Floresa.co – Jumlah kasus kematian ibu dan bayi di Kabupaten Manggarai termasuk yang tertinggi di Provinsi NTT.
Kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan ibu dan anak diakui menjadi penyebab satu pemicu utama hal ini.
Persoalan ini disinggung dalam pidato Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan pada 17 Agustus.
“Kita menyaksikan hampir setiap tahun masih terjadi kasus kematian ibu dan bayi dengan berbagai faktor penyebabnya” katanya.
Ia menyebut data pada 2023, di mana terjadi 12 kasus kematian ibu dan 89 kasus kematian bayi di Manggarai. Hingga akhir Juni tahun ini, terdapat empat kasus kematian ibu dan 77 kasus kematian bayi.
“Ini semua menjadi PR – pekerjaan rumah – bagi kita bersama,” kata Nabit.
Data lengkap tentang kasus kematian ibu dan bayi di Manggarai tercatat pada laporan Dinas Kesehatan kabupaten itu dalam dokumen “Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah [LPPD] Tahun 2023.”
Mengutip Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, laporan yang ditandatangani Kepala Dinas Kesehatan, Bartolomeus Hermopan itu, menyebut kematian ibu sebagai “kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan/cedera.”
Sementara yang digolongkan sebagai bayi adalah yang berusia 0 bulan hingga 11 bulan.
Dalam LPPD itu dijelaskan bahwa kasus kematian ibu pada 2023 di Manggarai paling banyak terjadi di wilayah kerja Kecamatan Satar Mese, yaitu lima kasus – tiga diantaranya di di Puskesmas Iteng dan masing-masing satu kasus di Puskesmas Langgo dan Puskesmas Ponggeok.
Sementara untuk kasus kematian bayi, tertinggi terjadi di Kecamatan Ruteng dengan 16 kasus [Puskesmas Cancar delapan kasus, Puskesmas Anam enam kasus dan Puskesmas Wae Mbeleng dua kasus].
“Kerja keras tenaga kesehatan serta dukungan lintas sektor sangat dibutuhkan pemerintah untuk membantu menekan jumlah kematian ibu dan bayi pada tahun-tahun mendatang,” kata Nabit.
Mengutip data Badan Pusat Statistik [BPS] Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], jumlah kematian ibu di NTT pada 2023 sebanyak 135 kasus.
Wilayah dengan jumlah kasus kematian ibu tertinggi adalah Kabupaten Kupang sebanyak 13 kasus, Manggarai sebanyak 12 kasus, Timor Tengah Selatan dan Manggarai Timur masing-masing 11 kasus dan Manggarai Barat 10 kasus.
Sementara untuk kasus kematian bayi, terdapat perbedaaan data antara BPS NTT dan data Pemerintah Kabupaten Manggarai, baik yang disampaikan lisan oleh Nabit dalam pidatonya maupun data dalam LPPD.
BPS NTT mencatat 77 kasus kematian bayi di Manggarai pada 2023, tertinggi ketiga setelah Kabupaten Kupang [114 kasus] dan Sumba Timur [110 kasus].
Untuk kasus kematian balita [12 bulan-59 bulan] di Manggarai pada 2023, menurut BPS sebanyak 80 kasus, tertinggi keempat setelah Kabupaten Kupang [127 kasus], Sumba Timur [112 kasus], dan Timor Tengah Selatan [89 kasus.
Sementara Nabit dalam pidatonya menyebut jumlah kasus kematian bayi di Manggarai pada 2023 sebanyak 89 kasus, sama dengan data dalam LPPD.
Ia tidak menyebutkan jumlah kasus kematian balita pada 2023, yang juga tidak disebutkan dalam LPPD 2023, berbeda dengan data BPS NTT.
Nabit mengklaim, menyampaikan kasus kematian bayi memiliki korelasi dengan tingkat gizi.
Gizi buruk atau stunting dan kematian anak “tidak bisa dipisahkan.”
Karena itu, “bantu anak stunting sama halnya kita menekan angka kematian anak.”
Nabit berkata, kasus stunting di Manggarai menunjukan tren penurunan drastis per Februari 2024, yakni 11,5 persen atau menurun ke angka 2.973 balita dari 25.902 balita yang ada di Manggarai.
Penurunan tersebut, katanya, menunjukkan penanganan stunting membuahkan hasil.
Ia menyebut salah satu intervensi yang telah dilakukan adalah melalui Keputusan Bupati Manggarai No HK/277/2024.
Keputusna itu menetapkan Bupati, Sekda, Asisten Bupati, Staf Ahli Bupati, Pejabat Eselon III dan Eselon II dan Para Guru menjadi orang tua asuh anak stunting, dengan melakukan kunjungan ke rumah dan menyisihkan sebagian rezeki kepada anak stunting.
Kadis Kesehatan Dorong Adanya Rumah Sakit Ibu dan Anak
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Bartolomeus Hermopan berkata, selain kerja sama lintas bidang, pembangunan rumah sakit ibu dan anak juga menjadi solusi untuk mengatasi masalah kematian ibu dan bayi di Manggarai.
“Kita inginkan kematian ibu dan anak di Manggarai ini menurun termasuk bayi yang stunting. Begitu pun dengan tingkat kemudahan dokter untuk merawat ibu dan anak tidak campur lagi dengan pasien lain, seperti yang selama ini terjadi di RSUD Ruteng,” katanya kepada Floresa pada 19 Agustus.
Ia menjelaskan, kematian ibu dan anak ini selama ini terjadi karena beberapa sebab, seperti keterlambatan rujukan dan kondisi ibu dan anak yang melemah.
Selain itu, tambahnya, fasilitas kesehatan yang kurang memadai serta keterampilan petugas medis yang kurang mumpuni menjadi pemicu lain.
Untuk itu, ketersediaan satu Rumah Sakit Ibu dan Anak sangatlah penting, kata dia.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan, K, Taki Agustinus Hendrikus menjelaskan, kematian ibu di Manggarai selama ini terutama karena perdarahan pasca melahirkan atau hemoragic post partum.
Kondisi demikian terjadi ketika kehilangan darah ≥ 500 ml selama 24 jam pertama pasca kelahiran bayi, sebelum, selama dan sesudah keluarnya plasenta.
Pada 2023, dari 12 kasus kematian ibu di Manggarai, empat kasus atau 30% terjadi karena faktor ini.
Sebanyak dua kasus terjadi di puskesmas, satu kasus di rumah sakit dan satu kasus terjadi dalam perjalanan merujuk pasien dari puskesmas ke RSUD Ruteng.
Beberapa penyebab lainnya adalah emboli air ketuban yaitu kondisi ketika air ketuban masuk dan bercampur dalam sistem peredaran darah sang ibu.
Pada 2023, terdapat dua kasus kematian ibu karena hal ini.
Hepatomegali atau pembesaran organ hati melebihi ukuran normal juga menjadi penyebab kematian ibu pada 2023 dalam dua kasus.
Sementara pada kasus kematian bayi, kata Hendrikus, umumnya terjadi karena asfiksia, keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas spontan setelah lahir.
Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir umumnya akan mengalami asfiksia pada saat lahir.
Masalah ini berhubungan erat dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama dan sesudah persalinan.
Pada 2023, terdapat 33 kasus kematian karena asfiksia atau 37% dari total kematian bayi.
Selain asfiksia, 18 kasus atau 20% karena berat badan bayi baru lahir [BBLR] kurang dari 2.500 gram.
BBLR terjadi antara lain karena kelahiran prematur, faktor ibu seperti umur, paritas, dan gizi selama hamil, komplikasi kehamilan, kehamilan kembar dan lain sebagainya.
Selama ini, kata Hendrikus, Dinas Kesehatan terus melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kematian ibu dan anak, seperti pendampingan oleh dokter spesialis, pembekalan untuk petugas di puskesmas, peningkatan kapasitas petugas untuk kejadian emergensi dan pendekatan serta penguatan kepada ibu-ibu hamil.
Dinas Kesehatan juga memberikan sosialisasi kepada ibu-ibu terkait dampak jarak kehamilan yang terlalu dekat, katanya.
“Kami sudah sering beri anjuran supaya jangan sering hamil dan jangan hamil terlalu dekat, karena memang ada risikonya,” kata Hendrikus.
“Hanya saja, masih ada yang belum paham. Akibatnya risiko kematian tetap ada,” tambahnya.
Laporan kontributor Berto Davids
Editor: Petrus Dabu