Floresa. co – Lebih dari sebulan Veronika Resa Labina bertahan di tempat pengungsian di Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur.
Bersama beberapa anggota keluarga dan warga Desa Nobo umumnya, ia ditempatkan di teras gedung SDK Konga, sementara warga lain berada di posko yang dibangun di halaman sekolah.
Sebulan tidur di teras sekolah tanpa sekat maupun penutup apapun, Veronika yang berusia 46 tahun sering sakit.
“Apalagi sebulan ini tidur hanya beralas matras saja. Saat bangun pagi, badan rasanya sakit semua. Di luar sini dingin sekali,” kata Veronika saat ditemui Floresa di teras SDK Konga pada 5 Desember.
“Kalau tidur malam pasti langsung kena angin karena tidak ada sekat atau kain penutup,” katanya.
Sementara kala hujan turun, “kadang selimut basah, begitupun telapak kaki.”
Suhu yang berubah-ubah membuat “daya tubuh tidak stabil sehingga mudah demam, batuk dan pilek.”
Ia bukannya tak menenggak obat ketika sakit. Meski begitu, obat pun tak serta-merta memperkuat daya tubuhnya.
Tak lama sesudah sembuh, “adakalanya sakit lagi. Cepat terjangkit juga kalau pengungsi lain sedang pilek.”
Lantaran kerap sakit, sebentar-sebentar Veronika jadi tak berselera makan. Sesekali ia hanya makan nasi yang disiram dengan air panas “untuk tahan perut supaya jangan lapar.”
“Bukannya tidak mau makan masakan yang diolah di posko ini, tetapi memang tak bergairah makan,” katanya.
Berbeda dengan Veronika, anak dan cucunya yang masih berusia delapan bulan tidur dalam ruang kelas, satu hal yang membuatnya “merasa beruntung.”
“Kami yang usia begini, tidak apa-apa tidur di luar. Yang penting anak dan cucu sehat di dalam [kelas],” katanya.
Veronika mengungsi ke tempat itu pada 3 November dini hari, tak lama sesudah gunung api Lewotobi Laki-Laki erupsi.
Saat itu ia bersama keluarganya menumpang sebuah ketinting milik tetangganya menuju Pelabuhan Waidoko, Konga.
“Kami sempat tunggu kendaraan tetapi penuh orang yang menumpang untuk menyelamatkan diri,” kata Veronika soal dini hari itu, sebelum akhirnya memutuskan ikut ketinting.
“Akhirnya nekat saja dan kami selamat sampai di pelabuhan.”
Sesampainya di pelabuhan, kata Veronika, mereka tidak langsung menuju halaman kantor desa Konga, titik kumpul bagi para pengungsi dari Nobo dan Nurabelen.
“Karena tidak ada informasi apa-apa, kami bermalam di sebuah pondok, pagi harinya baru kami ke kantor desa.”
Lebih dari sebulan di tempat pengungsian, Veronika mulai teringat rumah dan kebun.
Sebelum Lewotobi Laki-Laki erupsi pada awal November, ia mulai membersihkan kebun, bagian dari persiapan permulaan masa tanam yang lumrahnya berlangsung pada musim hujan.
Kini, ketika hujan mulai turun di Flores Timur, “saya jadi tak bisa berbuat apa-apa.”
Berdasarkan data per 7 Desember, pemerintah Flores Timur mencatat sebanyak 9.750 penyintas masih bertahan di pos pengungsian maupun mengungsi secara mandiri ke rumah-rumah kerabat di Kabupaten Sikka maupun Kabupaten Flores Timur.
Mereka termasuk warga desa yang berada di zona Kawasan Rawan Bencana [KRB], yang berada tujuh kilometer dari pusat erupsi dan dinyatakan sebagai zona merah atau wilayah yang tidak dapat dihuni.
Desa-desa yang termasuk dalam zona KRB Lewotobi Laki-Laki adalah Desa Nobo, Dulipali, Klatanlo, Hokeng Jaya, Boru dan Nawokote.
Sedangkan 884 penyintas yang berada di luar zona KRB seperti Desa Hewa, Pululera, Boru Kedang, Nurabelen dan Nileknoheng telah dipulangkan oleh pemerintah setempat pada 7 Desember.
Editor: Anastasia Ika