyal komitmen yang cukup kuat pada tahun ini untuk melakukan optimalisasi kepesertaan BPJS Kesehatan,” tambah Robert.

Ia pun meminta pemerintah wajib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan agar secara rutin melakukan reaktivasi dan optimalisasi kepesertaan.

Ombudsman juga meminta pemerintah memastikan fasilitas dasar layanan kesehatan terpenuhi, terlebih di masa transisi menuju pemberlakuan perubahan kebijakan Kelas Rawat Inap Standar [KRIS] yang akan dimulai tahun depan.

“Saat monitoring layanan kesehatan di rumah sakit, kami melihat rata-rata fasilitas dasar seperti kapasitas tempat tidur, sediaan farmasi, alat kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, khususnya ketersediaan dokter spesialis, belumlah memadai,” katanya.

Karena itu, “saya tidak yakin kalau RSUD di lima daerah tersebut bisa memenuhi target untuk melaksanakan KRIS per Juli 2025 nanti.”

“Kita sungguh butuh kerja keras pemda dan pihak RSUD,” kata Robert.

Ia mengingatkan untuk mencapai layanan publik bidang kesehatan yang komprehensif diperlukan berbagai langkah strategis demi mengakselerasi dimensi-dimensi UHC secara bersamaan, yaitu proteksi pembiayaan kesehatan, layanan kesehatan dan cakupan populasi.

Kondisi tersebut, jelasnya, mengarah kepada pembangunan berkelanjutan guna mewujudkan pelayanan publik prima demi menciptakan manusia berotak cerdas [aspek pendidikan], berbadan sehat [aspek kesehatan] dan berkantong tebal [aspek ekonomi].

Ketiganya, kata Robert, adalah prasyarat membangun manusia yang unggul dalam momentum bonus demografi di Indonesia saat ini.

Dalam rangkaian kunjungan ini, tim Ombudsman melakukan dialog dan sosialisasi publik, monitoring RSUD, serta menyampaikan hasil dan masukan dalam forum audiensi dengan para kepala daerah di lima kabupaten.

Robert berkata, ke depan Ombudsman akan aktif memantau tindak lanjut berbagai pihak terkait terhadap masukan perbaikan layanan kesehatan dan jaminan sosial.

Pemantauan tersebut adalah bagian dari cara kerja pengawasan Ombudsman, khususnya pada dimensi pencegahan terhadap potensi maladministrasi pelayanan publik, katanya.

Robert pun berharap agar di tengah momentum transisi kepemimpinan di sejumlah kabupaten tahun ini yang akan menggelar pilkada, isu kesehatan, di samping dua isu strategis lainnya  –  pendidikan dan ekonomi -, perlu menjadi sorotan publik, termasuk media, agar menjadi perhatian serius para kandidat.

Dengan populasi 5,6 juta dan 19,96 persen penduduk miskin – dua kali lipat persentase nasional 9,09 persen, NTT masih terus berada pada posisi buruk di bidang kesehatan masyarakat.

Hasil Survei Status Gizi Indonesia dan Survei Kesehatan Indonesia pada 2023 menempatkan NTT itu pada urutan kedua dari lima provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi. Posisi pertama ditempati Provinsi Papua Tengah.

Prevalensi stunting di NTT berada pada angka 21.5 persen, jauh dari target nasional 14 persen. Lima kabupaten dengan stunting tertinggi adalah Timor Tengah Selatan, Belu, Manggarai Timur, Sumba Barat Daya dan Timor Tengah Utara.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA